logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Makan Bersama Velove

“Bilang saja terus terang kalau Velove diundang keluargaku makan malam di restoran.”
“Terus kenapa Velove aja yang diundang? Papa-mamaku kok nggak?”
“Yah, pertemuan antar orang tua itu kan serius banget sifatnya, Chel. Orang tuaku kan baru mengenalmu. Belum waktunya-lah dikenalin sama orang tuamu.”
“Jawabanmu kok asal banget gitu, Raf. Nggak masuk akal!”
“Nggak masuk akal gimana?”
“Papa-mamaku itu bukan orang bego, Raf. Mereka pasti bisa menduga bahwa orang tuamu ingin melihat seperti apa kondisi Velove sebenarnya. Jangan-jangan…ehm…mereka nggak suka pacar anaknya punya saudara kandung yang…berkebutuhan khusus.”
Mata Rachel berkaca-kaca. Gadis itu selalu merasa sedih kalau ada orang yang merendahkan adiknya. Memangnya siapa yang minta dilahirkan dalam kondisi yang berbeda dengan orang-orang kebanyakan? Velove tidak bisa dipersalahkan atas gangguan autisme yang diidapnya. Pun kedua orang tua mereka juga tak dapat dituduh sebagai pihak yang bertanggungjawab. Kenapa orang-orang sering menghakimi hal-hal yang bahkan mereka sendiri tak pernah mengalaminya?!
Hati Rafael tergetar melihat kekasihnya menangis. Dihapusnya air mata yang mengalir di pipi putih mulus itu.
“Jangan sedih begini, Sayang,” hibur pemuda itu semanis madu. “Papa-mamaku cuma mau kenalan sama Velove aja, kok. Kalau kamu merasa keberatan, ya udah. Aku akan bilang sama mereka kalau Velove nggak bisa datang malam ini.”
“Terus kalau mereka nanya alasannya, gimana? Kamu akan jawab apa?”
“Kubilang saja kalau Velove nggak enak badan. Beres, kan?”
Rachel menatap mata sang kekasih dalam-dalam. Tersirat kekecewaan di sana. Hati gadis itupun luluh. Akhirnya dia mengangguk pelan.
“Ya udah, Velove nanti malam akan kuajak, Raf. Tapi aku nggak akan bilang sama Papa dan Mama, supaya nggak banyak pertanyaan nanti.”
“Terus kamu beralasan apa ngajak adikmu keluar sama aku?”
“Biar kubilang mau ajak Velove jalan-jalan ke mal buat refreshing. Kasihan sehari-hari waktunya banyak dihabiskan buat sekolah dan terapi.”
“Thank you so much, Rachel. Aku tahu ini nggak mudah buatmu. Tapi percayalah, nggak ada hal buruk yang akan terjadi.”
“I hope so.”
Dalam hati Rachel sendiri tak yakin dengan kalimat yang diucapkannya. Whatever will be, will be, batin gadis itu pasrah. Kalau memang Rafael ditakdirkan menjadi jodohku, kondisi Velove yang autis nggak akan dipermasalahkan oleh orang tuanya. Tapi kalau yang terjadi justru sebaliknya, ya sudah…. Adikku jauh lebih berharga dari cowok manapun di dunia ini!
***
“Velove mau makan apa? Biar Tante ambilkan,” ucap ibu Rafael ramah.
Keluarga Rafael beserta Rachel dan Velove sudah berada di ruangan VIP sebuah restoran masakan Indonesia. Velove tak menjawab pertanyaan yang diajukan padanya. Gadis remaja berambut lurus sebahu itu bahkan tak memandang ke arah ibu Rafael. Pandangannya terarah pada dekorasi sekeliling ruangan yang bertema tradisional.
“Mau itu,” cetus Velove seraya menunjuk ke arah hiasan wayang kulit yang tergantung di dinding ruangan.
Rachel cepat tanggap menangani adiknya. “Velove, itu hiasan dinding. Nggak boleh dipegang. Takut rusak. Jadi cuma boleh dilihat saja. Velove ngerti, kan?”
Sang adik manggut-manggut mengerti. Pandangannya lalu beralih pada hidangan yang disajikan di atas meja.
“Mau makan ayam dan sambal. Velove lapar,” ucap gadis itu polos.
Rachel langsung menanggapi. “Boleh, Sayang. Tapi Velove mesti bilang dulu sama Om dan Tante. Om, makan. Tante, makan.”
Velove menuruti instruksi kakaknya. Kemudian Rachel meminta gadis itu untuk mengucapkan hal yang sama pula pada Rafael dan kedua adiknya. Setelah mematuhi kehendak kakaknya, Velove berkata, “Sekarang Velove mau ambil makanan, ya.”
“Silakan, Velove,” sahut ibu Rafael ramah.
Diambilkannya nasi buat tamunya yang masih sangat muda itu. Rachel dengan sungkan berkata, “Biar saya saja, Tante.”
“Sudahlah, Rachel. Nggak apa-apa, kok. Nasinya segini cukup nggak, Velove? Nanti kalau kurang, bisa tambah lagi.”
“Cukup.”
Rachel kemudian meminta adiknya untuk mengucapkan terima kasih pada ibu Rafael. Velove kali ini menolak. Sambil cemberut gadis itu berkata, “Perut lapar.”
Sang kakak meringis malu. Ibu Rafael dengan sabar berkata, “Nggak apa-apa, Rachel. Adikmu sudah kelaparan. Ayo kita semua mulai makan. Jangan sungkan-sungkan.”
Dan selanjutnya orang-orang mulai menikmati hidangan yang disajikan. Seperti biasa adik-adik Rafael melontarkan gurauan-gurauan yang menghangatkan suasana.
Rachel larut dalam suasana ceria itu, meskipun dia masih harus senantiasa memantau adiknya. Terkadang Velove masih suka mendenting-dentingkan sendok garpu pada piringnya. Waktu makan ayam bakar juga masih minta tolong kakaknya untuk memotongkan dengan sendok garpu.
Rachel dengan sabar melayani adiknya makan, sembari menikmati makanannya sendiri. Ketika es kelapa muda Velove sudah habis, gadis berkebutuhan khusus itu memain-mainkan es batu dengan sedotan sembari mengulum-ngulumnya dalam mulut. Orang-orang berusaha memaklumi perilaku kekanak-kanakkan Velove dengan cara tak memperhatikannya.
Namun ada sepasang mata yang sejak tadi diam-diam memperhatikan seluruh gerak-gerik adik Rachel tersebut. Mata tajam seorang pria yang sudah banyak makan asam garam kehidupan. Pria yang menimbun kekayaannya dari bawah dengan susah payah, sehingga penuh perhitungan dalam segala hal. Pria itu adalah ayah Rafael.
***
”Pokoknya Papa nggak mau kamu berhubungan dengan Rachel lagi, Raf. Kamu lihat tadi adiknya seperti apa? Sudah umur tujuh belas tahun tapi tingkah lakunya masih seperti anak kecil. Ngomong belum lancar, nggak tahu etika. Ah, katanya sudah diterapi dan disekolahkan sejak kecil, tapi kok masih kayak begitu keadaannya.”
“Pa, autis itu kan bawaan dari lahir. Terapi dan sekolah itu intervensi usaha manusia. Sejauh mana keberhasilannya ya tetap tergantung dari kemampuan anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Lagipula Velove itu sebenarnya sudah banyak kemajuan. Setahun yang lalu dia masih suka marah-marah kalau kemauannya nggak dituruti. Aku melihat dengan mata kepala sendiri Velove teriak-teriak dan nangis-nangis nggak peduli sedang berada di tempat umum. Tapi Papa lihat sendiri tadi kan, dia bisa dibilangin baik-baik sama Rachel kalau nggak boleh pegang hiasan wayang kulit yang tergantung di dinding. Velove nggak marah lho, Pa? Itu sudah sangat bagus untuk remaja autis seumuran dia.”
“Kamu ini saking udah kadung cinta buta sama Rachel sampai nggak bisa mikir panjang, Raf. Kamu tadi lihat kan, pacarmu itu memantau terus adiknya lagi ngapain. Makan masih dibantu, minum masih seperti anak kecil dan harus dibilangin ini-itu. Habis makan mau langsung berdiri terus pulang. Velove itu masih butuh perhatian dan bantuan dari orang-orang dekatnya, Raf. Entah sampai kapan. Bisa-bisa seumur hidupnya!”
“Terus kenapa, Pa? Wajar kan, kalau Rachel selalu bantuin adiknya. Namanya saudara kan memang harus saling support.”
“Karena itulah Papa nggak mau Rachel jadi calon menantu keluarga kita!”
“Apa salah Rachel, Pa?”
“Dia nggak salah apa-apa. Cuma nasibnya sial saja punya saudara kandung berkebutuhan khusus!”
Rafael memandang ayahnya tak percaya. Tak disangkanya pria yang selama ini dikaguminya itu mampu menghina orang yang dilahirkan ke dunia dengan kondisi berbeda. Apa salah Velove? Dia nggak pernah minta dilahirkan sebagai anak autis!

Comentário do Livro (14)

  • avatar
    ContessiaAnnatasa

    seru banget !!

    10/07

      0
  • avatar
    Abby Azarinah

    👍🏻👍🏻

    02/07

      0
  • avatar
    KotoRisniyati

    semangat terus yah

    12/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes