logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

BAB 6

SELINGKVH ONLINE 6
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Cinta bisa membuat seseorang merasakan kepedihan orang yang kita cintai. Itu adalah sebuah pertanda sedalam mana perasaan dan hati kita terpaut padanya.
Begitu juga dengan Byakta. Cintanya mengharuskan tidak bisa memiliki Ayya. Ia hanya bisa merasakan setiap kepedihan yang Dean dan ibunya berikan. Ia sungguh tidak ingin melihat Ayya menangis memohon seperti dulu. Itu membuat hatinya sakit teramat sakit.
Byakta adalah saudara tiri dari Dean. Ayah Dean menjadikan ibu Byakta sebagai wanita kedua. Hanya informasi itu yang ia tahu. Ibunya tak pernah sekali pun menceritakan hal-hal yang negatif tentang keluarga. Ia hanya mengingat tentang satu hal, kalau Ayah adalah orang yang paling mencintai kita melebihi apa pun. Ia tidak pernah tahu polemik apa yang sebenarnya terjadi.
Oleh karena itu, Byakta mencoba mengejar mimpinya menjadi seorang penulis dengan alat seadanya. Hingga sekarang bisa sampai mencapai titik di mana namanya dikenal oleh banyak orang dalam dunia biru juga komunitas literasi.
Setelah ibu Byakta berpulang lima tahun silam, hidupnya sebagian digunakan untuk membantu ibunya Dean mengantar pesanan kuenya. Dean melakukan semua itu dengan suka rela, sebab tidak ada kegiatan yang berarti selama di rumah. Byakta menghabiskan separuh waktunya untuk bergelut dengan tulisan. Ia merasa menjadi diri sendiri saat berhadapan dengan huruf-huruf.
Byakta juga memendam perasaannya sendiri selama tiga tahun. Ia merelakan tidak mengejar pujaan hatinya demi Dean. Akan tetapi, jika kenyataannya seperti ini hati Byakta menjadi ingin merebutnya. Ia tidak rela melihat perjuangan Ayya selama ini hanya berakhir luka yang menganga dalam.
“Dean ...!”
Byakta memanggil Dean yang sudah berjalan melewati tempat di mana ia berdiri.
“Ada apa, By?” Dean membalikkan tubuhnya dan menatap mata coklat milik Byakta. Ada sorot kemarahan yang tersirat di sana.
“Jika kamu sudah tidak sanggup menjaga Ayya, berikanlah padaku. Aku akan menjaganya dengan segenap kekuatanku, melebihi di saat kamu menjaganya,” ucap Byakta dengan sadar. Ia sudah tidak sanggup melihat Ayya terluka.
Dean membisu, tetapi hatinya justru panas membara mendengar pernyataan Byakta. Ia berpikir kalau Byakta menyukai Ayya tanpa sepengetahuan darinya.
“Maksudmu apa, By? Apa selama ini kamu diam-diam menyukai Ayya tanpa sepengetahuanku?” tanya Dean. Ia tidak percaya Byakta mencoba menusuknya dari belakang. Gambaran itu semakin jelas dalam pikirannya mendengar ucapan pria di depannya.
“Mau aku suka atau bahkan cinta mati pada Ayya, itu bukan urusanmu. Yang jadi urusanku adalah, melihat Ayya terluka. Bukankah kamu sudah banyak menorehkan luka di hatinya? Jadi jika nanti aku mencurinya darimu, jangan pernah kamu menyalahkan aku,” jelas Byakta. Wajahnya terlihat begitu serius. Ia pergi meninggalkan Dean yang masih berdiri mematung.
Dean masih tidak percaya apa yang baru saja didengarnya. Bagaimana mungkin, Byakta bisa mengenal Ayya? Sedangkan ia sama sekali belum pernah mengenalkan padanya. Karena Byakta sering menyibukkan diri dengan usaha yang menurutnya tidak jelas.
Byakta diam-diam memang membuat ruangan khusus di belakang rumah. Dean pernah melihatnya sekali. Ada banyak coretan dalam kertas dan berserakan di lantai. Dean sedikit tahu kalau Byakta menyukai buku cerita dan novel. Dean juga tahu kalau Byakta mulai terjun dalam dunia literasi. Padahal menurutnya hal itu hanya membuang-buang waktu.
“Dean ...!”
Suara panggilan Safira terdengar dalam rungu Dean. Semua lamunannya membuyar saat memikirkan maksud dari perkataan Byakta. Safira memang selalu hadir saat dirinya tidak membutuhkan.
“Anterin aku pulang yuk?” pinta Safira. Suaranya seoalah dibuat manja, membuat hati Dean geli sekaligus terasa ada pahit-pahitnya.
“Maafkan aku, Sa. Ibuku memang orangnya seperti itu, terkadang aku juga tidak bisa melawan jika sudah menjadi keinginannya,” ucap Dean dengan penuh penyesalan.
“Tidak apa, De. Berarti jika ibumu inginkan kita menikah, kamu tidak akan melawan?” Safira bertanya sambil menatap lekat ke arah pria yang sudah mencuri hatinya.
Pertanyaan Safira sontak membuat Dean membisu. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Karena kebersamaan dalam bekerja, lagi dan lagi hati Dean merasakan getaran aneh yang sama persis saat pertama dulu bertemu dengan Ayya. Sekarang hal ini terjadi lagi dengan orang yang berbeda juga dengan cinta yang berbeda pula.
“Ya udah, kalau mau pulang aku anterin. Mumpung masih belum kesorean.” Dean sengaja mengalihkan hatinya agar tidak terlalu terbawa perasaan.
Mereka berdua berjalan bersama sampai roda dua Dean membawa Safira dalam boncengan menuju kediaman wanita yang mulai menggeser posisi Ayya dalam hatinya.
***
Tiga hari berlalu begitu saja. Ayya tidak pernah mendengar kabar dari Byakta. Bahkan dengan Dean pun hanya beberapa kali berpapasan di tempat kerja. Tidak ada interaksi bertegur sapa atau pun sekedar menanyakan kabar.
Sehari tidak menerima pesan dari Byakta, hatinya mulai terasa hambar. Bahkan rasa panas di dada terkadang membakar pikiran dan hatinya. Rasa yang seharusnya ada seakan menghanguskan cinta lama. Cinta lama yang semakin memudar dan terancam binasa.
Ayya merasakan kesakitan itu lebih dari satu hari. Kepalanya selalu dikuasi oleh Byakta di setiap waktu.
“Apa yang sedang ia kerjakan? Kenapa tidak ada pesan lagi darinya? Sesibuk itukah ia?”
Pertanyaan itu kerap menghantui pikiran Ayya. Hingga tanpa sadar, membuat celah di sisi ruang hatinya untuk sarang yang bernama rindu.
“By ... aku rindu,” lirihnya.
Ayya mencoba selalu fokus dan total dalam pekerjaannya. Walaupun dada terasa panas, pikiran di kepala berkelana entah ke mana, Ayya sebisa mungkin meredam perasaan itu dengan satu senyuman. Ayya menahan gejolaknya sendiri hampir beberapa hari.
Selama perjalanan pulang dan pergi, nama Byakta selalu merajai otaknya. Nama Dean semakin tenggelam entah ke mana. Kesibukannya dengan Safira justru semakin memberi ruang baru untuk hati yang baru.
“Apa aku coba kirim chat duluan ya?” Ayya menimbang dengan pikiran yang setengah ragu dan setengah ingin. Akan tetapi, Ayya menyerah dengan perasaannya. Rindu mengalahkan telak hatinya.
Ia langsung mengambil ponsel di atas meja, Jemarinya mulai menari merangkai satu pesan dengan perasaan hati tidak menentu.
Ayya
[ By? ]
[ Kok diem? Lagi sibuk ya? Sampai lupa padaku? ]
Pesan tak kunjung berbalas setelah menunggu hampir satu jam. Akhirnya Ayya memilih membuka aplikasi birunya. Ia ingin menunggu pesan balasan dengan membuat satu puisi untuknya.
Ayyara
‘Ketika pikiranmu tidak sejalan dengan akalmu, maka hanya akan menyisakan kegelisahan. Bahkan saat raga ini berada di sini, pikiran dan hati ini masih terus berusaha mencari tentangmu dan juga keberadaanmu.’
Ponselnya bergetar saat jarum jam menunjukkan jam tujuh malam. Ia melirik sebentar lalu melihat ada satu pesan dari Byakta. Pesan itu membuat hati Ayya seperti tersiram sejuknya air pegunungan. Rasa panas yang bersemayam semenjak tiga hari yang lalu kini seketika melebur dan mencair.
Ayya membaca pesan dari Byakta dengan hati yang dipenuhi debaran dalam dada.
Byakta
[ Maaf, Ay. Kemarin lagi ada kesibukan yang memang harus segera ditangani ]
[ Aku tidak pernah lupa, bahkan rasa ingin untuk berkirim pesan selalu saja ada. Hanya memang waktunya yang benar-benar belum bisa ]
[ Kangen yah? ]
Ayya membaca pesan dari Byakta dengan perasaan yang entah bagaimana. Bahkan bulir bening pun perlahan membasahi kedua pipinya saat netranya membaca ‘Kangen ya?’ di pesan yang ketiga.
Satu pesan kembali masuk.
Byakta
[ Sayang .... ]
Lagi. Hati Ayya merasakan desiran aneh membaca 'Sayang’ untuk yang kedua kali.
Mungkinkah Ayya memang telah jatuh hati pada seorang Byakta? Pertanyaan itu kini tertanam di kepalanya bagaikan racun. Racun yang siap membunuhnya kapan saja dengan cairan kerinduan.
Ayya harus mencari penawar untuk hatinya sendiri. Ia tidak ingin mati oleh perasaan yang tidak pasti. Sisa debaran yang masih terasa mampu menguatkan Ayya menggerakkan jemarinya di atas layar ponsel untuk menulis pesan balasan.
Ayya
[ Tolong berikan pemberitahuan jika kamu sedang sibuk, By. Agar di sini, hatiku tidak merasakan siksa dari panasnya bara api kerinduan ]
[ Tiga hari kamu menghilang tanpa kabar membuat aku sadar, bahwa aku rindu, aku kangen .... ]
Ayya tidak bisa membendung air matanya. Ia tidak sanggup lagi melawan perasaannya sendiri.
Sedangkan di sana, Byakta merasakan binar kebahagiaan yang selama ini disembunyikan sangat rapat. Mungkin kini saatnya untuk memperjuangkan kembali cinta yang dulu pernah ia relakan.
Kini Byakta mengerti, bahwa cinta itu memang haruslah diperjuangkan hingga akhir. Soal bersama atau tidak, itu biarlah menjadi keputusan Sang Pemilik Hati. Ia tidak ingin lagi membiarkan cintanya mengalami kesakitan. Ia berpikir selama ini adalah kesalahannya, karena tidak pernah melakukan hal apa pun.
“Aku janji, Ay. Tidak akan pernah membiarkan Dean menyakitimu lebih lama ....”
--------***--------
Bersambung

Comentário do Livro (111)

  • avatar
    ErnaoneAgoes

    cerita sangat menarik dan bikin penasaran ...

    27/12

      0
  • avatar
    saputritiara

    ya...

    18/02/2023

      0
  • avatar
    s******9@gmail.com

    sangat2 berpuas dengan jalan cerita ini

    12/02/2023

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes