logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 5 ELANG #1

Cuaca dingin lereng Arjuno semakin menusuk. Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari, tapi Elang masih terjaga. Laki-laki itu menaikkan krah sweternya, lalu menghembuskan nafas pelan. Menatap kebun belakang rumahnya, yang hanya diterangi temaram lampu taman disalah satu sudut, menambah sunyi malam yang kian menua. Baru disadarinya kini betapa sepi hidupnya. Dua tahun berlalu sejak kegagalan pernikahannya dengan Erika.
**
Saat itu malam hari dan Elang yang baru pulang terbang, menuju rumahnya di kawasan Surabaya selatan, yang ia beli berdua dengan Erika. Harapannya saat itu hanya pulang ke rumah dan bertemu dengan istrinya. Erika berhenti dari maskapai penerbangan saat menikah dengannya. Sesaat setelah ia masuk rumah, harapan untuk bertemu dengan istrinya memang terkabul, tapi wanita itu tak sendiri ...
Mata kelam Elang mengeras. Ingatan Erika sedang bersama laki-laki lain seperti mimpi buruk yang berusaha ia enyahkan dari otaknya. Saat itu Erika sedang berada di sofa ruang tengah, bersama laki-laki berpakaian perlente yang ia kenal betul siapa orangnya.
Saat melihat gaun Erika yang acak-acakan, serta jas lelaki itu yang tersampir entah kemana, Elang tak perlu lagi penjelasan. Ia juga tak mengingat kejadian sesudahnya, yang jelas setelah Elang mengusir lelaki itu, Elang pergi ke kamarnya dan mengeluarkan koper.
"Kau mau kemana?" tanya Erika.
Elang berbalik dan menghadap Erika. "Sudah berapa lama kau berhubungan dengan dia?" tanya Elang tajam.
"Eh, aku ..., " gugup suara Erika.
"Sudah-berapa-lama?" tegas Elang.
"Hampir empat bulan. Dengar El .... maafkan aku ya?"
"Hampir empat bulan??"
"Dia bukan siapa-siapa, oke? Aku hanya berteman dengannya, tidak lebih. Aku nggak mengira kau akan pulang disaat aku sedang dikunjungi ... temanku," Erika menelan ludah.
Elang menatap Erika dengan tatapan terluka. "Tahukah kau, kau sangat luar biasa menjengkelkan?? Kau pikir aku ini siapa? Seenaknya kau memasukkan laki-laki lain ke rumah kita??"
"Dia hanya teman! Dan kau sendiri? Apa kau yakin nggak pernah bersenang-senang dengan salah satu rekan kerjamu? Atau bahkan pramugari yang cantik-cantik dan kelewat agresif mendekatimu?" radang Erika.
"Aku nggak pernah melakukan apapun yang akan menghancurkan rumah tangga kita, " geram Elang. "Aku bahkan nggak yakin kau mencintai aku!"
"Dasar bodoh. Tentu saja aku mencintaimu! Tapi aku sering kesepian, El. Tidakkah kau mengerti? Aku hanya sedikit bersenang-senang ..."
"Kau tidak akan mengkhianati kepercayaanku kalau kau memang mencintaiku. Tapi itu sudah nggak berarti lagi. Nggak ada bedanya buatku," Elang berbalik dan mulai mengemasi bajunya.
"Apa maksudmu?" seru Erika. "Jangan bilang kau akan menceraikan aku, El. Kau nggak akan bisa hidup tanpaku!" jerit Erika separuh berteriak.
Tubuh Elang sekaku robot saat ia berbalik menghadap Erika. "Pernikahan ini nggak akan berhasil, kalau nggak ada kepercayaan. Jelas-jelas kau sudah nggak setia lagi sama aku. Aku juga nggak akan memaksamu. Terserah kau saja, mau minta cerai, atau aku ceraikan. Yang jelas, mulai sekarang, kau bukan istriku lagi!" tegas Elang dengan tenang. "Aku akan baik-baik saja tanpa kau. Nggak usah sok baik ngurusi aku lagi dan tolong, jangan pernah sekalipun kau menampakkan muka di depanku!"
"Baik!!" seru Erika. "Aku memang sudah nggak tahan lagi denganmu. Aku bahkan tidak tahu apakah aku menikah dengan orang atau bukan! Kau tidak seperti laki-laki yang kuinginkan, yang selalu ada setiap saat, yang romantis dan perhatian. Kau brengsek, El!" sembur Erika.
"Memangnya kau pikir kau siapa? Ratu kecantikan sejagad yang selalu minta dilayani?" balas Elang dengan suara tawar. "Aku mulai berpikir apa yang membuatmu mendekati aku, karena seingatku, bukan aku yang menyatakan cinta dan melamar!"
"Apakah itu penting bagimu, sekarang?" desis Erika sinis. "Aku hanya ingin membuktikan pada Tiara, putri Bos kita bahwa aku yang bisa mendapatkanmu dan dengan begitu aku sudah menang taruhan dengan Oryn!"
Elang seperti mati rasa. Kenyataan itu menghantamnya begitu telak. Apa-apaan ini? Para wanita itu menganggapnya seperti barang dan menjadikannya taruhan?
"Kau bebas sekarang, " dengus Elang. "Kita sudah tidak ada apa-apa lagi."
"Baik! Aku akan meminta cerai darimu!"
"Urus surat-suratnya dan aku akan menandatangani secepat mungkin. Jangan menunda untuk mengurus perceraian kita. Asal kau tahu, karena rumah ini atas namaku, aku nggak mengijinkan kau untuk tinggal disini lagi. Besok akan kukirimkan pengacaraku, agar rumah ini secepatnya dijual. Sebaiknya kau juga segera mengemasi barangmu!"
Erika meraung, tidak mau diusir dari rumah itu. Tapi Elang sudah tidak peduli lagi. Maka malam itu juga ia pergi, membawa sakit hati dan luka mendalam karena perceraiannya ...
**
Suara jengkerik mengembalikan Elang ke alam nyata. Sekarang setelah dua tahun berlalu, tak banyak yang tersisa untuk Erika. Bahkan perasaannya yang dulu terhadap wanita itu pun sepertinya terkikis habis. Ia tidak yakin sekarang, apakah ia benar-benar mencintai Erika. Karena tak ada sedikitpun penyesalan karena perpisahan itu. Ia malah bersyukur, karena Tuhan sudah menunjukkan wanita macam apa pendampingnya itu, sebelum semuanya berlarut dalam kebohongan dan ketidakpercayaan.
Elang menatap kebun stroberinya sekali lagi. Sebulan lalu ia sudah menandatangani surat jual beli tanah di kawasan lereng Penanggungan, beserta sertifikat hak kepemilikan. Lahan perkebunan yang ia beli itu adalah tanah seluas lima hektar, terdiri dari tanaman jeruk, stroberi, sebagian sayuran, terutama kol dan bawang. Ia merasa beruntung, mendapatkan harga yang cocok karena pemilik perkebunan terdahulu, akan pindah keluar negeri, mengikuti salah seorang anaknya yang tinggal disana. Elang ingin segera memulai merintis usahanya, tentunya perlu persiapan matang dan menyita semua waktunya. Lagi-lagi, ia harus berterimakasih pada Pak Supono, yang dengan besar hati telah mengamanahkan padanya semua karyawan perkebunan yang selama ini dibawah kepemimpinannya.
Elang masuk ke dalam rumah, menuju ruang kecil di samping kamarnya, yang ia fungsikan sebagai ruang kerja. Laki-laki itu menatap selembar kertas yang baru keluar dari mesin print. Pelan ia mengambil bolpoin dan dengan mantap ia menandatangani surat itu. Ia memutuskan akan ke kantor besok dan menghadap pimpinan. Ya, ia akan menyerahkan surat pengunduran diri dari maskapai penerbangan tempatnya bekerja sebagai pilot selama lima tahun terakhir.
--
"Kau yakin soal ini?" Pak Hasno menyandarkan punggungnya yang mendadak terasa pegal di kursi kulit berlengan yang tampak mahal. "Kau salah satu pilot terbaik yang aku punya dan maskapai ini memerlukan tenaga serta pengalamanmu."
"Saya yakin, Pak. Saya minta maaf kalau pengunduran diri saya terkesan mendadak. Sebetulnya keputusan ini sudah ada sejak beberapa bulan yang lalu," Elang berusaha menjelaskan. Lalu sambungnya, "saya tahu bahwa saya masih terikat kontrak untuk beberapa penerbangan berikutnya, termasuk rute ke Eropa minggu depan. Bapak tidak usah khawatir, saya tetap akan menjalankan kewajiban saya. Tapi saya mohon Pak, untuk mempertimbangkan surat pengunduran diri saya."
Pak Hasno menarik nafas. Tampak jelas sedang berpikir. "Lalu alasanmu mengundurkan diri adalah ..."
"Saya memiliki perkebunan dan tidak bisa saya kelola secara maksimal kalau saya masih ada kesibukan lain. Bapak pasti paham maksud saya."
"Bukan karena alasan lain?" pancing Pak Hasno.
"Misalnya?" Elang balik bertanya.
"Rekan kerja? Suasana tempat kerja? Manajemen? Atau yang lainnya?"
Elang menggeleng mantap. "Bukan karena itu semua. Saya bahkan mempunyai rencana suatu saat nanti akan mengundang Pak Hasno untuk melihat-lihat perkebunan saya."
Pak Hasno, selaku Direktur Utama maskapai penerbangan tempat Elang bekerja, diam sesaat. Mencoba mencari kebenaran kalimat Elang. Mencoba membaca apa yang tersirat di mata karyawan laki-laki favoritnya itu. Tapi tidak ada apa-apa disitu. Tidak ada kebohongan atau kepura-puraan. Yang ada hanya ketegasan hati, kesungguhan dan kejujuran. Tanpa sadar Pak Hasno menghela nafas berat. Sungguh disayangkan. Elang termasuk salah satu pilot yang disiplin dan memiliki kinerja yang baik. Apalagi karena belakangan ini Tiara, putri satu-satunya, mulai sering bertanya soal Elang.
"El?"
"Ya Pak?"
"Maaf, aku bertanya sesuatu yang agak pribadi. Kau sudah punya calon pendamping?"
Elang kaget, tak mengira pertanyaan Pak Hasno. Entah beliau tahu darimana, Elang tidak terlalu ambil pusing.
"Ehm ... belum Pak."
"Karena?"
Elang menggeleng. "Saya masih ingin sendiri. Belum berminat untuk mencari calon pendamping, apalagi memikirkan soal pernikahan. Saya hanya ingin fokus di perkebunan saya."
"Baiklah kalau begitu. Kembali ke surat pengunduran dirimu. Akan saya pertimbangkan, kembalilah menghadap saya dua hari lagi dan kita akan bicarakan kelanjutannya, " Pak Hasno menutup file berisi surat Elang dan ia tahu bahwa pembicaraan mereka berakhir. Maka laki-laki itu pun bangkit berdiri dan pamit untuk kembali ke ruang kerjanya, melihat jadwal terbang berikutnya.
Elang menyimpan jadwal penerbangannya dengan rapi didalam tas kerjanya, lalu duduk dan menatap seluruh ruangan dengan seksama. Sebetulnya ia sangat menikmati pekerjaannya sebagai pilot. Terbang adalah impiannya sejak kecil. Tapi indahnya pengalaman berkelana kesana kemari sebagai pilot, tidak berbanding lurus dengan kehidupan pribadinya. Ia menikah dengan seorang pramugari, yang ternyata ia dijadikan obyek taruhan dan diperebutkan bahkan oleh putri Pak Hasno, Direktur utama maskapai! Elang tersenyum masam, teringat saat terakhir ia berkunjung kerumah Maminya. Saat Oryn datang kerumah. Oryn, yang taruhan dengan Erika ...
**
Diam-diam Elang mendesah frustasi. Sepanjang perjalanan menuju kawasan mal di Jl. Adityawarman, Elang lebih banyak membisu. Pikirannya nyaris nggak bisa teralihkan dari Indi, yang diajak Raja, entah dimana mereka.
"... pernah bilang, dia bisa mati saat kau memutuskan mengajaknya kencan, " suara Oryn lamat-lamat terdengar telinga Elang.
Elang kembali ke alam nyata. "Apa? Kau bilang apa tadi?"
Oryn mendengus kesal. "Kau nggak mendengar perkataanku barusan ya? Kemana sih pikiranmu, El?"
Mengabaikan kalimat Oryn yang ketus, Elang membelokkan begitu saja Accord hitam Oryn ke arah parkir Kunang-kunang, sebuah kafe yang bernuansa outdoor. Elang mematikan mesin mobil dan membuka pintu. "Aku lapar. Kita makan di sini saja."
Tanpa menunggu Oryn yang masih sibuk merapikan rambutnya yang lurus sebahu, Elang mendului masuk ke dalam kafe dan mengambil tempat di tepi jendela. Hebat! batinnya. Ia bukan lelaki yang gentle. Ia hanya tidak terbiasa bertele-tele, apalagi menghadapi perempuan yang terlalu perfeksionis.
Oryn duduk di seberangnya dan mulai membaca menu. Wanita itu sudah membetulkan rambut dan riasannya dan kini ia tampak sangat percaya diri.
"Kau mau pesan apa El?"
"Honey croissant dan kopi, " jawab Elang pendek. Ia nggak perlu menjelaskan pada Oryn kalo sekarang ia butuh kafein, setengah berharap otaknya mau sedikit bekerjasama, untuk mengenyahkan bayangan Indi sesaat saja ...
Oryn melambai pada pramusaji, seorang anak muda yang sopan dan berpakaian rapi. Menuliskan pesanan mereka dan mengucapkan terima kasih.
Oryn menatap Elang yang sedang memandang keluar jendela, ke arah lalu lintas kota Surabaya yang padat.
"El?"
Elang menoleh dan menatap Oryn tanpa ekspresi.
"Ini saat yang berarti buat aku. Tidak bisakah kau menyenangkan hatiku sekali ini?" nada suara Oryn terdengar memohon.
"Katakan saja apa maksudmu, Ryn. Nggak usah basa basi begini."
Oryn mengembuskan nafas pelan. "Aku jatuh cinta sama kamu, El. Sejak pertama kita ketemu. Aku minta, maukah kau memberi aku kesempatan untuk mengenalmu lebih jauh? Aku sudah mendengar cerita soal Erika ...," Oryn sengaja menggantung kalimatnya, melihat reaksi Elang. Tapi laki-laki itu tetap memandangnya tanpa ekspresi. Matanya tak dapat dibaca.
"Aku bukan Erika dan aku berani mengatakan padamu kalau kisah seperti itu nggak akan terjadi lagi."
"Tentu saja, " Elang menahan senyum. "Kau kan bukan Erika."
Jemari Oryn terulur, menyentuh tangan Elang yang berada diatas meja. "Percaya padaku, El ... aku ingin lebih mengenalmu. Ijinkan aku menjadi bagian hidupmu ..."
Perkataan Oryn terputus dengan kedatangan pramusaji yang membawakan pesanan mereka. Dengan halus Elang menarik tangannya dan mulai menyibukkan diri dengan croissantnya. Sementara mulutnya mengunyah dan Oryn yang mulai mengoceh tentang diri dan keluarganya, pikiran Elang kembali mengembara.
Dimana Indi sekarang? Apa yang sedang ia lakukan dengan Raja? Sial! Adiknya itu pasti sangat menikmati kebersamaan bersama Indi. Entah ini hanya perasaannya saja ataukah kenyataan yang mulai menakutkannya, bahwa kedua adiknya juga menaruh perhatian pada Indi. Bukan lagi seperti adik dan teman masa kecil, tapi lebih dari itu.
"... ya kan, El?"
Otak Elang kembali ke alam nyata. Matanya mengerjap dan menatap Oryn. "Sori, apa tadi? Maaf aku nggak konsen."
Oryn membanting serbetnya dengan kesal. "Aku tahu!"
Elang mengelap mulutnya dengan tisu. "Aku benar-benar minta maaf, Ryn. Pikiranku sedang nggak bisa fokus. Aku capek."
Oryn mengangguk. "Tentu saja. Bersepeda mampu membuat seseorang merasa capek. Bahkan jika seseorang itu sebugar dirimu," nada suara Oryn terdengar sedikit sinis. Tapi Elang mengabaikannya.
"Denger Ryn," Elang berkata tenang. "Aku sangat menghargai apa yang sudah kamu lakukan, perhatianmu, perasaanmu. Aku hanya ingin kamu tahu, aku samasekali nggak berminat untuk menjalin hubungan dengan siapapun, sekarang ini. Entah sampai kapan, aku nggak tahu," Elang mengangkat bahu.
"Termasuk Indi?" mata Oryn menyipit curiga.
Elang menggeleng. "Indi bukan orang lain bagiku. Dia sudah seperti keluarga.:
"Jadi, ini akhirnya?" desak Oryn.
"Kau tahu kan kalau perasaan nggak bisa dipaksakan. Jadi tolong, abaikan aku. Jangan buang waktumu untukku. Jangan sia-siakan waktumu untuk seseorang seperti aku."
Oryn menatap Elang dengan pandangan masih menyiratkan penasaran. "Kau akan menyesal, El. Kau akan menyesal karena telah menolakku!"
"Biarkan hubungan kita tetap profesional, sebagai rekan kerja. Jujur saja aku tidak menaruh respek sama kamu di luar hubungan pekerjaan. Terlebih karena kamu sudah menjadikan aku sebagai taruhan!" Elang berujar tenang.
Oryn memucat tiba-tiba. "Da ... darimana kamu tahu?"
Elang hanya tersenyum tipis. "Sebaiknya kita pulang sekarang. Kita sudah selesai makan dan sudah selesai bicara, Elang mengeluarkan dompetnya."
"El?"
"Ya?"
"Aku minta maaf soal taruhan itu. Kau mau kan memberi aku kesempatan?"
Elang menatap Oryn dengan seksama. Tatapannya bersungguh-sungguh. "Aku laki-laki yang pernah gagal membina rumah tangga, Ryn. Mengenal perempuan lain tidak mudah buat aku. Atau lebih tepatnya, aku nggak mau terlalu terburu-buru menjalin hubungan lagi. Tolong jangan paksa aku dan please ... jangan buang waktumu untukku. Aku tidak berniat menjalin hubungan dengan siapapun sekarang ini. Tidak tahu sampai kapan. Sekarang, lebih baik kau pulang. Aku bisa pulang sendiri dari sini."
Oryn tertegun. Sebenarnya ia sudah tahu dari awal kalau laki-laki ini akan menolaknya, tapi ia tadi amat percaya diri, saat Elang mau keluar dengannya.
"Apakah kau masih mencintai Erika?"
Elang masih memandang Oryn. "Tidak."
"Apakah kau, mencintai perempuan lain?"
"Sejak kapan kau hobi menginterogasi orang?"
Oryn tak menjawab. Haruskah ia mengatakan bahwa ia sangat penasaran dengan semua hal yang menyangkut Elang?
Elang bangkit berdiri. "Maafkan aku, Ryn ... aku harus pergi."
Oryn hanya membisu, tak sanggup berkata-kata, hingga Elang menuruni tangga keluar dan menghilang dari pandangan.
**
Elang mendengus. Pastinya Oryn tidak tahu kalau ia sudah tahu mengenai taruhan itu. Memangnya apa sih yang dilihat para wanita itu dari dirinya? Demi Tuhan, ia bukan barang! Ia merasa harga dirinya terkoyak. Ia bahkan nggak ingin memikirkan apa saja yang para wanita itu bicarakan di belakangnya.
Ia berdiri dan memandang keluar, ke arah pemandangan kota Surabaya yang padat. Terus bertahan dalam maskapai ini akan semakin membuatnya gerah. Kadang ia berpikir alangkah pengecutnya dia, hanya karena masalah seperti ini ia lantas mengajukan permohonan pengunduran diri. Tapi ia berpikir lagi bahwa, ia memiliki obsesi sendiri. Obsesi untuk mewujudkan impiannya.
Menjadi seorang pengusaha. Yang berdiri diatas kakinya sendiri. Yang bisa mengatur dirinya sendiri. Baiklah. Ia memang belum jadi pengusaha besar seperti Bob Sadino. Tapi ia akan segera memulai usahanya dan itu perlu beberapa langkah. Sepertinya ia harus banyak berbincang dengan Pak Supono, yang kini tinggal di Amsterdam. Mengenai kolega dan relasi, serta apa saja yang harus ia lakukan untuk mengawali langkahnya. Mungkin ia bisa mencuri waktu beberapa jam saat ia terbang ke Eropa minggu depan. Ya, ya ... ide yang bagus dan selaginya ia sedang berpikir tentang rencananya, pintu ruang kerjanya diketuk pelan.
"Pagi, El," sapa seseorang dengan suara selembut satin.
Elang menoleh. Seorang wanita muda berusia sekitar dua puluh lima, dengan dandanan modis mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki, berdiri dengan sikap femininnya yang amat menonjol, sedang menatapnya dengan mata lebar berbinar. Elang memperhatikan lagi rambutnya, serta semua aksesoris mewah yang dipakai wanita itu. Minimal ia punya hobi belanja di Hong Kong, bukan hanya sekedar di Pasar Atoom. Gadis itu Tiara, putri Bosnya. Lebih tepatnya, Tiara Hasno.
"Halo, Tiara, " Elang bersidekap. "Ada yang bisa kubantu?" tanya Elang tawar. Oh ya, kau sangat ramah El, terutama pada putri Bosmu, yang membuat Erika jatuh bangun mengejarmu hingga berhasil membuatnya menikahi wanita itu dan membuat Oryn kalah dengan taruhannya.
"Aku hanya ingin menyapamu. Kebetulan aku mampir sebentar kesini, kau tau kan bahwa maskapai akan menyelenggarakan acara makan malam rutin bersama?" Tiara mengangkat bahunya dengan ringan. Kulit bahunya yang putih menyembul dari jaket bulu yang ia kenakan.
Ah ya, acara makan malam rutin membosankan yang diadakan secara rutin oleh maskapai setiap tiga bulan sekali. Sebetulnya acara ini mirip gathering company, hanya saja diadakan di ruang tertutup, seperti restoran besar atau di hotel berbintang. Seingatnya, selama ia bergabung di maskapai ini, Elang nyaris nggak pernah menghadirinya. Itu hanya acara basa-basi membosankan yang bikin dia muak, karena semua orang mendadak ingin mendekati Bos.
"Ya. Aku ingat acara itu, " tanggap Elang sekedarnya.
"Tapi sayang sekali, kau hampir nggak bisa datang kan, di semua acara itu? Paling hanya sekali dua kali saja kau hadir ..."
Wow, ternyata Nona Muda ini sangat perhatian pada karyawan Ayahnya. "Aku sibuk. Memang betul-betul nggak bisa," jawab Elang.
"Kemungkinan acara makan malam kali ini, akan diadakan di luar. Semacam dibuat outbond," ujar Tiara lembut. "Apakah kau punya usul dimana tempat yang bagus? Aku akan mengusulkannya pada Ayahku dan dia pasti akan setuju.”
Tentu saja. Ayah mana yang bisa menolak permintaan putri satu-satunya? pikir Elang masam.
"Kau nggak perlu tanya pendapatku, Tiara. Kau jauh lebih mengerti akan hal-hal semacam ini daripada aku. Aku cuma seorang laki-laki biasa yang jarang keluar rumah dan aku nyaris nggak tahu tempat-tempat seperti itu."
"Tapi kau tahu betul rute ke Asia, atau Eropa, ya kan?"
"Ya, " angguk Elang, separuh geli. Untuk itulah Ayahmu mempekerjakan aku.
"Oh tolonglah El, " Tiara mendekati Elang. "Jangan pernah berkata seperti itu. Kalian semua sudah seperti keluarga bagi kami. Terutama kau," jemari Tiara mengelus lengan Elang. "Ayahku sangat sayang padamu. Kau tahu itu."
Pelan Elang menjauh, menepis tangan Tiara secara halus. "Nggak. Aku nggak tahu soal itu. Maafkan aku, aku masih ada pekerjaan..., " Elang menuju kursinya dan membuka buku agendanya. Mencari janji temu dengan teknisi pesawat yang ia tahu pasti tidak ada, untuk hari itu.
Tiara mendesah pelan. "Baiklah. Aku tidak akan mengganggumu lagi. Tapi, apakah kau mau, kapan-kapan keluar denganku, El? Untuk makan malam sederhana?"
Elang mengangkat wajahnya dan ia berani mengatakan bahwa Tiara sedang memandangnya dengan tatapan memohon-yang-sulit-ditolak. Apa katanya tadi? Makan malam sederhana gadis itu tidak mungkin di angkringan. Pastilah minimal di Pacific!
"Aku nggak bisa janji, Tiara. Mungkin tidak. Aku lebih suka makan dirumah."
"Oh ... kalau begitu ide bagus. Aku bisa datang ke rumahmu dan membawakan makan malam yang enak," senyum Tiara.
Gadis itu berkata ia akan membawa makan malam dan ia tidak berkata akan memasak untuk Elang. Lelaki itu hanya tersenyum tipis.
"Maafkan aku, Tiara. Aku nggak bisa menjanjikan apa-apa. Biasanya saat pulang, aku akan menghabiskan hari-hari dengan keluargaku. Maaf, " Elang memasang tampang menyesal, lalu menekuni buku agendanya.
"Aku mengerti, " tukas Tiara agak tajam. "Kau menolakku, bukan?"
Elang menatap gadis itu dan mengangkat sebelah alisnya yang bagus.
"Aku tahu, El. Aku akan pergi dari sini. Tapi aku pastikan, kita akan bertemu lagi! " Tiara membalikkan badan, masih bersikap anggun dan mengayun langkah keluar dari pintu.
Elang mendesah keras dan menutup buku agendanya. Tuhan, ia hanya ingin hidup dengan tenang. Tapi kenapa selalu ada saja gangguan?
Tentu saja Elang tidak tahu, saat Tiara keluar dari ruang kerjanya, gadis itu berjalan menuju mobilnya dengan menitikkan air mata.

Comentário do Livro (117)

  • avatar
    WicaksanaWira

    okk

    21/08

      0
  • avatar
    Zakihanan

    bagus

    13/08

      0
  • avatar
    GabrielaFelicia

    SGT seru ceritanya

    07/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes