logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Deutragonis : Fighting Dreamer

Deutragonis : Fighting Dreamer

Hestia Beng


Bab 1

Kamu mengajakku berjalan, kemudian meninggalkanku sendirian.
***
"Riiin!" Seorang gadis berambut blonde menyapa temannya yang baru datang dengan heboh. Ia berlari, melompat, dan memeluk seorang gadis hingga terlonjak, seolah sudah lama sekali mereka tidak bertemu. "Ya, Allah, Rin. Lo gak papa 'kan, Rin? Gak ketabrak mobil 'kan?"
Shirin hanya menggeleng kecil, hampir saja jantungnya copot karena temannya itu. "Mia, lo diliatin," bisiknya, "malu dikit, dong."
Tak peduli menjadi pusat perhatian, gadis yang dipanggil Mia malah tertawa keras. "Gak papa, yang penting sehat!" ucapnya di sela-sela tawa.
Siswa-siswi yang berada di lobi menggelengkan kepala seraya ikut tertawa dengan damai, dan beberapa ada yang berkomentar.
"Mia ada-ada aja, sih."
"Apa, sih, Mia? Mulai, deh, jahilnya."
"Mia, ya, ampun."
Shirin merotasikan bola mata mendengar jawaban Mia. "Ya, udah, ayo ke kelas!"
Mia tersenyum dan berjalan di sampingnya dengan riang. Di sepanjang koridor, banyak siswa-siswi yang menyapanya. Shirin hanya bisa tersenyum kecil—seperti biasa.
Tak sampai lima menit, dua gadis itu sudah sampai di kelasnya, yaitu kelas XI IPS 2. Shirin langsung meletakkan tas di kursi terdepan di barisan tengah, seraya duduk dan mengeluarkan buku novel dari laci meja.
Mia duduk di sampingnya, gadis itu menahan tangan Shirin yang hendak membuka buku. "Eits, apa-apaan? Apaan ini, apaan?"
"Bisa gak, gak usah lebay?" Shirin mendesah jengah. "Masih pagi, loh."
"Ya, sori." Mia cengengesan, tetapi kemudian cemberut. "Tapi, jangan baca novel dulu, gue mau cerita, nih."
Shirin menatap Mia beberapa detik, sebelum akhirnya memasukkan kembali novel ke dalam laci, kemudian bertopang dagu sambil tersenyum. "Ya, udah, cerita apa?"
Senyum Mia semakin lebar, ia pun mendekat dan mulai bercerita dengan semangat. "Jadi, kemarin Kak Atha tiba-tiba ajak gue pulang bareng."
"Athalas Fernan kelas XII IPA 2?" Shirin memastikan.
"Iya! Siapa lagi?" Mia mengangguk semangat. "Tapi, kemarin gue juga bareng sama Kak Abi, pakai mobilnya Kak Atha."
"Terus?"
Mia diam-diam tersenyum saat Shirin mulai tertarik kala ia menyebutkan nama Abi. Ya, jika tentang seorang Abizart Dirgantara, Shirin tidak bisa menyembunyikan ketertarikannya.
"Udah," jawab Mia.
Shirin nampak kecewa. Namun, langsung mengubah ekspresinya menjadi merengut kesal. "Idih, masa gitu doang?"
"Ya, emangnya gimana lagi?"
"Tau, ah," dengus Shirin. Tangannya mulai meraba laci meja untuk mencari buku novelnya. Namun, lagi-lagi digagalkan oleh Mia.
Mia menarik lengannya supaya berdiri. "Mending jalan-jalan aja, mumpung masih pagi."
"Ya, elah, Mia—" Belum sempat protes, Shirin sudah ditarik keluar. Akhirnya, dengan terpaksa, gadis itu berjalan di sisi Mia.
"Lemes amat, sih, Rin?" Mia mulai jengah. "Liat, tuh. Paginya cerah, harusnya semangat!"
"Pagi yang cerah juga gak bisa bantuin gue ngerjain tugas sekolah," dengus Shirin.
"Bisa aja lu, perawan."
Shirin hanya menghela napas. "Ya, iyalah, gue perawan, emangnya gue perjaka?"
Mia mencibir tanpa suara dihadiahi toyoran di kepalanya.
"Sakit tau, Rin!" ucap Mia sambil meraba dahinya.
"Iya, gue tau, kok."
"Eh, eh, itu Kak Atha sama Kak Abi!" Mia berhenti mendadak seraya menunjuk ke pintu lobi.
Shirin menoleh, terlihat ada dua orang lelaki jangkung yang masuk bersamaan. Yang satu berjalan sambil sebelah tangan memegang tali tas, yang satunya lagi berjalan dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.
Two cool boys.
Benar-benar bersinar. Setidaknya di mata Shirin.
"Kak Atha! Kak Abi!" Mia melambaikan tangan sok akrab. Namun, berhasil membuat kedua lelaki famous di SMA Generasi Bangsa itu menoleh dan menghampiri.
"Halo, Mia!" Lelaki berambut gelap—Abizart—menyapa Mia ramah. Ya, hanya Mia.
"Dateng jam berapa?" Atha ikut berbasa-basi.
Dalam sekejap, mereka pun berbincang akrab seolah teman dekat. Shirin yang merasa tidak punya tempat di antara mereka pun mundur untuk memberi ruang privasi.
Shirin hanya bisa bengong melihat ke arah lain. Kemudian, ketika ia rasa sudah cukup lama, ia berbalik untuk memastikan Mia sudah selesai berbicara. Namun, yang ditangkap matanya adalah dada bidang seseorang yang tepat di depan hidungnya. Shirin terlonjak dan mundur beberapa langkah.
"Eh, sori, hampir aja," ucap suara familer seorang lelaki, dan berhasil membuat tubuh Shirin seketika membeku.
Shirin perlahan mendongak untuk melihat wajah lelaki tinggi itu. Matanya membulat kala yang dilihatnya adalah mata kelam dan wajah tampan Abi. Ia refleks mundur lagi dan menutup mulutnya dengan tangan. "Maaf, Kak Abi. Aku gak liat."
Abi terkekeh dan mengusap tengkuknya. "Gak papa, kok."
Shirin tersenyum kikuk. Ia melirik ke belakang Abi, di mana masih ada Mia yang sedang mengobrol dengan lelaki berambut cokelat alias Athalas.
"Oh, iya, lo temennya Mia, ya?" Suara Abi kembali mengalihkan perhatiannya.
Shirin mengangguk dan menjawab seadanya. "Iya."
"Kenalin, gue Abi." Abi mengulurkan tangannnya. "Eh, tapi pastinya, lo udah tau, ya? Ahahah."
"Aku Shirin," jawab Shirin sambil menjabat tangan kakak kelasnya itu. Ia merasakan getaran saat kulit mereka bersentuhan.
"Rin!" Shirin menoleh kala Mia memanggil. Dilihatnya Mia dan Athalas hendak pergi. "Gue mau kumpul jurnal dulu, ya!"
Shirin hanya mengangguk menyetujui. Mia adalah anggota klub jurnalis, klub itu memang sering kumpul dadakan.
"Gue juga mau ke kelas dulu, dah!" Abizart pun melenggang pergi tanpa menunggu jawaban Shirin.
Kini, Shirin berdiri sendirian di tengah lobi, di mana siswa-siswi lain sibuk berlalu lalang, merasa terasingkan di keramaian. Shirin menghela napas, ia berbalik, hendak melangkah pergi sebelum suara gaduh terdengar dan menghentikannya.
"Brengsek lo, maju sini!"
Shirin menoleh, matanya terbelalak ketika ia melihat seorang cowok berkacamata yang diseret ke belakang sekolah oleh tiga cowok lain.
Gawat!
Apa yang harus Shirin lakukan? Memanggil guru? Tapi pikir Shirin, mungkin ini hanyalah kesalahpahaman. Jadi, dengan kaki gemetar, Shirin perlahan mendekat. Kakinya berhenti di taman samping, dan Shirin mendengar suara orang berkelahi tepat di balik tembok.
Jantung Shirin berdegup kencang, ia takut. Ia tak seharusnya terlibat dengan hal ini, dan ia harus pergi sekarang juga.
Tapi, belum sempat Shirin beranjak, sebuah tangan penuh bercak darah muncul dari balik tembok dan berpegangan. Lalu, cowok berkacamata yang tadi diseret muncul di hadapan Shirin dengan penampilan yang lebih kacau dari sebelumnya.
Dia ternyata lebih tinggi, bahkan dalam keadaan membungkuk pun dia masih satu inchi lebih tinggi dari Shirin. Rambutnya cokelat kemerahan, matanya cokelat gelap, berkilau layaknya batu onyx. Dan mata itu menatap dingin pada Shirin.
Tersadar dari keterkejuan, Shirin memutuskan berkata, "A-anu, kamu gak pa-pa? Orang-orang tadi, mereka—mereka di mana? Apa perlu aku lapor ke guru?"
Shirin menerobos pertahan si cowok begitu saja. Cowok itu menahan lengannya ketika Shirin ingin melihat ke balik tembok, tapi Shirin mengabaikannya dan melepaskan diri hingga kahirnya ia jatuh berlutut di tanah. Dan di depannya, tiga orang siswa yang tadi telah terkapar bersimbah darah.
"Apa yang ...?" Shirin gemetar. Jadi, cowok itu yang menghajar habis-habisan. Jadi, cowok itu ...,
Shirin menoleh, dan menatap ngeri sosok yang menjulang di hadapannya. Ekspresi cowok itu bahkan semakin dingin dan tidak terbaca. Sepertinya Shirin akan terkena masalah.
Di luar dugaan, cowok itu menarik Shirin agar berdiri, seraya menyelimuti Shirin dengan almamater miliknya. Lalu ia pergi tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Comentário do Livro (353)

  • avatar
    gaming 20rafa

    aku membaca sangat seru

    23/06

      0
  • avatar
    Bunga Maulia

    bagus

    05/06

      0
  • avatar

    🙂 🙂

    17/04

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes