logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 6 ELANG #2

"Kau mau kemana?" sapa Elang pada Camar, saat mereka berpapasan di ruang tengah. "Mami ada, nggak?"
"Mau pergi sama Indi. Mami lagi ke butik langganan," teriak Camar sambil lalu. Sejenak Elang menghentikan langkah. Apa tadi Camar bilang? Sialan, mendadak terbayang jika adiknya itu akan membonceng Indi, seperti ia pernah membonceng gadis itu. Urung mencari Maminya, Elang menuju kamar lamanya di lantai dua dan menyalakan AC.
Perasaan tak rela konyol ini mendadak mampir di otaknya. Hatinya juga mendadak panas, padahal suhu kamar sudah cukup untuk membuat orang terkena flu. Ia merogoh saku jasnya dan mengambil ponselnya, lalu menelpon Camar.
"Halo," terdengar sapaan riang.
"Cam, kau jadi pergi dengan Indi?" Elang berusaha menekan nada suaranya supaya terdengar biasa.
"Ya. Kenapa, Kak?"
"Daripada kalian berpanas-panasan, apa kau mau pakai mobilku?"
Camar tak menjawab, tapi ia bersorak kegirangan.
Elang mematikan sambungan ponsel, lalu kembali ke balkon kamar. Udara kamar mendadak terasa pengap. Elang melonggarkan kancing teratas kemejanya dan menggulung lengannya hingga ke siku. Sekilas ia melirik ke teras rumah Indi dan melihat gadis itu sedang menatapnya. Eh, apa?
Elang menoleh sekali lagi ke teras rumah Indi dan gadis itu memang betul-betul sedang menatapnya. Apakah ia berhalusinasi atau memang gadis itu sedang tersenyum manis padanya? Indi merogoh saku celana jeansnya dan mengeluarkan sesuatu. Sebentar, gadis itu rupanya sedang menerima telpon. Elang langsung kecewa. Maka saat didengarnya ponselnya berdering, ia langsung mengangkatnya tanpa melirik layar.
"Halo ..."
"Hai, Mas," sapa suara yang amat dikenalnya.
"Indi?" desah Elang lega. Lalu menatap ke bawah dan melihat gadis itu sedang melambai ke arahnya.
"Mas kapan pulang? Denger-denger Mas dari Eropa ya?"
"Kemarin sore. Ya, aku memang dari Eropa. Kangen sama Mami. Makanya aku pulang ..."
Indi tertawa. "Welcome home."
"Ternyata aku juga kangen sama kamu, "Elang nekat. Masa bodoh dengan gengsi, atau usia yang terpaut jauh.
"Aku juga," lirih suara Indi, tapi ia bisa mendengarnya dengan jelas.
"Aku punya oleh-oleh buat kamu. Sebenarnya aku mau kesitu, tapi ..."
"Aku tahu, Mas. Karena aku akan pergi sama Camar kan?"
"Begitulah ..."
"Yah, sebenarnya aku males keluar hari Minggu begini. Camar saja yang maksa. Oh, makasih Mas, udah minjemin mobilnya Mas ..."
"Sama-sama."
"Mas tahu apa yang konyol?" tanya Indi.
"Apa?"
"Kita hanya berjarak lima puluh meter dan sedang berbicara di telpon?"
Elang tertawa. "Kamu sih, mau saja diajak Camar. Padahal aku juga pengen ngajak kamu pergi."
Indi tertawa. "Mas bisa saja. Sudah ya, tuh Camar sudah datang. Senang sekali bisa bertemu Mas lagi," Indi melambai sekali lagi ke arah Elang dan tersenyum manis, lalu mematikan sambungan telpon.
Elang balas melambai dan menggumam pelan , "sepertinya aku harus memikirkan untuk membeli mobil baru. Untukku sendiri."
Seharian itu Elang dirumah Maminya, nyaris nggak melakukan apa-apa. Pikirannya masih tertuju pada Indi, apa yang sedang ia lakukan sekarang dengan Camar ya? Huh! Elang bersungut kesal. Ada apa sih dengannya? Laki-laki itu menatap syal dan topi wol model baret di tangannya, yang ia beli di Swiss. Syal dan topi wol itu berwarna biru muda, yang ia pikir pasti akan cantik bila dikenakan oleh Indi. Terutama karena Elang suka warna biru ...
Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke rumah Indi dan menunggu gadis itu di sana. Masa bodoh ia dibilang tolol dan mungkin memang iya, tapi ia hanya ingin memberikan benda itu pada Indi. Maka di sinilah ia sekarang, berdiri di depan pintu rumah Indi pada pukul dua siang yang panas dan memencet bel. Di luar dugaannya, Tuan Handoko sendiri yang membukakan pintu.
"Siang, Om," sapa Elang santun.
"Oh ... Elang? Ayo masuk, sama siapa?"
"Sendirian, Om, " Elang mengikuti langkah Tuan Handoko.
"Kita ngobrol di teras samping saja ya?"
"Boleh, Om ..."
"Jadi ...,"Tuan Handoko memulai pembicaraan setelah mereka berdua duduk dengan nyaman di teras samping yang adem. "Ada perlu apa, kesini?"
"Ehm ... saya mencari Indi, Om."
"Oh? Tapi sepertinya dia sedang keluar sama si Camar. Mamanya Indi juga masih keluar sebentar, belanja di supermarket apa dimana gitu, sama Mamimu, katanya ..."
Elang tertawa. "Kalau nggak salah sih beliau berdua pergi ke butik langganan, Om."
"Wah ... kalau seperti itu bakalan lama, El," Papa Indi ikut tertawa. Kemudian percakapan terputus sejenak oleh kedatangan Mbok Nem yang mengantarkan dua cangkir teh rempah dan sepiring tahu crispy.
"Jadi, kau mencari Indi?" ulang Tuan Handoko.
Elang mengangguk. "Kebetulan saya baru pulang dari Eropa, Om dan saya punya oleh-oleh buat dia."
"Kau baik sekali, El. Indi sering cerita soal kamu. Tentang barang-barang pemberianmu. Apa kau tahu bahwa dia nggak bisa tidur kalau nggak ada guling Garfield pemberianmu? Indi bilang kau yang memberi, waktu ulang tahunnya, entah yang keberapa."
"Yang ke empat belas tahun, Om," jawab Elang. Laki-laki itu merasa surprised. Benarkah Indi tidak bisa tidur tanpa guling pemberiannya?
"Terakhir kau memberi dia cincin dan gelang giok, bukan?"
"Betul, Om ... apakah Indi cerita? Maksud saya, saya harap Om tidak keberatan ..."
Tuan Handoko mengibaskan tangan dan tertawa. "Keberatan apa? Enggaklah ... asal Indi bahagia, Om ikut senang. Ia sangat suka barang-barang pemberianmu, El. Pun saat setelah ia pergi keluar sama kamu, ia kelihatan sangat senang."
"Saya hanya berusaha membuatnya bahagia, Om ..."
"Oh ya, bagaimana kabar pekerjaanmu? Baik-baik saja?"
"Baik, Om. Cuma agak kesulitan membagi waktu, karena sekarang ini saya juga mulai merintis usaha saya di perkebunan."
"Oh ya? Papimu tahu soal ini?"
"Belum, Om. Saya belum menelpon beliau lagi. Cuma beberapa waktu yang lalu Papi sempat cerita soal Mami yang mengeluhkan saya nggak punya banyak waktu untuk keluarga. Jadi papi meminta saya untuk berpikir ulang tentang pekerjaan saya."
"Hem ya ... Om mengerti. Om sangat mendukung niatmu El, untuk merintis usaha sendiri. Maksud mamimu, waktu untuk keluarga atau kehidupanmu?"
Tak salah lagi, Tuan Handoko menanyakan soal pribadinya. Elang tersenyum. "Saya pernah gagal berumah tangga, Om. Hal itu membuat saya lebih berhati-hati. Sekarang ini saya tidak mempunyai teman dekat, masih belum ada yang cocok. Mungkin nanti, kalau bertemu seorang wanita yang bisa mengerti saya, saya akan mempertimbangkan untuk membuka lembaran baru lagi. Lagipula jujur saja, selama ini, saya lebih suka jalan dengan putri Om, daripada teman-teman wanita saya. Maklum Om, saya nggak punya adik cewek ..."
Tuan Handoko tersenyum simpati. "Ya, El ... aku juga tahu ceritanya dari istriku. Tentu saja kau boleh jalan dengan putriku, kita ini sudah seperti keluarga. Mungkin ini terdengar konyol El, tapi kadang-kadang terpikir juga olehku untuk menjodohkan Indi dengan salah satu putra Mas Prasojo, Papimu ..."
Elang mendadak berdebar. Tapi ia masih berhasil mengeluarkan salah satu senyum simpatiknya. "Yah Om ... mungkin juga orang tua saya berpikir begitu, tapi semua kembali pada Indi, untuk menentukan pilihan."
Akhirnya Tuan Handoko tertawa. "Yah, kau benar juga."
Saat itu, terdengar suara teriakan dari halaman depan rumah.
".... kalau kau masih kekanak-kanakan seperti itu, aku males pergi sama kamu! Sebaiknya kau pulang saja!"
Terdengar suara berderap memasuki rumah, lalu sepertinya langsung menuju dapur. Hening sesaat, kemudian terdengar langkah kaki menuju teras samping.
Sosok itu, Indi, mematung di pintu saat dilihatnya ada Elang disitu bersama papanya.
"Indi? Ada apa, Nak? Sini," Tuan Handoko melambai ke arah putrinya.
"Eh ... Mas Elang," tergagap suara Indi.
"Halo, Nona," sapa Elang. Bibirnya membentuk senyum menawan lima ribu watt dan sepasang matanya memandang Indi sarat kerinduan. Paras Indi memerah dan gadis itu tersipu malu. Mereka bertatapan selama beberapa detik dalam diam, saling berbicara tanpa kata. Mereka lupa kalau ada Tuan Handoko disitu, yang sedang mengamati dengan seksama.
"Ehm!" Tuan Handoko terbatuk pelan.
Keduanya refleks memalingkan muka. Elang dengan senyum tipisnya dan Indi dengan wajah yang merah menahan malu, karena sudah ketahuan papanya. Maka gadis itu melangkah menuju Tuan Handoko dan duduk di samping laki-laki paro baya itu. Indi duduk tepat di depan Elang.
"Mas Elang sudah lama?"
"Belum."
"Baiklah, papa tinggal kalian supaya bisa ngobrol dengan santai. Oh ya In, kalau sampai sore Mamamu belum pulang, tolong bantu Mbok Nem masak untuk makan malam ya?" Tuan Handoko bangkit berdiri. "Papa mau istirahat sebentar."
"Baik, Pa."
Sepeninggal Tuan Handoko, Elang menatap Indi lagi dan gadis itu tersenyum manis.
"Bukannya kau tadi sedang jalan sama Camar? Kenapa pulangnya merengut begitu?"
"Camar ngeselin!" jawab Indi pendek. "Sudah ah, males ngomongin dia. Mas kesini nyari Indi?"
"Iya. Mas punya oleh-oleh buat kamu. Kemarilah, " Elang menepuk-nepuk kursi di sebelahnya. Indi jengah, tapi ia menuruti juga permintaan Elang. Laki-laki itu mengulurkan paper bag berukuran sedang dan meminta Indi untuk membukanya.
Maka gadis itu membuka dan mengeluarkan isinya. Indi meraba syal serta topi berbentuk baret yang terbuat dari bahan wol yang tebal dan halus itu dengan kagum.
"Kau suka?" tanya Elang pelan.
Indi mengangguk pasti. "Suka sekali, Mas ..."
"Mau dicoba?" Elang mengambil syal dari tangan Indi dan memasangnya di leher jenjang gadis itu. Kemudian diambilnya topi wol itu dan memasangnya di kepala Indi.
"Hemm," gumam Elang. "Sepertinya rambutmu harus digerai dulu, Nona, " Elang mendekatkan badannya ke arah Indi dan dengan lembut melepas kuncir rambut Indi hingga rambut gadis itu tergerai lepas. Lalu Elang memasang topi wol itu dan menatap Indi dengan pandangan terpesona.
"Kau tahu, kau cantik sekali ..."
Indi menunduk malu, pura-pura memainkan ujung syalnya. "Aku memang ingin kelihatan cantik didepan Mas."
"Oh ya? Kenapa?"
Indi jengah dipandangi Elang seperti itu. Seperti tatapan mesra yang pernah dilihatnya di film-film drama. Indi salah tingkah dan parasnya semakin memerah.
Elang tertawa. "Boleh kufoto kan, Nona?"
"Nggak boleh."
"Eh, apa?"
"Boleh kalau fotonya berdua," Indi nyengir, lalu mengeluarkan ponselnya. Spontan Elang merengkuh bahu Indi dan tertawa bersama saat kamera ponsel menjepret mereka.
Di dalam rumah, dari balik korden, Tuan Handoko mengamati kejadian itu dengan cermat, lalu perlahan berjingkat dan berlalu dari situ.
"Mbok Nem kemana?" tanya Elang sambil mengupas apel. "Ini dikupas semua nih, apelnya? Buat apa sih?"
Indi melongok sebentar dari panci didepannya. "Satu lagi, Mas. Itu nanti mau dibikin salad buah, " Indi mengaduk-aduk sebentar, kemudian mengambil sendok kecil dan mencicipinya. "Hem ... kurang apa ya?"
"Mana?" Elang mendekat. "Itu apa?"
"Ini gulai kepala ikan," Indi mengambil lagi sesendok kecil dan menyorongkannya ke mulut Elang. "Enak, nggak?"
Elang berlagak mikir. "Kayaknya kurang asin dikit. Dikiit aja, In ..."
"Oke. Eh Mas, kalau udah ngupas apel, tolong dong keluarkan puding dari kulkas," Indi mengangkat panci dan meraih mangkok besar dari lemari.
"Oke Nona. Apalagi?"
Indi berpaling dan menatap Elang, yang sedang nyengir jail. "Maaf Mas, aku nggak bermaksud menyuruhmu," ujar Indi. Terbersit nada menyesal disitu.
"Hei ... kenapa kau ngomong begitu?" Elang mendekati Indi dan menyentuh lengannya sekilas. "Aku suka membantumu di dapur. Karena aku suka cewek yang pinter masak," Elang mengedipkan sebelah matanya yang bagus.
Indi tersipu. "Baiklah kalau begitu. Karena Mas sudah membantuku hari ini, Mas harus makan malam dirumahku. Wajib!"
"Apa??"
"Biar aku yang minta ijin sama Tante Mira, " Indi tersenyum menang. "Mas harus makan disini."
"Memangnya aku nggak boleh mandi dulu ya?" Elang pura-pura mengeluh. "Wah, aku disandera nih ..."
Indi bersidekap. "Baiklah. Aku antar Mas pulang yaa... "
Elang menggaruk dagunya. "Dianter pulang sama cewek cakep? Hemm ..."
Indi memukul lengan Elang dengan serbet. "Ayo Mas, bantuin aku menata meja."

Sementara Indi menata meja makan dibantu Elang, Mbok Nem yang sedang mencuci piring diam-diam mengamati kejadian itu.
"Jadi kau mengantar masakanmu ke rumah Tante Mira dan minta ijin supaya Elang makan malam di sini?" tanya mama Indi.
Indi tertawa. "Iya. Mas Elang kan jarang main kesini, Ma. Lagian dia juga sesorean bantuin Indi di dapur."
Indi ingat kening Tante Mira yang mulus sampai berkerut saking herannya. Tapi wanita itu tidak mengatakan apa-apa. Wanita itu hanya bilang oke-oke saja dan silakan kalau mau membawa Elang. Saat itu Elang langsung merengut. Apa Maminya pikir ia barang?
Papa dan mama Indi tertawa begitu mendengar tanggapan Tante Mira.
"Mamimu sepertinya sering lupa, kalau ketiga anak laki-lakinya sudah bukan anak-anak lagi, " ujar mama Indi sambil menyendok kuah gulai. "Tapi yang jelas El, dia sangat menyayangi kalian bertiga."
"Saya tahu, Tante, " senyum Elang ramah.
"Om senang sekali kau mau makan malam disini, El ... biasanya kami hanya bertiga, " kata Tuan Handoko.
"Sama-sama, Omini juga karena dipaksa Indi ..."
Indi menatap Elang dengan tatapan hendak membunuh. "Tapi Mas juga mau kan?" tuduh Indi.
"Tentu saja. Siapa yang bisa nolak undangan makan malam dari cewek cantik?" Elang mengeluarkan senyum mautnya. Lagi-lagi paras Indi memerah. Gadis itu menunduk malu dan pura-pura sibuk dengan pudingnya.
Dari sisi meja yang lain, Tuan Handoko saling berpandangan dengan istrinya.

Comentário do Livro (117)

  • avatar
    WicaksanaWira

    okk

    21/08

      0
  • avatar
    Zakihanan

    bagus

    13/08

      0
  • avatar
    GabrielaFelicia

    SGT seru ceritanya

    07/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes