logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 6. Ingatan yang Hilang

Tiga hari kemudian.
Seperti janji temu tiga hari yang lalu, aku kembali lagi ke tempat praktik dokter Faisal. Harus sedikit berbohong pada Clare tentang keabsenanku di Butik, kebohongan yang tidak sempurna. Ia mengantar kepergianku dengan kecurigaan. Lupakan saja, nanti bisa dijelaskan.
Cuaca hari ini cukup cerah, memberi semangat baru. Keluar dari rumah aku duduk santai menikmati ketenangan dalam taksi yang hampir sebulan ini mengantarku ke Butik. Sebenarnya mudah saja mengendarai mobil sendiri namun sejak masuk musim hujan aku lebih memilih menggunakan taksi.
Setidaknya menghindari kejadian tidak terduga akibat teror dari balik titik-titik hujan. Aku tiba sepuluh menit sebelum jam sembilan. Menunggu waktu yang sebentar itu rasanya hatiku panas dingin. Menerka hasil yang masih abu-abu cukup menguras energi. Aku harus mengelus dada ketika getar dadaku semakin cepat.
Namun ketika teringat akan perlakuan Gaby, perasaan senang tiba-tiba datang dan menenangkan hatiku.
Tepat pukul sembilan aku dipersilakan masuk ke ruang santai yang langsung disambut alunan biola yang mendayu-dayu. Senyum hangat pemilik ruangan mengalir lewat telapak tangan yang saling berjabatan, menambah suasana nyaman.
"Selamat pagi, Nona Flores. Apa kabar?" Ia mengerlingkan mata, bukan menggoda tetapi menciptakan suasana santai. Aku tertawa sebelum membalas sapaannya.
"Selamat pagi juga, Dok. Kabarku pagi ini sangat baik. Bagaimana kabar Anda, Dok?"
"Sangat baik juga. Mari silakan duduk."
"Terima kasih, Dok."
Aku mengambil tempat duduk yang sama yang kutempati sebelumnya.
"Anda sangat segar, cantik dan semangat hari ini. Sepertinya Anda dalam suasana hati yang sangat baik." Ia tersenyum lagi.
"Tentu saja. Aku datang untuk menemui Dokter yang bersedia mendengar kisah hidupku yang membosankan dan untuk mendengar hasil penemuan Dokter, jadi tentu saja harus semangat."
Sambil merapikan blus cokelatku, aku mengamati sang dokter yang sedang membuka portofolio. Kaki kanannya disilangkan tumpang tindih di atas paha kiri, ciri orang cerdas dan serius. Aku teringat Gaby ketika sedang serius mempelajari laporan mahasiswa. Entah mengapa ingatan itu muncul, seketika meredakan kegugupanku.
"Maaf membuatmu menunggu, Nona Resty." Aku hanya mengangguk pelan. "Baik, langsung saja. Untuk kasus Anda, sementara waktu saya belum bisa mengambil kesimpulan. Hem ... Maaf, tapi sebelumnya saya harus mengatakan dengan jujur bahwa masalah kamu masih dalam taraf permasalahan psikologi biasa belum masuk pada tahap di mana harus membutuhkan terapi kedokteran."
"Jadi, apa yang harus saya lakukan, Dok? Apa aku harus mencari seorang psikolog atau bagaimana?" Untuk hal ini aku memang masih sangat awam. Berhadapan dengan dokter saja masih banyak perhitungan apalagi masalah pelik yang butuh keberanian.
"Tidak perlu, Nona Resty. Sekali pun demikian, saya yakin masih bisa membantu Anda. Kita hanya perlu melakukan beberapa sesi lagi. Menurut saya, letak masalah Anda adalah ketakutan terhadap ... " Beliau menatapku dengan pandangan seolah sedang meyakinkan diri sendiri, "musim hujan ya?" ia mengatakan dengan hati-hati sambil terus membolak-balik portofolio. Sebuah notes biru dijepit bersama portofolio, ia menulis sesuatu di sana.
"Iya, Dok."
"Baik." ia menggulung lengan kemeja biru polosnya. Ia pasti penyuka biru. "Kalau begitu perkenankan saya menanyakan beberapa hal lagi." Aku kembali mengangguk.
"Sejak kapan Anda mengalami ketakutan pada musim hujan?"
"Ah, itu. Saya, hem ... hem ... hem ... "
Aku bingung harus menjawab apa. Jujur saja aku sama sekali tidak ingat kapan pertama kalinya takut pada musim hujan. Tidak ada bayangan kapan ketakutan itu muncul. Aku seperti orang linglung, hanya menggeleng dan menggumam tidak pasti.
"Jujur, Dok. Aku... sama sekali tidak ingat. Maaf."
"Baik. Tidak masalah. Cobalah pelan-pelan untuk mengingat, saya akan membantu dengan beberapa pertanyaan." Dokter berdehem, aku justru semakin gugup.
"Tidak apa-apa, Nona Resty. Jangan gugup. Tarik napas yang dalam dan hembuskan perlahan."
Aku mengikuti instruksinya, mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan. Cukup membantu.
"Baik. Apa Anda takut guntur sejak pertama kali masuk dunia kerja?" aku menggeleng bingung. "Saat kuliah?" aku menggeleng lagi. "Saat SMA?"
"Tidak, Dok. Aku ingat, sejak SMP aku selalu takut hujan sehingga pernah di-bully oleh teman-teman. Aku digotong ramai-ramai dari dalam kelas ketika sedang hujan lebat lalu dibiarkan diguyur hujan lebat. Setelah itu, aku tidak masuk sekolah selama dua minggu."
Dokter berwajah teduh itu mengangguk-angguk sambil tersenyum kecil.
"Apakah itu adalah pertama kalinya kamu merasa takut pada hujan?"
"Tidak, Dok. Saat itu aku sudah kelas sembilan dan teman-teman sudah tahu tentang ketakutanku sehingga mereka berteori bahwa membiarkan aku diguyur hujan lebat di luar dengan petir yang menyambar di langit dapat menyembuhkan ketakutanku."
"Dan ternyata teori mereka salah."
"Benar sekali, Dok. Sejak saat itu mereka berhenti mem-bully aku atas ketakutan tak beralasan itu." Dokter Faisal tampak berpikir keras, mungkin bingung. Aku sendiri saja bingung.
Sejak pertanyaan tentang awal mula ketakutan itu, aku mulai menelusuri ruang pikiranku mencari jejak ketakutan itu berasal. Namun, aku kembali bingung harus dari mana mencarinya? Apakah sejak kelas tujuh? Ah, tidak. Saat itu aku sudah sangat takut hujan, bahkan jauh lebih parah dari saat ini. Saat itu, aku hampir tidak pernah keluar kamar.
Absenku dari akhir bulan Oktober sampai April sangat kotor. Sejak itulah teman-teman menjuluki aku, 'Musuh Musim Hujan'. Lalu sejak kapan?
"Bagaimana dengan sekolah dasar, Nona Resty?" pertanyaan itu membawa pikiranku kembali dari ruang waktu.
Aku cukup tersentak karena baru saja hal itu terpikirkan olehku. Aku mencoba sebisa mungkin kembali ke masa kecil, tetapi semakin mencoba justru kekosongan seperti kertas putih yang kutemukan. Sama sekali tidak ada kenangan masa kecil yang bisa kuingat.
Mengapa demikian? Dan sejak kapan aku melupakan semua kenangan itu?
"Nona Resty, Anda baik-baik saja, kan?" sekali lagi sang dokter menyadarkan aku dari pikiranku yang panjang nan kusut.
"Aku baik-baik saja, Dok, tapi maaf, aku sama sekali tidak ingat apa pun tentang masa sekolah dasar. Apa yang terjadi padaku, Dok?"
Aku seperti anak kecil mengadukan semua ketakutan, gelisah, sedih dan berbagai perasaan yang berkecamuk.
Aku sudah tidak peduli lagi jika dibilang manja, cengeng atau tidak dewasa. Aku ingin menangis. Kekosongan menyergap masuk, dingin dan beku. Rasanya sangat hampa tanpa ingatan apapun tentang bagaimana aku dulu.
Pikiranku seperti terputus dari suatu hubungan yang tidak kutahu apa itu. Pipiku menghangat, air mata mengalir perlahan dan kekosongan semakin meluas. Rasanya seperti terapung tengah malam yang mendung di tengah lautan. Tidak ada arah untuk pulang bahkan bintang penunjuk jalan pun hilang sinarnya.
Bagaimana cerita masa kecilku? Apakah aku nakal atau selalu menjadi anak baik? Bahagiakah aku atau selalu bersedih? Aku kecil apakah sosok yang berani atau penakut dan pemarah seperti sekarang? Punya banyak teman dan selalu disukai atau pendiam dan tidak punya teman? Dikagumi atau sering dibully? Semua pertanyaan itu membuat sesak dadaku. Aku harus memukul dada melonggarkan perasaan yang justru semakin sesak. Perasaan ini seperti kehilangan seseorang yang berharga.
Kehilangan orang berharga? Rasanya aku pernah mengalaminya, tetapi kehilangan siapa? Orang tuaku masih lengkap, kakek dan nenek dari pihak mama sudah lama meninggal dan aku tidak terlalu merasa kehilangan seperti ini. Hubungan kami tidak begitu dekat. Lalu, siapa? Kakek dan nenek dari pihak papa? Aku benar-benar tidak ingat apa ppu, tetapi entah mengapa pikiran terakhir itu membuat aku menangis semakin menjadi-jadi.
Rasa sakit kehilangan menusuk jauh dalam hatiku. Aku berteriak menangisi sesuatu yang tidak kupahami. Sesuatu itu menghentak-hentak perasaan. Sakit sekali. Aku tidak sanggup menahannya, luruh ke lantai. Menyandarkan tubuh pada bahu sofa, meratapi kisah yang tak kuingat. Rasa sesak itu membuatku tersedak. Aku memeluk diri yang masih berguncang, membiarkan air mata puas membebaskan diri.
Cukup lama aku menangis hingga uluran tangan dokter Faisal memberi bungkusan tisu yang baru. Aku baru sadar, tisu di atas meja sudah habis terpakai. Aku mengambilnya masih setengah terisak, menyeka sisa air mata, membersihkan ingus dan kembali merapikan diri.
"Maaf, Dok. Aku lepas kendali." Sungguh tidak aneh, suaraku berubah serak.
"Tidak apa-apa, Nona Resty. Saya justru senang bisa membantu Anda meluapkan perasaan terdalam yang selama ini dipendam. Anda pasti sedih sekali atas sesuatu di masa lalu. Saya harap bisa diceritakan agar saya bisa membantu Anda."
Aku duduk lagi di tempat semula. Dokter sudah siap mencatat.
"Maaf, Dok. Aku tidak tahu apa yang membuat aku begitu sedih. Jujur saja, ada perasaan kehilangan yang sangat dalam ketika tahu aku tidak mengingat masa kecilku. Aku ingin tahu seperti apa aku saat kecil dulu." Aku berusaha menghilangkan napas yang masih tersengal, nyatanya justru semakin sulit bernapas. Suara serakku itu juga sangat mengganggu.
Kerutan di kening sang dokter makin kentara. Ia membuka notes kecil yang terjepit bersama portofolio, membaca, menulis, membaca lagi, tetapi tidak mengatakan apa pun. Ia berdiri, menghela napas berat dan berjalan ke jendela kaca di belakangku. Menatap jejeran bangunan dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana bahan hitamnya. Ia diam di sana, aku sibuk menghapus air mata yang terus mengalir. Sekitar dua menit kami saling berdiam. Ia kemudian berbalik, berdehem pelan dan kembali ke tempat duduknya. Rautnya masih sulit ditebak.
"Begini, Nona Resty. Berkaitan dengan ingatan masa kecil Anda yang hilang, saya percaya bahwa ketakutan Anda juga dimulai sejak itu. Entah itu karena suatu kecelakaan atau pun penyakit, yang pasti hal itu sangat berhubungan erat dengan semua ketakutan, halusinasi dan masalah lain yang Anda hadapi sekarang. Karena Anda sendiri tidak ingat, saya pikir sebaiknya saya bertemu dengan orang tua Anda. Saya harap Anda mengizinkan."
Meski terdengar hhati-hat, tetapi aku bisa merasakan ancaman dari tujuan dokter. Bukan karena dokter yang berniat buruk tetapi reaksi orang tuaku. Ah, aku tidak mau membayangkan. Lebih baik menolak.
"Tidak, Dok. Untuk masalah ini aku sama sekali tidak ingin melibatkan keluarga. Selama ini mereka tidak peduli dengan keadaanku. Kalau saja mereka cukup peduli, mungkin mereka sudah membawa aku menemui Dokter seperti Anda sejak dulu. Tapi, buktinya apa? Sampai sekarang pun aku melakukan semuanya sendiri. Karena itu, Dokter yang baik. Tolong jangan menemui orang tuaku. Bagaimana pun juga, masa kecilku bukan di sini bersama mereka tetapi bersama nenekku di Flores."
Sungguh ide konyol itu tidak ada artinya. Menolak adalah pilihan terbaik.
Pertemuan ini adalah hal pribadi yang sangat kurahasiakan, bagaimana mungkin membiarkan semuanya terbongkar hanya karena ingatan masa kecil? Itu tidak akan kubiarkan terjadi.
" Oh, jadi Anda ingat masa kecil Anda di Flores? "
"Tidak, Dok."
"Lalu bagaimana Anda tahu bahwa masa kecil Anda dihabiskan di Flores?" Dasar psikater. Hal sekecil apa pun tetap jadi pertanyaan.
"Karena aku tahu hal itu, Dok, bukan ingat. Adikku selalu mengatai aku orang kampung, juga teman-teman dan kerabat di kampung masih sering memberi ucapan saat Natal dan Tahun baru, Dok." Suaraku sudah kembali jernih. Pikiran juga sudah lebih tenang untuk berpikir yang masuk akal.
"Bisa saya hubungi kerabat Anda di kampung?" Oh, tidak. Itu sangat tidak diterima. Mereka tidak boleh tahu dan dibebani dengan masalahku.
"Terima kasih, Dok. Aku tahu Anda peduli dan benar-benar ingin membantu, tetapi maaf, untuk urusan ini aku akan melakukan sendiri."
"Maksud Anda?" sudah pasti dokter bingung. Aku hanya tersenyum, menemukan jawaban yang tidak terduga ini.
"Aku telah memutuskan, Dok. Aku akan kembali ke kampung. Segera."
bersambung ...

Comentário do Livro (134)

  • avatar
    Bahy PayongYustinus Kati

    Luar biasa sekali. Sangat Menggugah sekaligus menggugat. semangat selalu

    18/07/2022

      3
  • avatar
    LayFelicia

    awalnya penasaran sm judulnya Krn sebutan suanggi biasanya hanya di daerah timur termasuk kami di Papua, stlh baca ceritanya menarik juga, semoga sukses terus ya Thor 😇

    23/06/2022

      0
  • avatar
    Neschenney Tracy

    sangat best.. 😍

    21/05/2022

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes