logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 4 Aku Masih Punya Papa

Part. 4
Mataku masih terpaku pada mas Adam dan mama. Aku terus saja memperhatikan mereka sampai tubuh mereka tak terlihat lagi dalam pandanganku. Aku bangkit dari tempat dudukku. Perlahan aku berjalan menuju pintu keluar sambil mataku terus memperhatikan mas Adam dan mama. Setelah mereka benar-benar pergi dari klinik itu, aku pun gegas menuju ke meja pendaftaran pasien.
"Maaf Mbak, apa bisa saya bertemu dengan dokter kandungan yang ada di dalam? Ada yang mau saya tanyakan kepada beliau."
Aku memberanikan diriku untuk bertanya pada petugas bagian pendaftaran di klinik ini.
Mungkin dengan bertanya langsung pada dokter yang memeriksa kandungan mama, aku bisa mendapat informasi yang akurat tentang kehamilan mama itu.
"Oh, yang Mbak maksud dokter Anggita? Apa Mbak sudah buat janji sebelumnya?" tanya petugas pendaftaran itu tanpa menoleh sedikitpun ke arahku. Matanya hanya fokus menatap layar gawai miliknya.
"Belum," jawabku singkat, padat dan jelas.
"Kalau begitu daftar dulu ya, Mbak," jawabnya kemudian.
"Ta-Tapi, Mbak. Saya bukan mau periksa kandungan, saya hanya mau bertemu dengan dokter Anggita saja karena ada hal penting yang harus saya tanyakan pada beliau," sanggahku mencari alasan.
"Tetap harus daftar dulu ya, Mbak. Atau buat janji dulu untuk bisa bertemu dengan bu Anggita."
Aku mendengkus sebal. Sepertinya usahaku untuk mengorek informasi langsung dari dokter itu gagal total. Tidak mungkin aku mendaftar dan berpura-pura menjadi pasien. Aku lupa membawa dompetku dan aku tidak membawa identitas apapun. Aku ragu. Mencoba memikirkan jalan keluar terbaik. Aku pun pergi dari meja pendaftaran pasien itu.
Harus dengan cara apa lagi aku bisa mengetahui kebenaran tentang test pack di kamar mama itu? Pikiranku masih kalut. Rasa bingung menderaku. Aku bisa merasakan, irama jantungku yang berdetak lebih cepat. Aku ingin menangis. Aku ingin berteriak untuk menumpahkan semua kemarahan ku. Apalagi bila teringat kedekatan antara mama dan mas Adam tadi. Bahkan mas Adam tidak pernah sedekat itu denganku dan memperlakukanku seistimewa dia memperlakukan mamaku
Tubuhku lemas. Harus dengan jalan bagaimana lagi aku bisa mencari informasi tentang kehamilan mama. Andai saja mama mau jujur siapa ayah dari janin itu, dan andai saja mama tidak sedekat itu dengan mas Adam, mungkin kabar kehamilan mama itu akan sedikit menambah kebahagiaanku sebagai anak tunggal yang akan mempunyai adik lagi setelah sekian tahun lamanya.
Perlahan aku pacu motorku membelah jalanan kota yang masih basah akibat gerimis. Tidak terasa genangan bening jatuh deras dari pelupuk mataku. Ah, nikmat sekali menangis di atas motor seperti ini. Tidak ada siapapun yang bisa melihatku menangis.
Deru bising kendaraan lalu lalang menenggelamkan suara tangisanku. Aku menangis seperti anak bayi yang kelaparan. Aku puaskan menumpahkan kesedihan yang selama ini aku pendam. Menangis, menangis sampai puas!
🥀🥀🥀🥀🥀
"Rani!" terdengar suara papa memanggilku ketika aku baru saja sampai di depan rumah. Aku memarkirkan motorku di garasi. Langkahku gontai seolah tidak ada lagi semangat dalam hidupku.
Rupanya sejak tadi papa menunggu kepulanganku. Aku merasa bersalah pada papa karena sudah mengabaikan panggilan teleponnya tadi. Mataku terasa bengkak karena puas menangis di atas motor. Papa pasti akan mengetahui bahwa hati anaknya sedang tidak baik-baik saja. Namun aku berusaha tetap menunjukkan senyum termanis ku di hadapan papa. Aku tidak ingin kalau papa sampai mengkhawatirkan keadaanku.
"Lama sekali kamu, Rani! Darimana aja sih. Makanannya sampai dingin ini?"
Papa mulai mengomel sembari menunjukkan beberapa kotak makanan padaku. Aku bergeming. Tidak menunjukkan ekspresi apapun pada papa.
Aku memeluk papa tanpa berkata-kata. Hanya air mata yang kembali tertumpah membasahi baju papa. Aku menangis seperti seorang Rani kecil yang cengeng.
Papa mungkin tidak mengerti kenapa tiba-tiba aku memeluknya sambil menangis seperti ini. Namun papa tetap berusaha memberikanku ketenangan yang aku butuhkan. Papa membelai rambutku dengan lembut. Meskipun tanpa berkata sepatah katapun, aku yakin papa juga merasakan kegelisahan hatiku.
Sepertinya mama masih belum sampai di rumah. Padahal sudah sejak tadi mama dan mas Adam keluar dari klinik kandungan itu. Kemana mereka?
Aku membukakan pintu rumah untuk papa. Dengan langkah gontai aku berjalan perlahan di dampingi papa. Papa memegangi bahuku, seolah ingin memberikan kekuatan padaku.
"Mama kamu kemana sih, Rani?" tanya papa sambil duduk di sofa ruang tamu dan meletakkan kotak makanan di atas meja. Aku tidak menjawab pertanyaan papa. Kemudian aku pun duduk di sebelah papa.
"Rani, kamu lagi ada masalah ya?" tanya papa kemudian. Tangan papa menggenggam jemariku.
Aku menggeleng perlahan. Dengan pandangan nanar menatap papa.
"Jangan bohong, papa sangat mengenal Rani yang selalu ceria, bukan Rani yang cengeng seperti ini," timpal papa.
Bagaimana aku bisa ceria, Pa. Sedangkan hatiku sedang merasakan kesakitan tiap kali mengingat mama dan Mas Adam. Batinku.
"Bagaimana kabar Adam, calon suami kamu itu? Kapan dia akan melamar kamu, Rani?"
Pertanyaan dari papa itu membuatku tersentak.
Aku bingung hendak menjawab apa pada papa. Aku tidak mungkin menceritakan tentang kedekatan antara mama dan mas Adam kepada papa. Aku juga tidak mungkin bicara masalah test pack itu kepada papa sebelum aku mengetahui kebenaran tentang kehamilan mama.
"Rani? Di tanya papa kok malah bengong?" ucap papa membuyarkan lamunan ku.
"Rani nggak tahu, Pa," jawabku singkat.
"Kamu harus minta kepastian dong, Rani. Kamu sudah lama berpacaran dengan Adam. Papa takut kalian kebablasan, ntar kamu hamil di luar nikah. Siapa nanti yang malu kalau bukan kamu?" sanggah papa. Aku termenung.
"Pokoknya nanti Papa mau bicara sama Adam, Papa akan desak dia supaya cepat menikahi kamu!" ucap papa lagi.
Aku hanya terbungkam. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi kepada papa.
Dua tahun yang lalu, sejak pertama kali dekat dan mulai berpacaran dengan Mas Adam, pernikahan dengan Mas Adam adalah sesuatu yang selalu aku dambakan. Setiap hari aku selalu memimpikan kapan aku akan naik pelaminan mendampingi Mas Adam.
Namun, impian itu seakan sirna dalam sekejap saja ketika aku mulai menyadari ada yang tidak beres antara Mas Adam dan mama.
Aku masih berusaha berprasangka baik sejauh ini pada calon suamiku itu. Namun, mengapa semakin aku menolak kenyataan itu, justru semakin nyata Tuhan tunjukkan semua di hadapan mataku?
"Rani, kamu harus sabar. Apapun yang terjadi, Papa akan selalu ada untuk Rani."
Papa kemudian mengusap rambutku dengan lembut. Aku memandangi papa. Papa yang berusaha selalu ada untukku setiap saat. Entah kenapa papa dan mama bisa bercerai satu tahun yang lalu. Sampai saat ini pun aku tidak pernah tahu alasan apa yang membuat mereka bulat untuk berpisah. Papa tidak pernah bercerita padaku, pun mama, mama paling tidak suka jika masalah pribadinya selalu aku pertanyakan.
"Terima kasih ya, Pa. Semoga Rani kuat menghadapi ini semua." Sekali lagi, aku peluk tubuh papa. Pelukan dari papa sungguh dapat menenangkan perasaanku yang tengah kalut ini.
Lelaki berusia lima puluh tahun itu masih nampak gagah. Meskipun dengan kulit yang mulai keriput. Tapi senyum papa tetap meneduhkan. Setidaknya, aku masih punya papa yang menyayangi ku. Dan aku tahu aku masih punya sandaran ketika aku sedang jatuh dan terpuruk.
"Pa, Rani boleh tanya sesuatu?" tanyaku memecah keheningan.
"Apa itu, Rani?" jawab papa pelan.
"Apa penyebab Papa dan mama bercerai?" tanyaku sekali lagi.
Papa tampak heran padaku. Papa tidak segera menjawab pertanyaan ku. Beliau bungkam. Hanya matanya yang berputar seolah mengenang kejadian setahun silam.
"Ada apa kok tiba-tiba Kamu menanyakan hal itu, Rani?" Papa balik bertanya. Kali ini giliran aku yang terbungkam. Entah mengapa, tiba-tiba saja aku ingin mempertanyakan hal itu. Karena selama ini, aku benar-benar tidak mengetahui sebab kedua orang tuaku bercerai.
"Sebaiknya kita jangan bahas masa lalu itu, Rani. Papa sudah mulai melupakan semuanya. Papa harap, Kamu jangan mengungkit luka lama itu lagi."
Aku terdiam. Kali ini aku tidak bisa melawan perkataan papa. Aku tidak ingin mengoyak kembali luka masa lalu papa. Andai papa tahu bagaimana mama sekarang, mungkin perasaan papa akan lebih terluka. Tapi, kepada siapa aku menceritakan semua kalau bukan kepada papa?

Comentário do Livro (77)

  • avatar
    verlanicacecillia

    bagus

    20d

      0
  • avatar
    DamayantiIra

    bgs bgt ceritany jngn lupa kelanjutan ny sampai tamat

    30/05

      1
  • avatar
    AndiniDira

    bagus banget kak,sukses truss💪

    05/05

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes