logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Iwan Side

Iwan tengah berada di dalam kamarnya. Dia duduk bersandar di kepala ranjang. Dia kembali merenung, memikirkan tentang masa lalu.
Bagi Iwan, Salwa itu merupakan sosok malaikat untuknya. Tanpa disadari Salwa, dia bisa menarik Iwan dari kegelapan hatinya, dan membawanya ke cahaya yang terang.
Iwan pikir, jika saja dulu Salwa tidak muncul di hadapannya, mungkin dia akan menjadi orang yang sangat berbeda sekarang.
Kemungkinan, Iwan akan menjadi seorang laki-laki brengsek yang penuh dosa, dikarenakan rasa kecewa kepada orangtuanya.
Rasa sakit di hatinya, itu akibat dari perceraian orangtuanya, yang tanpa sadar menyakiti Iwan sangat dalam.
Disaat terpuruknya, Salwa datang mengulurkan tangannya dengan senyum manis yang tersungging di bibirnya.
Iwan yang saat itu masih berusia empat belas tahun, merasa terpesona dengan senyum manis dan tulus yang ditunjukkan Salwa.
Dengan ketulusan Salwa dan juga kedua kakaknya, Iwan akhirnya bisa lepas dari kegelapan dalam hatinya.
Bermain bersama Salwa dan kedua kakaknya, mampu membuat Iwan sedikit demi sedikit bisa mengikhlaskan perceraian orangtuanya.
Jujur saja, anak berusia empat belas tahun yang menjadi korban keegoisan orangtuanya, seperti apa rasa sakit yang dirasakannya. Apalagi setelah mereka bercerai, tidak ada satupun diantara mereka yang mau membesarkannya dengan tangan terbuka. Padahal Iwan itu adalah anak kandung mereka.
Mereka saling melempar, menunjuk satu sama lain untuk membesarkan Iwan. Padahal yang Iwan inginkan saat itu, hanyalah agar dia bisa bersama dengan mereka.
Iwan kecil yang melihat kedua orangtuanya tidak ada yang mau membawanya, merasa hatinya sakit luar biasa.
"Kenapa aku dilahirkan, jika pada akhirnya aku dibuang, tidak diinginkan," ucap Iwan dalam hati, melihat pertengkaran kedua orangtuanya.
Perlahan-lahan, rasa sakit di hatinya pulih dengan kehangatan yang diberikan keluarga Habibah. Abah Ali dan juga Umi Siti, memperlakukannya sama seperti mereka memperlakukan Habibah bersaudara.
Iwan yang pada saat pertama kali datang ke Solo penuh dengan kesakitan, kini perlahan-lahan bisa kembali ceria.
"Ini untuk Mas Iwan." Salwa kecil mengambilkan paha ayam goreng untuk Iwan.
Iwan kecil tertegun dengan perlakuan Salwa kepadanya. Dia menatap paha ayam goreng di piringnya dengan mata berkaca-kaca.
Seumur hidupnya, baru kali ini ada orang yang mengambilkan makanan untuknya. Kecuali pengasuhnya dulu sebelum dia meninggal.
"Dek! Buat Mas Adam mana?" protes Adam kecil pura-pura marah.
Salwa kecil kembali melihat ke piring tempat ayam goreng. Salwa melihat, jika ayam goreng bagian paha sudah habis. Dia lalu mengambil paha ayam yang sudah ada di piringnya dan menaruh ke piring Adam kecil yang duduk di sampingnya.
"Ini buat Mas Adam saja! Salwa kali ini lagi pengen makan bagian sayap," ucap Salwa kecil dengan penuh perhatian.
Abah dan Umi yang melihat Salwa kecil mengalah kepada kakaknya, merasa trenyuh.
Tidak sia-sia mereka mendidik anak-anak mereka untuk tidak bersikap egois kepada saudaranya sejak dini.
"Mas Adam ini udah gede, masih saja tidak mau mengalah sama yang kecil." Husein kecil mengambil paha ayam yang ada di piringnya dan menaruh di piring salwa.
Husein kecil yang berada di seberang Salwa, bahkan sampai harus menaiki kursi agar sampai menaruh paha ayam ke piring Salwa.
Saat itu, Iwan kecil merasa sangat iri. Dia yang terlahir sebagai anak tunggal, sama sekali tidak pernah mengalami hal seperti ini.
Dalam hatinya, dia sangat ingin memiliki saudara, seperti Habibah bersaudara. Agar dia juga bisa melakukan hal seperti apa yang dilakukan Habibah bersaudara.
Adam tersenyum melihat tingkah menggemaskan kedua adiknya itu. Dia sebagai yang tertua, tentu mempunyai jiwa pelindung yang tinggi.
Adam senang melihat adik-adiknya saling berbagi seperti itu. Dia kemudian mengambil paha ayam yang tadi diberikan Salwa, dan menaruhnya di piring Husein.
Husein dan Salwa sangat senang, karena mereka bisa memakan paha ayam yang mereka sukai. Mereka dengan kompak tersenyum cerah menunjukkan gigi-gigi kecil mereka.
Adam mengusap kepala Salwa kecil yang memakai jilbab. "Makan yang banyak ya! Biar cepat gede," ucap Adam. "Kamu juga makan yang banyak ya! Biar kuat dan bisa jagain Salwa nanti," ucap Adam kepada Husein.
"Iwan juga makan yang banyak! Jangan sungkan!" Adam menatap Iwan yang seumuran dengannya.
Iwan menunduk, diam-diam dia tersenyum dengan perlakuan hangat keluarga ini.
Perlakuan hangat yang bahkan tidak pernah didapatkan Iwan di keluarganya sendiri. Miris bukan.
"Kamu kenapa Nak? Kenapa tidak di makan makanannya? Apa tidak sesuai seleramu?" tanya Umi Siti penuh perhatian.
Iwan kecil menggeleng, dia menunduk sambil menahan tangisnya. Umi Siti yang sadar jika Iwan kecil sedang menahan tangisnya, langsung menghampiri Iwan dan memeluknya.
Iwan menangis diam dalam pelukan Umi Siti. Umi Siti sudah tahu apa yang terjadi pada Iwan secara garis besarnya. Dia juga ikut bersimpati dengan apa yang menimpa Iwan.
"Tumis kangkung ini juga enak lho, Mas!" Salwa kecil mengambilkan tumis kangkung ke piring Iwan.
Hal kecil yang dilakukan Salwa, secara tidak sadar membuat Iwan jatuh hati padanya.
Sejak saat itu pula, keinginannya untuk bisa menjadi bagian dari keluarga Habibah, semakin kuat.
Cara mereka menunjukkan kasih sayang. Cara mereka menghargai dan melindungi, itu membuat Iwan benar-benar jatuh cinta.
Sampai saat ini, perasaan Iwan kepada Salwa malah semakin kuat. Dia sangat ingin meminang Salwa, tapi keraguan dalam hatinya masih sangatlah besar.
Takut ditolak, takut tidak setara dengan keluarga Habibah. Ketakutan-ketakutan itu yang membuat Iwan tidak berani mengutarakan perasaannya.
Sosok Salwa di mata Iwan, adalah sosok wanita yang sempurna untuknya. Walaupun dia tahu, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.
Kebaikan, ketaatan, serta perilaku Salwa lah yang membuat Iwan jatuh cinta lagi dan lagi kepadanya.
Salwa yang selalu menghindari laki-laki yang bukan mahramnya, termasuk dirinya.
Salwa yang selalu menundukkan pandangannya jika bertemu dengan laki-laki di luar sana, termasuk dirinya.
Tutur sapa yang lemah lembut, namun penuh dengan ketegasan di setiap kata-katanya.
Siapa laki-laki yang tidak akan jatuh cinta dengan sosok Salwa. Bahkan Iwan sangat yakin, diluar sana, pasti banyak laki-laki yang menginginkan Salwa untuk menjadi Istri mereka.
Untuk mendapatkan sebuah mutiara, itu tidaklah mudah. Membutuhkan perjuangan serta pengorbanan.
"Salwa! Di setiap doa yang kupanjatkan, tidak pernah sekalipun aku lupa menyebut namamu. Berharap jika kamu adalah jodohku," ucap Iwan yang kini berbaring di atas ranjangnya.
"Betapa bahagianya aku, jika kamu memanglah jodohku."
"Ya allah! Hamba tahu, umur, maut dan jodoh itu ada di tanganmu. Tapi bolehkah hamba memohon kepadamu untuk menjadikan Salwa sebagai jodohku," doa Iwan.
"Jika hamba berjodoh dengannya, hamba mohon permudahkanlah segala urusan kami. Namun, jika kami tidak berjodoh, berikanlah hamba keikhlasan untuk menerima setiap takdir darimu," lanjutnya sambil memejamkan mata.
*

Comentário do Livro (172)

  • avatar
    KasiAsfin

    terimakasih sudah mengasih cerita ini sangat 🤩

    6d

      0
  • avatar
    cianjuryeni

    sedih

    25d

      0
  • avatar
    ratu 95willy

    good

    27d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes