logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 2 Siapa Namanya?

Laisa pulang dengan tertatih-tatih. Lututnya masih nampak di perban. Ia membuka pintu dengan hati-hati, takut jika ibunya mendengar. Pasti akan kena marah apabila ibu tahu ia terluka.
Krekk..
Suara pintu yang engselnya berkarat mengagetkan ibu yang di dapur. Ia lantas berjalan menuju keluar.
"Lay, darimana saja kamu? Kenapa baru pulang?"
"Maaf bu, tadi ada kerja kelompok, jadi Lais pulang agak telat."
"Ya sudah, cepat bantuin ibu di dapur. Sebentar lagi harus antar pesanan ke bu RW. Tidak enak menunggu lama."
"Baik bu."
Laisa menuju dapur dengan sangat pelan. Khawatir jika ibunya tahu bahwa ada luka di bagian lututnya.
"Kenapa kaki kamu Lais? Kok bisa sampai di perban seperti itu?"
Laisa terkejut. Antara bingung ketika ibunya tahu dan bagaimana caranya menjawab pertanyaannya.
"Tidak bu, tadi hanya terjatuh sewaktu olahraga. Maaf Lais ceroboh dan tidak hati hati."
Laisa diam sambil menggigit bagian bibir bawahnya. Baru pertama kali ini ia berbohong kepada sang ibu.
"Benar kan? Kamu sedang tidak bohong dengan ibu?”
“Iya Ibu.” Laisa menjawab dengan ragu.
“Lain kali hati hati ya. Di luar sana memang harus bisa menjaga diri Lais."
"Iya Bu, maaf kurang hati-hati. Laisa bantu menata kuenya ya Bu”
“Tidak usah Nak, kan kamu sedang sakit. Nanti biar ibu yang jualan saja.”
“Tidaak bu, tetap harus Lais yang menjual kue. Takut jika terjadi apa-apa. Lais baik-baik saja. Sure!”
“Baiklah Nak. Hati-hati yaa”.
Selang beberapa lama, Laisa mengantar pesanan kue ke rumah Bu RW. Setelah itu ia menjual kue yang masih tersisa sambil berteriak ke beberapa rumah warga. Ada sejumlah ibu-ibu yang membeli, lainnya hanya tanya harga saja. Mereka bilang harga kuenya terlalu mahal, padahal ibu Laisa sudah mematok harga yang paling murah sekaligus memperkirakan untung ruginya.
Di jalan, Laisa bertemu dengan Anan. Anak Kepala Desa yang baru saja usai bermain bola voli di lapangan RW. Ia mengenakan kaos Jersey dan celana pendek warna merah bergaris hitam.
"Hai Lais, bagaimana jualannya. Apakah sudah terjual semua kuenya?"
"Sudah nih. Masih sisa 5 biji. Kamu mau Nan?"
Anan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia agak sungkan karena cukup lama tidak bertemu Laisa pasca wisuda SMP dulu.
"Bolehlah, aku coba ya Lay."
Anan yang terlihat lapar akhirnya menerima tawaran dari Laisa. Dari ekspresinya, ia sangat senang bertemu Laisa. Bahkan tak jarang Anan mencuri pandang kepada Laisa. Maklum, mereka sudah berkawan sedari kecil, mulai SD hingga sekarang. Ia juga memanggil Laisa dengan 'Lay' atau 'Lais'- sebutan khas dan hanya orang terdekat lah yang tahu.
Setelah lulus SMP, Anan pun masuk ke SMA Semesta, tetapi berbeda kelas dengan Laisa. Anan juga siswa yang cerdas. Ia sering menjuarai beberapa cabang olahraga non akademik dan tak tertinggal pula prestasi akademiknya. Orang tuanya selalu mendukung Anan dalam mengejar prestasi, termasuk memberikannya fasilitas sekolah yang lengkap.
Anan dengan lahap memakan kue dari Laisa.
"Eh belum ku bayar tapi sudah ku makan aja. Mmm...Berapa harga semuanya Laisa? Aku beli semuanya yaa. Sekalian nanti buat Mama Papa. Hehe.."
"Tidak usah Anan. Dimakan aja."
"Loh, tidak boleh begitu Lais. Itu kan yang jualan ibumu. Nanti pasti ditanyakan kemana uangnya. Aku beli saja ya. Ayo harganya berapa?"
Laisa diam dan akhirnya mengalah. Betul yang dikatakan Anan. Laisa dan Ibunya sangat membutuhkan uang.
"Semuanya 10 ribu, Nan."
"Okee.. Nih uangnya. Kapan kapan aku boleh main gak ke rumahmu, hehe. Aku pengen main catur sama kamu. Kan dulu Lais sempat dapat juara kompetensi catur se-provinsi."
Ucap Anan bersemangat sekali.
"Ealah. Iya boleh. Kamu ingat aja sih Nan."
“Haha... Kan aku juga sudah lamaa tidak pernah ke rumahmu Lay. Terakhir kelas satu SMP kali ya.”
“Hmmm... Anan, coba berhenti dulu makannya.”
Laisa tiba-tiba memotong pembicaraan dan memintanya berhenti makan.
“Ada apa Lay?”
“Itu di sebelah mulut”.
“Apa? Ada apa Lay, apa ada hewan tertentu yang aku takuti?”
“Keep silent, please!”
Laisa lantas mengambil kue yang belum masuk ke mulut Anan.
“Thank you Laisa.”
Keduanya saling malu -malu. Laisa sesekali menatap Anan, namun berusaha agar si doi tidak mengetahuinya.
Meskipun Anan bisa dibilang anak orang kaya, tetapi ia tidak malu berteman dengan Laisa yang serba kekurangan. Ia bahkan bersikap sangat ramah. Laisa juga merasa senang bertemu Anan. Ia masih saja mengagumi lelaki berkulit sawo matang itu sedari duduk di bangku SMP. Namun Lais tetap tidak berani menyatakan perasaan itu. Ia memilih diam dan menunggu saja sampai Anan sendiri yang mengungkapkan. Hubungan mereka saat ini masihlah teman. Teman sekolah dan teman sedesa.
***
Laisa pulang dengan hasil jualan yang cukup menggembirakan sang ibu. Ia duduk di ruang tamu, dekat televisi yang sudah banyak debunya.
"Ibuu, ini hasil jualannya."
Laisa langsung masuk dari pintu belakang.
"Heee anakku, sini duduk. Kamu mesti capek ya, apalagi habis terluka kakinya."
Laisa mengangguk, membenarkan perkataan ibunya.
"Lais istirahat dulu. Ibu mau coba hitung dulu keuntungan hari ini ya, nanti ibu susul ke kamar."
"Iya bu."
Selama ini, yang berjualan kue memang Laisa. Ibu tidak tahan jika harus berjalan lama berkat penyakit yang menimpa tulangnya. Ia hanya bisa berjalan pelan, bahkan sesekali merintih di dapur ketika mendapati penyakitnya yang kambuh. Ibu Laisa berusia sekitar 60 tahun. Laisa sendiri adalah anak tunggal, sedang ayahnya sudah lama meninggal sedari usianya 8 tahun.
Laisa lantas merenggangkan seluruh tubuhnya di kursi kecil. Ia ingin sekali tidur, namun ibunya tidak memperbolehkan anak gadis tidur di sore hari. Seluruh kaki Laisa bengkak dan lebam di bagian betis. Terkadang ia merintih kesakitan ketika berniat mengurut kakinya sendiri.
Saat itu, Laisa tiba-tiba terpikirkan dengan sosok pria yang tadi siang sempat memberinya tumpangan mobil. Ia berusaha mengingat nama laki-laki itu dan berniat membawakan sekotak kue sebagai ucapan terimakasih.
"Lais! Hey... Lais!"
Laisa tidak menjawab. Ia melamunkan sesuatu yang tidak diketahui oleh ibu.
"Laisa!"
"Iya bu, maaf... Ada apa bu?"
Laisa baru tersadar dengan panggilan ibunya.
"Kamu ke kamar ya, lukanya diganti perbannya. Ada obat luka di kamar ibu. Takutnya nanti infeksi."
"Iya ibu, Lais ke kamar dulu."
Laisa menurut dengan pikiran kemana-mana. Pria itu cukup menyita waktu Laisa.
Ia masih berjalan dengan tertatih-tatih. Bersyukur tadi Anan tidak melihat kakinya yang pincang karena tertutup rok panjang.
***
Malam menunjukkan pukul 20.00 WIB. Laisa usai mengobati lukanya. Ia sedang membaca buku untuk pelajaran esok hari. Tiba-tiba teringat pria tadi pagi lagi.
"Namanya siapa ya, aku sungguh lupa. Atau besok coba aku tanya namanya sama ngasih kue ya."
Ungkapnya dalam hati.
"Tetapi lelaki itu sangat menyebalkan, dia melihatku terjatuh tetapi sama sekali tidak menolongku."
Laisa berpikir lagi. Ia teringat ibunya yang selalu mengajarkan agar membalas kebaikan orang lain. Bukan menyimpan rasa dendam. Seburuk apapun anak itu, ia tetap melakukan untuk Laisa, walau bisa dibilang terlambat.
"Meski bagaimanapun dia tetap menolongku dengan tumpangan mobil. Tetapi siapa ya namanya. Ahhh"
Laisa gemas dengan sikap lupanya. Betul kata pria itu, dia dianggap pintar tetapi masih sering pelupa. Akhirnya Laisa memilih tidur dan merehatkan badan. Hari ini begitu lelah baginya. Ia harus mengisi daya kembali untuk esok. Ia yakin besok akan lebih banyak kejutan yang tak terkira. Terutama tentang pria menyebalkan yang hanya mau duduk dengannya.
***
Sementara itu, di dalam kamar berukuran 5x5 meter, seorang pria sedang duduk bersandar di ranjang tidurnya. Ia mengenakan headset di telinga sembari mendengar lagu berjudul 'it's you' yang kini ramai di dunia musik.
Tak terasa sudah hampir tengah malam. Ia masih asik dengan ditemani secangkir kopi dan dua potong roti bakar buatan asisten rumah tangganya. Sesekali membaca buku pelajaran yang esok akan diajarkan.
"Gue masih penasaran, siapa sebenarnya gadis itu tadi. Padahal bu guru dan temen-temen sempet nyebut namanya. Tapi kenapa gue mendadak amnesia yaa. Ah pusing gue dari tadi mikirin dia."
Ucap tuan muda yang bernama Dema itu.
Pria berpostur tinggi itu menyerah. Dia mulai merebahkan badan dengan serius.
Akhirnya Dema memutuskan untuk tidur karena besok ia harus sekolah dan berangkat pagi untuk mempersiapkan lomba basket antar sekolah.
"Besok gue harus cari tahu siapa sebenernya gadis itu. Enak aja dia menyita perhatian gue dari tadi. Aahh.. And noo. Gue ngga boleh suka sama dia. Hanya gadis biasa yang ga jelas. Masa bisa semudah itu mengambil hati gue."
Batinnya berkata. Dema selalu bersikap dan berkata se-idealis itu, padahal dalam lubuk hatinya menyimpan sesuatu yang berbeda. Disadari atau tidak ia mempunyai rasa dengan gadis yang ia benar-benar lupa siapa namanya itu. Namun ia berusaha keras menutupinya. Alasan pertama, orang tuanya konglomerat dan sangat memperhatikan siapapun yang menjadi teman atau orang terdekat Dema. Hal itu sudah terdoktrin sedari Dema kecil sehingga tidak sembarang orang dapat menjadi teman atau sahabat apalagi kekasihnya.
02.00 WIB, Dema masih tidak bisa tidur.

Comentário do Livro (116)

  • avatar
    Dav

    mantap sangat seru dan menarik jadi ga bosen sama novel ini mah semoga bermanfaat buat semua orang lain 😁😁😁😁😁😁😁💗💗😁😁😁💗💗💗💗💗😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️‼️😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😃😃😃😃😃😃😃😃😃😃🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿😄😄😄🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿😄😄😄😄😄😄🗿 🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿🗿😄😄😄😄😄😄😄😄😄🗿😄🗿😄😄😄🗿😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄😄🗿🗿🗿🗿🗿

    26/08

      0
  • avatar
    MichelleYan

    terharu dengan cerita nya

    19/08

      0
  • avatar
    AfnaniRafi

    bagus

    04/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes