logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 4 INDI #3

"Ini mau dibikin apa nih, Tante?" Indi mengangkat bungkusan keju yang berukuran super besar. "Lalu yang ini?" Indi menunjuk ke arah serutan kelapa muda dalam mangkok.
Tante Mira menoleh dari balik bahunya. Wanita itu sedang sibuk menimbang tepung. "Rencana sih Tante eksperimen bikin klappertart. Bantuin ya?"
"Siappp, " dengan tangkas Indi meraih celemek berwarna biru muda bunga-bunga dari gantungan dibalik pintu dapur. "Resepnya mana, Tante?"
"Itu di atas kulkas. Eh sebentar, tolong teruskan dulu ya, aku denger ponselku bunyi nih, " bergegas Tante Mira keluar dari dapur tanpa menunggu persetujuan Indi.
Gadis itu menguncir rambutnya yang panjang menjadi ekor kuda dan mulai mengambil perlengkapan dari lemari gantung. Wadah untuk membuat adonan, mixer dan menyiapkan sejumlah telur yang dibutuhkan. Suara musik mengalun pelan dari stereo lengkap yang terletak disudut dapur. Tante Mira selalu memasak dan membuat kue dengan ditemani musik, kecuali Bik Mus, yang nggak pernah menyentuh alat canggih itu.
"Aku selalu suka melihatmu di dapur, " terdengar suara dalam, hangat dan lembut dari belakang Indi.
Gadis itu membalikkan badan dan terkejut melihat Elang sedang berdiri menyender di pintu dapur. Bibirnya menyunggingkan senyum mautnya, membuat wajahnya semakin tampan dan tampak jauh lebih muda. Indi hanya melongo melihat Elang. Dalam balutan setelan kasual, celana linen abu-abu gelap dan sweter turtleneck abu-abu pucat lengan panjang yang lengannya digulung hingga siku, Elang bahkan jauh lebih tampan dari Daniel Craig.
"In? " Elang melangkah ke arah Indi yang masih ternganga. Bahkan gaya berjalannya pun amat cool, batin Indi.
"Kamu baik-baik saja? " Elang menatap Indi dengan tatapan geli. Bibirnya masih menyunggingkan senyum. "Kau seperti melihat hantu ..."
Indi tersipu. Semburat merah menjalari pipinya yang putih bersih. Menuruti dorongan hati, jemari Elang terangkat, menyibakkan sejumput rambut Indi yang mencuat dari kunciran dan menyelipkannya dibalik telinga gadis itu. Indi semakin salah tingkah.
"Kau tahu, kau sangat cantik, terutama saat di dapur," pelan suara Elang. "Aku suka cewek yang pintar masak."
"Eh ... ehm, Mas Elang kapan datang? " kikuk suara Indi.
"Tadi pagi. Istirahat sebentar, lalu kesini. Aku ingat punya janji mau ngasih sesuatu sama kamu. Jika kali ini aku beruntung, semoga kamu mau kuajak malem mingguan lagi, " Elang mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah kotak beludru berwarna hijau dan menyerahkannya pada Indi. "Buat kamu," Elang menaruh kotak itu ditelapak tangan Indi.
Dengan tangan agak gemetar Indi membuka kotak itu dan terbelalak takjub melihat isinya. Gadis itu mengagumi perhiasan itu sesaat, lalu tersadar. Alangkah dekil penampilannya. Alangkah kotornya tangannya yang belepotan tepung dan mentega. Sementara Elang ...
"Suka nggak?" tanya Elang was-was.
Indi mengangguk.
"Tapi?" tanya Elang lagi.
"Masa Mas nggak lihat? Penampilanku yang berantakan, tanganku yang kotor kena tepung ... aku pikir Mas mungkin mau ngasih barang ini saat aku sedang nggak berkutat dengan adonan, tepung, keju dan ..."
Telunjuk Elang menutup mulut Indi. "Sshh ..."
Tanpa bicara laki-laki itu mengambil gelang dan mengangkatnya. "Kau mau memakai di tangan kanan atau kiri?"
Refleks Indi mengusapkan tangannya sesaat ke celemek, lalu menyodorkan tangan kanannya ke arah Elang. "Kanan, Mas ..."
Elang memasang gelang itu di pergelangan tangan Indi, menyesuaikan talinya dan mengepaskan batu gioknya berada di atas. Kemudian diambilnya cincin dan memasangnya di jari manis gadis itu. Elang menunduk, dengan hati-hati menyesuaikan talinya supaya tidak terlalu longgar dan tidak terlalu ketat dijari Indi. Sementara Elang masih sibuk membetulkan letak batu giok itu, Indi menahan nafas, sampai Elang mendongak dan menatap Indi dengan sepasang matanya yang seolah mengandung sihir.
Pelan Elang mengangkat jemari Indi dan membawa tangan gadis itu ke bibirnya. Indi mengejang sesaat. Ia nggak pernah menerima perlakuan semanis itu dari seorang laki-laki. "Terima kasih sudah menungguku pulang, Nona ..."
Indi mengerjap. "Eh ... iya Mas. Aku juga makasih, buat oleh-olehnya. Cantik sekali."
Elang nyengir. Dengan gerakan cepat, tangan Elang mencolek tepung dalam wadah plastik dan menggoreskannya di pipi Indi. Gadis itu terkesiap, lalu balas mengambil tepung. Elang berlari mengitari meja makan, tertawa-tawa, menghindari lemparan serbet Indi dan gadis itu yang ikut tertawa riang mengejar Elang. Tak lupa membawa mentega dan telur untuk membalas laki-laki itu.
Tanpa mereka sadari, dua pasang mata menatap mereka dengan tatapan tak percaya. Sepasang mata milik Tante Mira, yang berdiri diujung tangga menuju dapur, memandang dengan mulut ternganga dan sepasang mata milik Raja, yang baru saja melilitkan jubah mandinya sehabis berenang di kolam samping rumah ...
--
Udara minggu pagi yang sejuk menyambut Indi. Dengan mengenakan celana selutut dan kaus oblong, rambut diikat ekor kuda, gadis itu melangkahkan kaki dengan lincah. Mulai berlari-lari kecil, lalu menambah kecepatan larinya, mengelilingi komplek perumahan. Indi berhenti sejenak di taman perumahan, yang pagi itu nampak ramai. Setelah sepuluh menit istirahat, Indi kembali memasang headsetnya dan mulai berlari.
Kira-kira beberapa blok dari rumahnya, ada seseorang yang menyapanya dari belakang.
"Nona?" seseorang itu menepuk bahunya pelan.
Indi menghentikan langkah dan melepas headsetnya. "Mas Elang?"
"Hai..., " Elang memamerkan salah satu senyum menawannya. "Sama siapa?"
"Sendirian. Mas suka naik sepeda gunung? Aku kira Mas suka jogging, atau nge-gym."
Elang tertawa. "Dua-duanya suka. Tapi hari ini, sepeda ini kayaknya mengejekku. Jadi yaa, aku memutuskan untuk naik sepeda. Kau mau pulang?"
"Iya nih, Mas. Udah siang."
"Bareng aku saja yuk?"
Indi menatap Elang. "Mas Elang mau jalan kaki sama Indi?"
"Terus, sepedanya disuruh jalan sendiri?"
Indi tertawa. "Mas nih, becanda mulu."
Elang memandang Indi, lalu turun ke jemari gadis itu dan pergelangan tangannya. Gelang dan cincin giok itu amat pas berada di tangan Indi. Amat kontras dengan warna kulitnya yang sewarna gading.
"Gimana kalau kamu naik ke setang sepeda ini
dan kita bersepeda bareng?" tawar Elang.
Indi menimbang-nimbang sejenak. Tampak jelas keraguan membayang di matanya, melihat setang sepeda yang kecil itu dan kedekatan dengan Elang. Laki-laki itu tampak luar biasa tampan dalam setelan olahraganya yang berwarna putih bersih.
"Aku ingin pulang bareng kamu, " kata Elang. "Kemarilah, " Elang menegakkan tubuhnya yang jangkung dan menggamit tangan Indi.
Dengan canggung Indi naik ke setang sepeda dan duduk senyaman mungkin. Tubuhnya yang tinggi meringkuk dalam rangkuman lengan Elang yang mulai mengayuh sepeda. Jantung Indi mulai jumpalitan. Aroma Elang yang segar dan maskulin menerpa hidungnya.
"Malem minggu kemarin kemana, In?" tanya Elang sambil membelokkan sepeda di tikungan jalan yang menuju rumah mereka, yang masih beberapa blok lagi jauhnya.
"Nggak kemana-mana, Mas. Di rumah saja, kebetulan Mama sama Papa juga nggak kemana-mana. Mas kan tahu, aku pulang seminggu sekali. Jadi kalau ada kesempatan untuk ngobrol bareng mereka, aku nggak akan melewatkannya. Mas sendiri kemana?" tanya Indi, suaranya terkesan gugup. Kikuk dengan kedekatan mereka.
"Nggak kemana-mana juga. Cuma ngobrol sama Mami. Waktu mau pulang, Mami nggak kasih ijin. Sudah kemaleman, katanya. Disuruh nginep, tidur di kamarku yang dulu. Mami sering lupa kalau aku sudah bukan remaja lagi. Tapi yah, karena Camar keluar untuk malem mingguan dan Raja yang mendadak jadi pertapa di kamarnya, akhirnya aku yang nemani Mami, " jawab Elang. Laki-laki itu berusaha membuat suaranya terdengar santai, namun gagal. Berada sedekat ini dengan Indi, mencium wangi rambutnya yang seperti bunga-bunga dan yang jelas, mereka pastilah terlihat mesra ...
Elang masih berusaha meredakan debar jantungnya saat ia melihat ada penjual es krim diujung jalan. "Nona, mau es krim?"
"Mau banget, " jawab Indi.
Elang menepikan sepedanya dibawah pohon. "Kamu mau rasa apa?" tanya Elang.
"Aku suka coklat vanilla," Indi mendongak, lalu menyadari kesalahan itu. Elang sedang menunduk memandangnya sementara wajahnya hanya beberapa senti dari wajah Indi. Sepasang matanya yang kelam menatap Indi dan Indi lupa akan berkata apa.
"Aku suka strawberry vanilla," ujar Elang dengan suara parau. "Kau cantik sekali, In," jemari Elang terulur, menyentuh pipi gadis itu sekilas. Semburat merah menjalari pipi Indi.
"Sana. Keburu penjualnya pergi," Elang menegakkan tubuhnya, memberi kesempatan Indi untuk membeli es krim.
Sementara Indi menghampiri penjual es krim, diam-diam Elang mengutuki dirinya sendiri. Entah kenapa dirinya begitu mudah lepas kontrol saat sedang bersama Indi. Sepertinya hatinya berubah jadi es krim yang mencair, begitu mudah meleleh hanya dengan cara Indi menatapnya. Ia nggak pernah merasakan hatinya yang seperti ini, dorongan impulsif tolol, untuk menyentuh gadis itu. Bahkan tidak dulu saat ia dengan Erika, mantan istrinya. Ini nggak adil. Gadis itu masih sangat muda. Ia mungkin sudah punya pacar sekarang, atau seseorang yang mendekatinya. Bukan seorang duda usia tiga puluhan yang genit melihat seorang gadis cantik ...
Tapi Elang samasekali nggak punya niat untuk mempermainkan Indi. Demi Tuhan, gadis itu sudah seperti adiknya sendiri. Adik yang mampu membuatnya terkena serangan jantung mendadak.
"Mas?" suara Indi membuyarkan lamunannya. Tangannya mengacungkan dua cup es krim yang terlihat sangat enak.
"Sini. Ayo kita pulang," ajak Elang.
"Es krimnya?"
Elang memasang wajah menyesalnya yang menawan. "Tolong bawakan dulu. Aku sedang memegang setang, karena kita berdua naik sepeda ini. Terutama karena aku nggak mau kita jatuh gara-gara aku makan es krim, kecuali kau mau membawakannya untukku dan menyuapi aku ..."
Indi tersenyum. "Aku ngerti, Mas. Ayo deh, kita pulang. Es krimnya aku bawakan saja."

Akhirnya sepanjang perjalanan pulang mereka ngobrol, tertawa riang dan bercanda sambil sesekali Indi menyorongkan es krim ke mulut Elang. Hingga Elang memasuki halaman rumahnya dan memarkir sepedanya di sudut taman.
"Eh, masih ada tuh es krimnya, " tunjuk Elang dengan dagunya.
"Astaga, Mas. Ini tinggal cupnya, " Indi meringis.
"Lho iya kan cupnya bisa dimakan? Dari roti kan itu? Mau dong, " Elang menundukkan kepala. "Kamu nggak boleh turun dari sepeda sebelum nyuapin aku cup roti itu sampe habis."
Indi tertawa renyah, lalu menyodorkan cup roti yang sudah mulai melempem itu. Dengan lahap Elang memakan cup itu dari jemari Indi. Indi tertawa melihat gaya Elang seperti anak kecil yang nggak pernah makan es krim.
"Kalian sudah selesai?"
Sebuah suara ketus memecahkan suasana akrab diantara mereka. Camar, berdiri didepan pintu masuk rumah, menatap Elang dengan pandangan menuduh. Bibirnya mengatup membentuk garis lurus dan alisnya menyatu di tengah.
Elang dan Indi menoleh ke arah Camar.
"Kurasa begitu, " jawab Elang. "Ada apa?"
"Ada tamu, " tawar suara Camar, lalu dengan cuek masuk kedalam rumah. Berusaha meredakan emosi yang mendadak melejit ke otaknya.
Seorang gadis cantik menyembul dari balik punggung Camar. Mengenakan tank top ketat warna putih, rok jeans mini dan sepasang sepatu berhak sepuluh senti, kulit kecoklatan yang menawan, gadis itu terlihat menarik.
"Halo, El ..."
"Halo, Ryn. Ngapain kamu disini?"
Gadis itu mengangkat bahunya. "Kangen kamu?"
Elang menoleh ke arah Indi. "Maukah kau menemani dia sebentar? Aku mau mandi dulu?"
Indi tersenyum. "Tentu saja, Mas."
Elang balas tersenyum, mengendus sejenak wangi rambut Indi dan menegakkan tubuhnya dari sadel sepeda.
"In, kenalin ini temanku, salah satu pramugari juga, Oryn. Ryn, kenalin ini Indi," Elang mengenalkan mereka berdua. Indi mengulurkan tangannya dan disambut oleh Oryn.
"Apa kabar, El? Terakhir kita terbang bareng, kamu ngilang begitu saja," suara Oryn terdengar manja sekarang. Gadis itu mengulurkan tangan pada Elang dan mencondongkan tubuhnya ke depan, hendak mencium Elang.
"Kabar baik. Aku masuk dulu ya?" dengan luwes Elang menghindari wajah Oryn yang hendak menciumnya. Lalu tersenyum. "Kamu tunggu disini dulu sama Indi."
Gerakan Oryn terhenti di udara. "Ah ya, aku lupa. Kamu nggak mau disentuh sembarang perempuan," ujarnya dengan suara penuh sesal yang dibuat-buat.
Elang mengangkat bahu, lalu masuk ke dalam rumah.

"Mau duduk di beranda samping?" tawar Indi ramah. "Aku manggilnya apa nih? Kak Oryn mungkin ya?"
Oryn tersenyum. "Boleh juga."
"Kak Oryn rumahnya dimana? Sepagi ini sudah sampai sini?" Indi meletakkan dua gelas air jeruk dan setoples kacang di atas meja.
"Surabaya, In. Sebetulnya, dari semalem aku sudah di jalanan. Sore kemarin aku ke Pacet, ke rumah Elang. Mungkin bisa mengajaknya malem mingguan atau apa ... tapi Pak Karto bilang Elang sedang ke Sidoarjo dan katanya belakangan ini semakin sering ke sini," Oryn menyilangkan kakinya. "Kurasa aku tahu kenapa dia sering ke sini," Oryn menatap Indi.
"Tante Mira sering kesepian, Kak. Mas Elang dan Mas Raja kan sibuk sama kerjaannya. Camar juga ribet kuliah, kan dia satu kampus sama aku. Jadi ya wajar saja kalo Mas Elang sering pulang ..."
Oryn tertawa, meraih gelas berisi air jeruk dan meneguknya pelan. "Kau benar-benar nggak ngerti ya?"
"Ngerti apa?" Indi mengernyit heran.
"Aku iri melihat kalian berdua. Bisa-bisanya kau sedekat itu dengan Elang dan bersepeda bareng. Kau tahu, saat kami istirahat dari jam terbang, nyaris semua temanku pergi bareng. Entah ke bar, shopping, beli souvenir, atau sekedar keliling kota, karena hampir pasti kami selalu menginap sebelum melanjutkan penerbangan. Tapi Elang nggak pernah mau ikut dengan kami," Oryn tertawa getir. "Dia penyendiri. Cuek sama lawan jenis dan nggak tertarik dengan hal-hal yang berbau hura-hura."
Indi melongo. Apa iya, Mas Elangnya yang begitu hangat dan bersahabat ternyata seperti itu di tempat kerjanya?
"Kau tahu, In. Bukan hanya aku di maskapai yang naksir Elang, bahkan putri pemilik maskapai juga menaruh perhatian khusus padanya. Kami semua lebih dari siap untuk mendampinginya, keluar dari maskapai kalau perlu," Oryn memainkan gelasnya.
"Tapi?"
"Tapi, seperti yang kau tahu, laki-laki itu sepertinya memiliki hati yang terbuat dari es batu!"
Indi menahan senyum.
"Tapi sekarang semua itu nggak penting lagi," terdengar suara Oryn penuh tekad. "Aku akan mengajaknya keluar seharian ini dan memaksanya untuk mengatakan perasaannya yang sebenarnya."
"Oh ya?" tiba-tiba Elang muncul dari balik pintu ruang samping yang menghubungkan beranda dan ruang keluarga. "Apa rencanamu hari ini untuk memaksaku, Ryn?"
Elang memilih duduk disamping Indi, cukup dekat dengan gadis itu dan membuat Indi salah tingkah. Alih-alih menutupi kegugupannya, Indi menatap ke arah air kolam renang yang berkilau diterpa sinar matahari pagi.
"Kurasa bukan ide yang bagus untuk mengatakannya didepan gadis ini, El," kata Oryn dengan manis.
Elang merentangkan lengannya disandaran kursi yang diduduki Indi. "Nggak ada rahasia di depan Indi. Dia sudah seperti adikku sendiri."
Indi mengambil gelasnya dan meminum air jeruknya. "Permisi dulu, Mas. Aku lupa belum bikinin minum buat Mas Elang, " Indi hendak bangkit berdiri.
Jemari Elang merangkul bahu Indi, meremasnya dan setengah memaksanya untuk duduk kembali. "Jangan pergi, " gumam Elang. "Tetaplah di sini."
"Adik?" Oryn menatap Elang dengan sangsi. "Kau yakin?"
"Apakah menjadi masalah buatmu, aku yakin atau tidak?"
"Tentu saja, El, " suara Oryn agak terdengar ketus sekarang. "Bahkan orang buta bisa melihat kedekatan kalian!"
Elang mengangkat sebelah alisnya yang bagus. "Lalu apa masalahnya?"
"Masalahnya adalah, aku ingin bicara denganmu sekarang. Di tempat lain, yang lebih pribadi dan jauh dari sini?" Oryn mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. "Yang jelas, hanya kita berdua ..."
Elang diam, menimbang-nimbang sesaat. Suasana hening yang tidak mengenakkan terjadi begitu saja.
"Ayolah El, sesekali keluar denganku. Aku sudah jauh-jauh kemari. Kau tahu, kau termasuk orang yang sulit ditemukan," Oryn memandang Elang dengan ekspresi seakan hendak menyeret laki-laki itu, kalau saja bisa.
Belum sempat Elang menjawab, Raja menyembulkan wajah dari balik pintu. "Mas, aku mau jalan dulu. Tolong pamitkan ke Mami. Eh, ada Indi," Raja melenggang keluar. "Mau ikut, In? Aku sedang survey lokasi untuk rencana gathering bulan depan di Taman Dayu. Mungkin ke Trawas dan sekitarnya juga, sekalian cari sate jamur. Kau mau?"
Sepasang mata Indi bersinar. Ia paling nggak tahan mendengar kata-kata sate jamur. Diam-diam Indi bersyukur dalam hati, bahwa Raja sudah menyelamatkannya dari situasi yang nggak nyaman ini.
"Mau banget, Mas. Tapi aku harus pulang dulu, pamit Mama dan ...," Indi bangkit berdiri. "Sepertinya aku harus ganti baju dulu," Indi menoleh ke arah Elang. "Aku pamit dulu ya Mas, Kak Oryn."
Elang tak menjawab, hanya menatap kepergian Indi dengan sorot mata yang tak dapat ditebak, apalagi saat Raja melingkarkan tangannya di bahu mungil Indi, lalu menoleh dengan santai ke arah kakaknya. "Selamat bersenang-senang, brother. Ayo In, kuantar kau pulang dulu ..."


Comentário do Livro (117)

  • avatar
    WicaksanaWira

    okk

    21/08

      0
  • avatar
    Zakihanan

    bagus

    13/08

      0
  • avatar
    GabrielaFelicia

    SGT seru ceritanya

    07/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes