logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 7 Deal!

Luna, Dema dan Laisa akhirnya usai di pertemuan itu. Mau tidak mau mereka harus menerimanya. Luna masih merasa tidak terima, kenapa harus dia saja yang di skors tidak boleh mengikuti pembelajaran selama lima hari? Seharusnya perempuan miskin itu yang di skors, batinnya sambil mengomel menuju kelas.
Sementara itu, Laisa dan Dema berjalan di sepanjang lorong untuk menuju lokasi tempat penghukuman mereka, yaitu kamar mandi. Mereka berjalan bersama, namun dengan sengaja memberi space sekitar satu meter. Tidak saling bicara, namun sesekali melirik satu sama lain. Anak seusianya memang terlihat lucu apabila sedang bertengkar.
Di SMA Semesta terdapat kurang lebih tiga blok kamar mandi. Pertama di sisi kanan, kedua di sisi kiri dan yang ketiga di bagian samping lapangan dekat masjid. Mereka harus membersihkan semua kamar mandi itu setiap pulang sekolah selama 7 hari.
“Gue ngga bisa bayangin Lay, bakal secapek apa kita.”
Dema menyandarkan badannya di dinding kamar mandi. Laisa nampak membasuh mukanya yang terlihat lelah. Baginya hari ini sangat melelahkan sekali. Ia sudah kena musibah dengan perlakuan Luna, belum lagi mendapat hukuman membersihkan kamar mandi oleh guru BK.
“Nggak usah dibayangin, tapi dilakuin saja.”
Kembali ia teringat perkataan ayahnya sewaktu kecil.
“Jadilah orang yang bertanggungjawab atas apa yang kamu lakukan Laisa. Jangan mengeluh. Harus jadi anak yang berani yaa.” Kala itu ketika keluarga kecil mereka menuju ke puncak, menikmati masa libur sekolah SD.
Laisa berhenti dari lamunannya. Ia sesekali memandang Dema dari cermin. Ia masih sibuk membasuh kedua tangannya di wastafel.
“Pertanyaan gue, kok lo terima-terima aja sih. Tadi seperti diam, nggak banyak bicara, berontak...”
“Lalu aku harus seperti apa? Melawan maksud kamu?”
Laisa memotong kata-kata Dema, dia seperti tahu arah pembicaraan laki-laki yang berada di dekatnya itu.
“Noo... Bukan melawan, tapi membela.”
Dema juga sama. Ia diajarkan orang tuanya untuk menjadi sosok pemberani yang bisa membela diri dan membela orang lain. Dari kecil bahkan ia sudah dimasukkan ke kelas karate untuk mempelajari ilmu bela diri. Sampai saat ini lelaki itu masih menekuninya, bahkan ia sering memperoleh penghargaan dari ajang bela diri hingga tingkat nasional.
Laisa hanya berdehem.
“Kamu ingat pepatah ‘tong kosong berbunyi nyaring’, Dema?”
“What do you think?”
Tanya Dema menguji kecerdasan perempuan yang ada di depannya. Terkadang berbicara dengan Laisa merupakan tantangan tersendiri baginya. Ia dipaksa untuk berpikir dan menyesuaikan diri dengan perempuan yang sudah dicap sebagai ‘smart girl’ oleh kebanyakan siswa maupun guru di SMA favorit ini. Namun Dema juga tidak kehabisan akal. Dia pandai berdebat, berpolitik adu mulut atau hal-hal lain yang berhubungan dengan logika, termasuk matematika.
“Luna sudah jelas salah. Semakin dia mengada-ngada pengakuannya, semakin dia terjerumus dengan lubang yang dia buat sendiri. Dan aku tidak perlu membuang-buang waktu untuk hal itu.”
“Tapi tadi buktinya?”
“Aku hanya ingin mengetahui sejauh apa dia melangkah, Dema.”
Sekali lagi pria ini hampir salah menebak. Dulunya yang dikira Laisa adalah gadis polos, yang kerjanya hanya belajar dan menurut kepada orang tuanya ternyata memiliki topeng tersembunyi. Laisa lebih dari apa yang Dema pikirkan. Membuat ia semakin penasaran untuk mengetahui sejauh apa kemampuan Laisa dalam melihat dan menyelesaikan situasi. Kemampuan seperti itu tidak banyak dimiliki oleh anak seusia Dema dan Laisa.
“Dan aku lebih percaya dengan Pak Arya dan Bu Ratih. Beliau lebih bijak tentang hal ini. I think enough for this problems. Udah, kayaknya kita menghabiskan waktu saja jika membahas hal ini lagi.”
“Lay ...! Lay lihat gue”
Laisa akhirnya membalikkan badan setelah dipanggil berkali-kali oleh Dema. Ia merasakan hal yang tidak biasa dalam dirinya. Kehangatan muncul. Kehampaan dan perasaan sedih yang selama ini belum terkubur tiba tiba terhempas. Laisa gugup saat Dema mendekat.
“I am sorry Laisa. I have reasons to not answer your question. Suatu saat nanti gue akan cerita, tapi ngga sekarang okay?”
Dema yang terlihat banyak tingkah kali ini begitu manis di hadapan Laisa. Tatapannya tulus, tanpa kebohongan. Itu seperti bukan Dema yang dia tahu selama ini. Namun orang lain yang mungkin menjelma menjadi dirinya. Tapi satu hal yang Laisa akan tetap ingat saat itu, di depannya tetaplah Dema. Laki-laki yang memiliki hubungan dengan kematian ayahnya. Dia tidak boleh takluk atau dilemahkan oleh pria ini.
“Dem, kamu tahu. I have some mistakes with you. Aku memaksa kamu untuk menjawab pertanyaan yang kamu engga mau jawab tadi . Aku kasar sama kamu. Aku bertingkah seperti orang yang sangat kenal dengan kamu, padahal kita baru kenal beberapa hari yang lalu. I forgot that everyone has privacy in their life. Itu kesalahanku.”
“Okey, No problems. Sekarang kita impas ya. Jangan ada diam-diaman atau tingkah laku yang bikin gue marah lagi. Terutama sikap elo yang sangat nggak jelas.”
Dema mencairkan suasana tegang itu. Berbicara dengan perempuan jenius yang serius memang membutuhkan kekuatan humoris yang tinggi, batinnya.
Kedua siswa ini saling tertawa.
“Eh, kamu bilang apa!” Laisa bertanya.
“Engga engga. Mau bersih-bersih sekarang?”
“Hemm, boleh.”
***
Tidak terasa mereka membersihkan kamar mandi sampai waktu yang cukup lama. Sudah jam 4 sore, namun kedua siswa ini masih di sekolah. Satpam berkali-kali menegur untuk segera pulang karena gerbang sekolah akan di tutup sebentar lagi. Keadaan kamar mandi yang kotor cukup membutuhkan tenaga ekstra untuk dibersihkan. Selama liburan, beberapa petugas penjaga sekolah (tukang bersih-bersih )masih mengambil cuti dirumah, sehingga kamar mandi belum sempat dibersihkan.
Laisa dan Dema berjalan menuju parkiran. Pak Komang, sopir pribadi Dema sudah menunggu. Bahkan hingga ketiduran dan tidak menyadari jika si Tuan Muda sudah siap pulang. Namun setelah Dema memberi gertakan suara, si sopir akhirnya terbangun.
“Gue antar pulang?”
“No, tidak perlu Dema. Aku bisa jalan kaki saja.”
“Non, lebih baik ikut kami saja Non. Ini sudah sore dan sebentar lagi petang. Takut jika di jalan kenapa-napa. Apalagi jalan menuju rumah Non lumayan sepi. Cuma orang-orangan sawah aja, wkwk.”
Teriak Pak Komang dari dalam mobil.
“Tapi Pak..”
“Sudah Non, ikut kami saja. Bakal selamat sampai tujuann! Percayakan sama saya Non. Saya itu sudah 10 tahun menjadi sopir pribadinya Tuan Muda Dema. Hehe...”
Laisa akhirnya meng-iya-kan ajakan Dema dan pak sopir. Untuk kedua kalinya mereka berada di satu mobil. Pak Komang banyak bertanya tentang keadaan keluarga Laisa. Ia menjawab dengan hati-hati, khawatir jikaa tidak sengaja menyangkut nama ayahnya.
Laisa harus banyak menyelidiki sendiri tentang keluarga Husada dengan tanpa diketahui oleh Dema, kawan barunya itu. Pertama, ia harus mencari informasi tentang keberadaan Tuan Husada.

Comentário do Livro (116)

  • avatar
    Dav

    mantap sangat seru dan menarik jadi ga bosen sama novel ini mah semoga bermanfaat buat semua orang lain 😁😁😁😁😁😁😁💗💗😁😁😁💗💗💗💗💗😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😃😃😃😃😃😃😃😃😃😃🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿😄😄😄🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿😄😄😄😄😄😄🗿 🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿😄😄😄😄😄😄😄😄😄🗿😄🗿😄😄😄🗿😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄🗿🗿🗿🗿🗿

    26/08

      0
  • avatar
    MichelleYan

    terharu dengan cerita nya

    19/08

      0
  • avatar
    AfnaniRafi

    bagus

    04/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes