logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 7. Papa

Kembali dari dokter Faisal, aku langsung ke butik dan membereskan semua hal yang terabaikan selama beberapa hari ini. Berbagai pertanyaan Clare sengaja tidak kujawab. Panjang ceritanya jika ia tahu apa yang kulakukan dan aku benci dikritik pedas olehnya yang sama sekali tidak mengerti. Tetapi saudari tetap saudari dan Clare tetaplah Clare yang suka mencampuri urusanku. Ia terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan super tidak pentingnya.
"Kalau tidak mau cerita masalah kamu, jangan harap kamu akan dapat gaji utuh bulan ini, Res," ancamnya dengan wajah sok imut.
"Oh, kamu ngancam aku? Aku bendahara di butik ini yang paling tahu pengelolaan keuangan, jadi jangan sok berkuasa ya, Clare," balasku tanpa mengalihkan wajah dari layar laptop.
"Ayolah, Kak. Cerita dong." Ia merengek.
Kali ini menggunakan kata 'Kak'. Kata itu sakral buatnya jika sedang menginginkan sesuatu dari aku.
Menghentikan aktivitasku sejenak dan menatap mata bulatnya yang jenih. Ah, mata indah dengan buluh mata lentik. Alis tipis panjang dan rapi sangat serasi dengan wajah tirus yang cantik dan putih bersih dipadu dengan hidung bangir yang sesuai. Kecantikan di atas rata-rata dilengkapi rambut hitam lurus yang selalu dimodifikasi banyak gaya. Kali ini rambut panjangnya digelung simpel, poni menutupi dahinya seperti artis Jepang. Selain kecantikan, ia juga sangat modis sesuai dengan pekerjaannya sebagai desainer muda.
Dulu waktu masih sekolah menengah, Clare pernah ditawari menjadi model pakaian rremaj, tetapi ia lebih memilih menjadi model kebaya modern milik ibu. Alasannya sederhana, menopang bisnis keluarga. Setelah kuliah ia memilih menjadi model untuk pakaian rancangannya sendiri. Kecerdasan, supel dan cantiknya benar-benar berbanding terbalik denganku yang berkulit cokelat. Rambut ikalku bahkan jarang kubuat gaya.
Ia memainkan mata indahnya, menggodaku dan aku luluh karenanya.
"Baik, Adikku yang cantik. Kakakmu ini sedang merencanakan sesuatu. Dalam satu bulan ke depan aku izin cuti, mau pulang kampung." Aku berusaha memasang raut wajah sesantai mungkin dengan nada penuh candaan.
"Apa! Pulang kampung?!" teriaknya mengagetkanku. "Mendadak amat, Kak. Ada apa?" Sudah kuduga responnya akan seperti ini. Histeris.
Aku senang melihat perubahan sikapnya menjadi cukup peduli. Biasanya dia beralasan sibuk untuk mencampuri urusanku.
Aku berpikir keras mencari kata yang tepat untuk menjawab pertanyaannya. Bukan bermaksud menyembunyikan tujuanku, hanya tidak ingin Clare khawatir jika tahu kebenaran yang coba kusembunyikan dari keluarga.
Memang sulit menyembunyikan masalah sepelik ini tetapi bagiku tidak merepotkan mereka adalah pilihan terbaik. Beban hidupku adalah milikku, biarlah mereka tetap dengan sikap masa bodohnya, toh jika tahu pun mereka pasti jauh lebih masa bodoh.
"Kak, kalau ada masalah cerita, dong, kali aja Clare bisa bantu." Ia duduk di hadapanku, menopang dagu memelas manja.
"Tidak ada masalah, Clare. Aku hanya rindu pada Nenek. Sudah lama sekali tidak ziarah ke kuburnya. Itu saja." Glek. Rasanya aneh membuat alasan dengan hal dasar yang tidak kuingat. Apa benar nenekku sudah meninggal? Aku menunggu jawaban ketidakbenaran dari Clare.
"Serius hanya itu tujuannya?" aku mengangguk lesu, dalam hati lega alasanku tidak dikomplain. Nenekku. Seperti apa dia? "Terus kenapa harus sebulan? Lama banget." Ia menyadarkan aku. "Kamu akan Natal dan tahun baru di kampung?" tanyanya lagi.
"Iya, Clare. Aku akan kembali setelah tahun baru."
"Sudah izin sama Kak Ge?" Pertanyaan menjebak harus dijawab dengan penuh keyakinan.
"Belum, tapi segera akan diizinkan." Clare menatapku kesal lalu bangkit dan berlalu begitu saja. Aku mendesah lega sambil mengelus dada.
"Hah! Kamu menyembunyikan sesuatu dari aku, kan?" tanyanya tiba-tiba dengan memajukan kepala dari samping kiri leherku. Aku ternganga kaget menatapnya sambil terus mengelus dada. Ia sengaja memutari meja hanya untuk menjebakku. Aku terlalu meremehkan rasa ingin tahunya, hanya bisa mendorong kepalanya menjauh dari wajahku.
"Tidak ada yang kusembunyikan, Clare. Jangan ganggu aku, please!" Aku harus berkata tegas atau dia akan membongkar semua kebohonganku. Ia mendengus kesal. Tidak mengapa, itu lebih baik.
"Aku harus pergi dalam beberapa hari ke depan dan masih banyak hal yang harus diurus. Jadi, tolong untuk sementara jangan ganggu aku, Clare."
"Ayolah, Res. Kalau ada masalah cerita, dong. Biasanya juga begitu."
Ia tetap tidak mau kalah. Aku memilih diam menatap layar laptop.
"Ah, jangan-jangan kamu ada masalah sama Kak Geby. Atau, ah! Jangan-jangan karena ketakutan kamu itu, Res" Ia mundur selangkah dan menutup mulutnya, mengangguk-angguk kepala seperti menemukan sesuatu.
Sekarang dia benar. Aku hanya perlu tetap diam membiarkan dia dengan pemikirannya yang mungkin akan menjebakku.
"Aku benar 'kan, Res?" desaknya lagi dan aku benar-benar terjebak dalam permainannya. Mengabaikan tatapan penuh intimidasinya, aku bangkit menuju toilet menghindari pertanyaan baru.
Lega rasanya terhindar dari Clare. Bersandar pada pintu toilet aku memikirkan rencana dan alasan yang tepat untuk kusampaikan pada Gaby. Untuk menghadapi Clare saja sangat sulit apalagi menghadapi Gaby dengan pertanyaan-pertanyaan yang kadang menakutkan? Ah, semuanya serba memusingkan, tetapi tekadku sudah bulat, aku harus pulang.
Sisa waktu hari ini kuisi dengan menyelesaikan semua pekerjaan yang tersisa. Membeli perlengkapan perempuan selama liburan mendadak, menyiapkan oleh-oleh dan memanjakan diri sejenak di Salon. Rambut panjangku dirapikan dengan memotong ujungnya.
Tiket pesawat sudah dipesan lewat aplikasi. Aku memperhatikan kantong mata yang mulai cokelat. Ini pasti akibat tidur malamku yang terganggu. Abaikan saja toh dua hari lagi aku berangkat, tetapi izin dari Gaby belum kukantongi. Izin pada papa dan mama itu biasa, mereka tidak terlalu peduli. Tetapi Gaby, aku merasa buruk untuk dia, bahkan belum siap untuk menyampaikan niatku.
Aku tiba di rumah saat sudah gelap. Malam yang tenang tanpa hujan membuatku merinding. Sesuatu yang berbahaya seolah sedang mengintai dari balik jendela kamar. Aku menahan keinginan untuk berbalik. Tidak ada petir dan guntur, hujan juga seakan enggan turun malam ini, tetapi suasana yang tenang itu justru lebih menakutkan. Sesuatu yang buruk akan terjadi, aku bisa merasakannya melalui udara yang membelai tubuhku. Sigap aku meraih ponsel dari atas ranjang dan berlari menuju ruang tengah.
Ada papa dengan secangkir cokelat yang masih mengepul. Mama sibuk membolak-balik halaman katalog produk kecantikan. Clare belum tampak batang hidungnya, mungkin di kamar. Ale, adik laki-lakiku itu tidak perlu dicari, ia masih setia di pedalaman hutan Kalmantan, merekam kehidupan satwa liar yang akan dimuat di akun YouTube-nya.
Tanpa basa basi menyapa aku duduk di samping papa, menaikkan volume televisi yang sedang menayangkan salah satu produk shampo. Papa menatapku penuh peringatan, kubalas dengan mengangkat bahu. Acuh tak acuh.
"Dua hari lagi aku pulang, Pa." Tanpa menurunkan volume televisi aku membuka percakapan dengan papa. Papa tidak menanggapi, mungkin tidak mendengar. "Pa, dua hari lagi aku pulang." Aku menaikkan volume suara yang beradu dengan iklan produk susu formula anak-anak.
Papa hanya mengalihkan wajah dari layar televisi, menatapku tanpa emosi dan suara. Aku kesal. Hal sama yang terjadi setiap kali aku bicara soal kampung. Tidak ada pertanyaan atau kata-kata yang dilontarkan. Hanya diam dan tidak peduli.
"Pa, kenapa sih susah sekali buat Papa ngomong kalau aku mau ke kampung? Bilang titip salam kek, hati-hati kek, atau apa pun. Aku tidak minta apa-apa cuma tanggapan papa." Susah payah aku mengontrol emosi dan nada bicara. Kali ini aku harus membuka hal paling disembunyikan papa selama ini.
Bertahun-tahun pergi dari kampung halaman dan papa tidak pernah pulang. Bahkan menyebut nama kampungnya saja tidak pernah. Ia seperti pepatah lama, kacang lupa kulit bahkan ari-arinya saja ia lupa.
Melihat lelaki tambun itu masih acuh tak acuh dan mama yang pura-pura tidak mendengar, aku semakin marah. Aku membuang remot ke lantai. Suara pecahan plastik tidak membuat papa maupun mama mengubah ekspresi wajah mereka.
"Pa, tolong! Jangan jadi orang yang lupa kampung halaman seperti ini. Darah yang mengalir dalam diri Papa dan juga turun pada aku, Clare dan Ale adalah darah dari leluhur yang tinggal di kampung. Jangan sampai azab turun dan papa terlambat menyesalinya!" Aku menekan setiap kata yang kuucapkan.
"Sudah selesai?" Hanya itu yang keluar dari mulut kaku papa. Mama sama sekali tidak mengubah raut wajah yang masih setia menonton gambar dalam katalog. Clare pun tidak menampakkan bayangannya. Aku seperti berdiri sendiri dalam rumah yang besar.
Mengapa selalu begini? Jika sudah menyinggung tentang kampung maka semua orang dalam rumah ini berlaku seperti orang yang terlahir dari rahim kota. Tidak ada yang mau peduli. Masih bisa dimengerti jika mama dan kedua adikku yang berlaku demikian, tetapi papa yang lahir dan besar di kampung saja tidak mau tahu.
Kampung seolah menjadi kata terkutuk untuknya. Semua kehangatan dan kasih sayang palsu papa akan menguap pergi bak alkohol jika sudah menyinggung kata itu, 'Kampung'.
Kata itu bagai momok mengerikan yang mengintai dan mengurungnya dalam suatu dunia yang berbeda. Kekakuannya semakin nyata saat mengangkat wajah beradu pandang denganku yang terus memelototinya. Bukan bermaksud durhaka, aku hanya ingin membangkitkan rasa rindu papa pada kampung.
"Clare sudah mengatakannya pada Papa. Tidak perlu seheboh itu hanya karena pulang ke kampungmu itu."
Plak ....
Aku menyesal mengharapkan terlalu banyak. Kata-kata yang keluar dari mulutnya tercekat di telingaku. Aku masih ingin marah. Tetapi, perkataan dan sikap papa sudah membuat aku ingin pergi jauh sebelum kemarahan semakin tidak terbendung.
Gaby. Lebih baik aku pergi dan bertemu dengannya malam ini.
bersambung ...

Comentário do Livro (134)

  • avatar
    Bahy PayongYustinus Kati

    Luar biasa sekali. Sangat Menggugah sekaligus menggugat. semangat selalu

    18/07/2022

      3
  • avatar
    LayFelicia

    awalnya penasaran sm judulnya Krn sebutan suanggi biasanya hanya di daerah timur termasuk kami di Papua, stlh baca ceritanya menarik juga, semoga sukses terus ya Thor 😇

    23/06/2022

      0
  • avatar
    Neschenney Tracy

    sangat best.. 😍

    21/05/2022

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes