logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 6 Ruang Keadilan

Seluruh siswa yang ikut mendengar panggilan dari guru tersebut lantas menyoraki. Tiga siswa yang disebut langsung keluar tanpa berkata-kata. Mereka seperti sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Hanya pasrah dan patuh. Namun sekuat tenaga perempuan berambut pirang akan tetap membela diri karena ia tidak melakukan kesalahan. Guru kelas berusaha menenangkan siswa agar tetap fokus pada pembelajaran.
Mereka bertiga tiba di ruang BK. Ukurannya sekitar 4x5 m, lengkap dua kursi memanjang dan satu dua meja, salah satunya dilengkapi dengan komputer beserta perangkatnya. Selain guru laki-laki tadi, ada pula guru perempuan. Mereka sudah menyusun beberapa pertanyaan untuk diajukan. Sebut saja nama mereka Pak Arya dan Ibu Ratih.
“Silahkan duduk anak-anak tersayang!”
Tegas Ibu ratih kepada tiga siswa itu. Perempuan berambut hitam lurus ini sangat terkenal dengan ketegasannya meladeni beberapa siswa yang bermasalah. Ia lulusan dari London dan sudah terbiasa dengan karakter orang-orang luar negeri yang cenderung sat set (bahasa jawa, dalam bahasa Indonesia artinya cepat dan tegas). Menghadapi sikap orang Indonesia adalah perkara yang mudah baginya.
Mereka akhirnya duduk. Luna paling ujung, dekat dengan guru BK sedang Dema di tengah dan Laisa yang paling jauh dari guru.
“Sebelumnya terimakasih sudah bersedia datang kesini. Kami mohon maaf sudah mengganggu waktu belajarnya yang sangat berharga.”
Ibu Ratih memberikan prolog untuk membuka pertemuan tersebut.
“Sebagaimana diketahui, bahwa tadi sewaktu istirahat. Kalian bertiga telah melakukan sesuatu yang sebenarnya melanggar peraturan di sekolah. Dan kami selaku pihak yang menertibkan akan melakukan tindakan yang sesuai peraturan.”
Luna diam, dia terlihat benar-benar gugup, sementara Dema dan Laisa masih dalam posisinya. Laisa sebetulnya cemas, namun ia pandai mengendalikan diri.
“Oke, it seems so serious. Can you all tell us about the situation there?” Imbuh Ibu Ratih yang mulai mengeluarkan logat inggrisnya.
“Luna, selaku pelaku utama. Bisakah kamu bercerita tentang kejadian sebenarnya. Apa yang terjadi Nak, kenapa kamu bisa tiba-tiba menyiram segelas teh ke badan Laisa?”
Pak Arya, guru muda yang baru lulus universitas tahun ini menimbali perkataan Ibu Ratih.
Luna lantas terkaget, kenapa harus dia dulu yang menjelaskan, batinnya.
“Saya hanya tidak tahan dengan sikap Laisa Pak, dia kasar kepada Dema.”
“Lalu? Bisa diceritakan lebih detailnya Luna. Kamu hanya menjelaskan satu kalimat dan itu sangat kurang untuk mendukung diri kamu agar bisa memperingan hukuman. Jawaban kamu akan menjadi pertimbangan untuk menghukummu.”
“Iya Pak, Laisa mengatakan hal kasar kepada Dema. Saya hanya membela teman saya yang hendak disakiti.”
Dengan dramanya, Luna belagak menangis di hadapan mereka. Laisa yang mengklaim hal itu tidak benar lantas membalas perkataan Luna.
“Bisa yaa kamu menjelaskan hal itu? It’s right Dema?”
Laisa meminta Dema menjelaskan hal tersebut kepada guru BK.
“Laisa, Luna belum selesai berbicara. Kamu nanti ada sesi sendiri untuk membela diri. Keep calm, please!”
Pak Arya berusaha menenangkan Laisa yang hendak memberontak.
“Silahkan Dema. Kamu yang berbicara sekarang.”
“Baik Pak. Saya sebetulnya tidak terlalu ingin mempermasalahkan hal ini. Laisa ngga salah, dia mungkin hanya terbawa oleh keadaan. Saya memaafkan dia, karena menurut saya kesalahannya tidak terlalu fatal. Saya hanya minta hal ini untuk dianggap clear Bapak, karena saya harus fokus belajar dan tidak ingin masalah seperti ini membuat fokus belajar saya terganggu.”
Dema, laki-laki yang juga bernafsu terhadap nilai akademik itu nampak sudah lelah. Ia tidak ingin memperpanjang hal sepele yang akan menghabiskan waktunya.
“Noo, Dema. Gue ngga terima kalau kasus ini berhenti sampai sini saja. Gue korban ditampar sama dia!”
Luna mengarahkan jari telunjuknya tepat di depan Laisa. Sementara itu Laisa diam, tetapi batinnya bergejolak. Semua perasaan bercampur jadi satu, antara emosi, marah, sedih dan malu. Ia ingin membalas apa yang Luna lakukan kepadanya. Namun kembali lagi teringat perkataan mendiang ayahnya sewaktu kecil.
“Perbuatan buruk jangan dibalas buruk. Suatu saat pasti akan terbalaskan dengan hal yang lain. Intinya jangan mengotori tangan kita untuk melakukan hal tersebut.”
Ungkap Ayah Laisa sewaktu ia masih berusia 8 tahun. Saat itu ia berada di kolam renang belakang rumah, menikmati senja sore hari ditepi kolam sembari membacakan Laisa buku dongeng kesukaannya. Ayahnya-lah yang selalu mengajarkan untuk bersikap sabar setiap ada masalah, dipikirkan dengan matang dan jangan mengambil keputusan ketika sedang marah. Sampai usianya 16 tahun, ia masih mengingat hal tersebut.
“Lalu, jika akhirnya lo yang terbukti kalah bagaimana Luna? Siapa yang akan kena hukuman, karena disini gue lihat dengan mata kepala gue sendiri bahwa lo yang memulai. Laisa hanya korban dari tindakan lo.”
Dema membalas perkataan Luna. Perempuan itu harus diberi pelajaran. Maksud Dema membiarkan masalah itu dianggap fair karena dia tidak ingin ada yang dirugikan. Namun Luna, yang nyatanya bersalah malah kembali menyulutkan api perseteruan. Kini Dema semakin tahu bagaimana karakter kawan sebangkunya itu. Dia mrasa ilfeel. Laisa masih tetap diposisinya. Ia menunggu giliran untuk berbicara sembari terus mengingat perkataan dari ayahnya. Keep Calm.
Luna akhirnya diam, duduk kembali di posisinya.
“Cukup-cukup. Harap jika berada di ruangan ini kalian menggunakan bahasa yang baik dan sopan. Paham?”
Ibu Ratih mempertegas.
“Sekarang, Laisa boleh berbicara.”
“Baik Ibu, saya hanya mau meminta maaf atas perilaku saya kepada Dema dan Luna tadi. Yang saya lakukan kepada Dema hanyalah mengajukan pertanyaan dan klarifikasi, tidak lebih. Untuk masalahnya tidak bisa saya ceritakan di forum ini. Sedang yang saya lakukan kepada Luna adalah menampar dia setelah dia menyiram segelas teh dan menampar saya. Saya menyesal melakukan hal itu kepadanya. Seharusnya saya lebih bisa mengendalikan diri saya. Namun, sebagai perempuan yang diajarkan oleh orang tua saya tentang keadilan, saya tetap harus membela diri. Sebagai perempuan dan anak yang masih memiliki keluarga, saya juga harus mempertahankan harga diri saya maupun keluarga saya. Saya rasa perilaku Luna yang tidak tahu menahu tentang urusan kami, lalu dia bertingkah seperti itu sudah diambang batas Ibu. Apalagi dengan dalih cinta. Saya rasa hal itu sudah cukup dari saya, mohon untuk dipertimbangkan.”
Penjelasan Laisa cukup panjang, namun sudah sangat jelas bagi kedua guru ini. Luna tidak bisa berkutik, Dema seperti memberi persetujuan kepada Laisa. Dua guru dengan diskusi singkat lantas mengambil keputusan yang terbaik.
Guru BK akhirnya memutuskan hukuman kepada mereka dengan bobot masing-masing. Mereka tetap diberi hukuman karena menimbulkan kekacauan di lingkungan sekolah. Itu sangat membuat siswa tidak nyaman walaupun di waktu istirahat.
Dema dan laisa membersihkan toilet pria dan wanita selama satu minggu pasca pulang sekolah, sedangkan Luna di skors selama 5 hari.

Comentário do Livro (116)

  • avatar
    Dav

    mantap sangat seru dan menarik jadi ga bosen sama novel ini mah semoga bermanfaat buat semua orang lain 😁😁😁😁😁😁😁💗💗😁😁😁💗💗💗💗💗😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😃😃😃😃😃😃😃😃😃😃🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿😄😄😄🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿😄😄😄😄😄😄🗿 🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿😄😄😄😄😄😄😄😄😄🗿😄🗿😄😄😄🗿😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄🗿🗿🗿🗿🗿

    26/08

      0
  • avatar
    MichelleYan

    terharu dengan cerita nya

    19/08

      0
  • avatar
    AfnaniRafi

    bagus

    04/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes