logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

BAB 5

SELINGKVH ONLINE 5
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Kehadiran seseorang di saat hati tengah mengalami kekosongan karena satu kesalahan akan dengan mudah mencuri tempat yang bukan seharusnya. Apalagi perbedaan itu membuat suatu perubahan yang cukup berarti dari diri Dean. Dean yang dulu selalu ada di setiap waktu, kini perlahan mulai berubah.
Ayya juga mulai lelah dengan perjuangannya. Ia sudah tiga tahun berjuang untuk hubungan yang jelas-jelas tidak direstui ibunya Dean.
Akan tetapi, mengenal Byakta dalam waktu yang hanya seminggu sudah mampu mengalihkan seperempat perhatiannya. Ayya mulai merasakan ada sesuatu yang berdesir ketika berbalas pesan dengan Byakta. Ia tidak bisa berbohong tentang keadaan hatinya sendiri.
“Mungkinkah sebenarnya aku yang berkhianat di sini?” Ayya bertanya pada hatinya sendiri.
Kemudian tanpa sadar, ia menghirup napas dengan begitu dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Seakan ingin membuang segala beban yang selama ini bersarang dalam dada.
Satu getaran ponsel menyadarkan khayalan Ayya. Dilihatnya sekilas, ternyata pesan dari Byakta lagi.
Byakta
[ Ay, kok diem sih? Apa kamu marah kalah aku panggil kamu sayang? ]
Ayya merasa ada kebimbangan dalam hatinya. Ia tidak mungkin berbohong kalau Byakta sudah berhasil membawanya ke dalam satu rasa yang entah apa. Ayya tidak mau perasaan ini menjadi sebuah kesalahan yang menjadi pelampiasan dan berakhir penyesalan.
Dengan hati yang dipaksa baik-baik saja, Ayya mencoba merangkai kata untuk membalas pesan dari Byakta. Ia ingin menjadi wanita yang penuh kejujuran.
Ayya
[ Aku nggak tahu harus jawab apa, By ... tapi tidak bisakah rasa yang ada dibiarkan begitu saja tanpa harus ada pertanyaan? Jujur, setelah mengenalmu aku bisa sedikit melupakan tentangnya walau sejenak. ]
Ayya mengetik pesannya dengan susah payah. Namun, ternyata mampu meringankan beban berat dalam hatinya. Dadanya seketika melonggar. Ia akan memasrahkan segalanya pada Sang Pemilik Hati.
Sedangkan di sana, Byakta merasakan ada sebening cahaya harapan tentang bagaimana cara untuk membahagiakan Ayya tanpa harus ada ikatan.
Perasaan yang kemungkinan sama, hati yang mulai menyatu, tetapi ikatan itu hanya menjadi sebatas impian.
Bukankah mencintai tidak harus saling memiliki?
Pesan Ayya tidak mendapat balasan sama sekali. Bahkan hingga pagi menyapa, Byakta tak kunjung membalas pesannya.
Ayya mencoba bangkit dari semua hal yang membuatnya sakit kepala akhir-akhir ini. Kebetulan minggu ini adalah hari liburnya. Ayya bisa bebas bermalas ria di rumah tanpa harus diburu pekerjaan.
Setelah mandi dan sarapan, Ayya hanya rebahan di kamar dan mendengarkan radio. Setidaknya mendengarkan musik bisa menambah semangatnya. Hal seperti ini sering Ayya lakukan di hari liburnya.
Akan tetapi, hatinya merasakan sedikit berlubang karena Byakta belum juga membalas pesannya hingga detik ini. Ia merasa ada yang kurang jika belum mendapat sapaan dari Byakta.
“Apakah dia sesibuk itu? Biasanya hampir setiap hari selalu mengirimi pesan,” ucap Ayya lirih.
Ponsel yang sejak tadi berada di atas bantal sama sekali tidak bergetar. Agar tidak terlalu memikirkan Byakta dan juga Dean, Ayya memilih jalan-jalan berkeliling komplek rumah. Setidaknya, perhatiannya bisa teralihkan untuk sejenak.
Langkah kaki kecilnya menyusuri jalanan setapak dengan begitu santai. Bunga-bunga liar khas rerumputan sedang bermekaran. Ayya melihatnya dengan mata terpesona.
Bunga liar saja bisa terlihat cantik di antara rerumputan? Sedangkan dirinya justru terlihat seperti rumput liar di mata keluarga Dean. Mungkin jika Dean tidak mengemis restu waktu itu, Ayya akan dengan senang hati memilih pergi dan mengubur semua tentang Dean.
“Ini salahku yang memaksa keadaan menjadi seperti mauku. Jadi sudah sewajarnya jika kini ada yang lebih baik dari diriku. Yang sesuai dengan kriteria keluarga Dean,” ucap Ayya pada bunga yang bermekaran. Rasanya seakan ada duri yang sengaja menusuk dalam hingga ke jantung. Nyeri.
“Ayya ....”
Ayya seketika menoleh karena mendengar ada yang memanggil namanya. Ia melihat tanpa berkedip, kepalanya pun langsung bekerja mengingat siapa yang kini sedang berada tepat di depannya.
“Kamu ngapain di sini sendiri? Entar ada preman, bahaya, Ay. Pulang gih!” ucap lelaki itu. Tugasnya adalah memastikan sang wanita selalu baik-baik saja.
Mendengar kata ‘preman’ ingatan Ayya seketika menemukan jawaban tentangnya.
“Ata ...? Kok, kamu bisa di sini?” Ayya bertanya dengan heran. Kenapa selalu bertemu Ata di tempat yang tidak terduga. Seakan sudah dirancang dengan apik.
“Ya bisa lah. Ke hatimu pun aku bisa. Eaaa ....” Ata justru malah menggoda. Membuat kedua pipi Ayya bersemu kemerahan. Ternyata, dirinya masih membutuhkan gombalan receh semacam ini.
“Serius, Ata. Malah becanda!”
“Iya aku juga dua rius malah. Hehehe ....” Ata masih saja ingin menggoda Ayya. Ini dikarenakan ia tahu, kalau Dean sudah hampir tidak pernah membuatnya tersenyum karena kesibukan dan ambisinya sang ibu menjodohkan Dean dengan Safira.
“Au, ah!” Ayya mulai merasa kesal dengan sikap Ata yang selalu membuat pertanyaannya seperti lelucon.
“Idih, kok marah? Iya, aku kebetulan lewat sini. Ada urusan,” jawab Ata seakan mengalah agar Ayya tidak marah.
“Urusan?”
Ata menghirup napas dalam. Entah kenapa ia merasa bahwa Ayya sedang berusaha mengeluarkan kekesalannya.
“Kepo! Ya, udah, sana pulang! Nggak baik gadis cantik berkeliaran sendirian. Entar hatinya di jambret preman, aku jadi nggak kebagian.” Ata mengatakan seolah sedang memberikan sebuah perintah.
“Ya, ini mau pulang. Bawel! Dasar preman!” Ayya langsung berbalik meninggalkan Ata sendirian. Bahkan ia sengaja tidak menoleh ke belakang. Ia takut menginginkan lebih seperti angannya yang mulai inginkan Byakta.
Hati Ayya mendadak nyeri.
Sementara Ata hanya bisa menatap punggung Ayya yang mulai menjauh. Dalam hati, ia berjanji tidak akan membiarkan Ayya berada di ambang kesedihan. Ada keinginan kuat untuk membuatnya bahagia.
“Aku janji, Ay. Jika memang Dean akhirnya memilih menuruti kemauan Ibu, aku akan menjadi orang pertama yang akan membawamu mencari binar kebahagiaan. Ya, hanya denganku,” lirihnya.
Karena Ayya sudah tidak terlihat, Ata pun memutuskan pergi dan segera berlalu agar bisa sampai rumah tepat waktu. Ia tidak mau lagi kena omelan sang ibu.
Dalam perjalanan, pikirannya terus saja dikuasai oleh satu nama. Siapa lagi kalau bukan Ayyara. Masih tersimpan jelas dalam ingatan saat melihatnya tak sengaja untuk pertama kali.
Ata, Byakta. Untuk pertama kali merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama. Akan tetapi sayangnya, Dean lebih dulu mengambil hati Ayya tanpa ia tahu. Bahkan sampai detik ini rasa itu masih ada dan tertancap kuat bagai jangkar di dasar samudra.
“Rasa dan hati ini akan selalu sama sampai kapan pun. Walau ragamu bukan milikku, aku tetap akan memberikan semua rasaku dengan caraku sendiri,” ucapnya lagi saat roda duanya telah membawa ke rumah.
Baru saja hendak melangkah ke halaman rumah, pemandangan yang bagaikan di sinetron justru terjadi. Nampak Dean sedang bercengkrama dengan Safira dan juga sang ibu. Mereka saling tertawa akan hal-hal yang menurutnya tidak lucu sama sekali.
Ia hanya berdiri melihatnya. Mencoba mendengar pembicaraan apa yang sedang mereka tertawakan.
“De, jadi gimana? Kamu mau tidak memilih Safira? Lihatlah, bukankah ia sempurna sebagai seorang wanita?” tanya Ibu.
“Ibu lebih suka Safira,” jelasnya lagi.
Safira tersenyum manis mendengar penuturan wanita di depannya. Ia tidak menyangka akan di terima dengan begitu mudahnya.
Dean hanya terdiam.
“Safira suka nggak sama Dean?” Ibu bertanya tanpa malu dan mengabaikan perasaan Dean.
“Safira suka banget malah, tetapi Dean masih belum mau. Masih belum bisa melepas Ayya katanya,” jawab Safira malu-malu.
Sang ibu langsung menatap Dean, tajam. Mendengar nama Ayya, hatinya langsung menghitam.
“De, sampai kapan kamu akan melawan Ibu? Bukankah Ibu sudah memberitahumu dari dulu, kalau Ayya bukanlah wanita yang tidak cocok untukmu? Jadi, tinggalkan Ayya dan datanglah ke Safira.”
Dean lebih memilih pergi daripada harus menjawab pertanyaan dari sang ibu. Meninggalkan cinta pertamanya, Ayyara, itu tidaklah mudah. Apalagi hanya untuk alasan yang tidak masuk akal. Walau dalam hatinya, ia pun sebenarnya tidak menampik pesona seorang Safira.
Sementara Byakta yang berdiri dan mendengar obrolan mereka dari kejauhan merasakan hatinya dipenuhi dengan segudang amarah. Bahkan kedua tangannya membentuk sebuah kepalan.
“Jangan salahkan aku, jika nanti aku mencuri Ayya darimu, De.”
------***------
Bersambung

Comentário do Livro (111)

  • avatar
    ErnaoneAgoes

    cerita sangat menarik dan bikin penasaran ...

    27/12

      0
  • avatar
    saputritiara

    ya...

    18/02/2023

      0
  • avatar
    s******9@gmail.com

    sangat2 berpuas dengan jalan cerita ini

    12/02/2023

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes