logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 7 Angry Bird

Aku memasang muka super tegas. Sejauh ini aku masih bisa menjaga diri, tidak luluh dalam bujuk rayu. Saat berhubungan dengan Denish pun, paling jauh hanya cium pipi.
Tanganku berada di dada Rayn, menahannya supaya tidak maju lagi. "Aku akan memberikan pada suami yang mencintaiku, yang pasti bukan kamu, Rayn."
"Tante itu ternyata kuno, ya," ujar Rayn.
"Rayn, kalau manggil aku itu yang bener, sebentar-sebentar Tante, sebentar-sebentar Lin. Labil," sungutku.
Rayn mendengkus. "Jangan bilang aku labil, Lin."
"Memang labil."
"Dasar kuno," ejek Rayn.
"Jadi, sudah berapa gadis yang berhasil kau ajak tidur?" tanyaku, berjalan ke arah jendela, membuka tirai.
"Kalau kamu mau, kamu jadi yang pertama bagiku." Rayn tertawa lebar.
Spontan aku mengambil bantal di tempat tidur, melempar ke Rayn. Memperlihatkan wajah beringas seperti serigala.
"Mungkin aku urakan, suka pergi ke klub, minum bir, tapi aku selalu menghormati perempuan. Aku bisa saja memanfaatkan para gadis atau fans untuk mencari kepuasan," kata Rayn.
Rayn menyugar rambutnya yang sedikit panjang dan bergelombang. Rahang dan lehernyanya bagai tebing tinggi di pinggir pantai, hidung mancung, alis yang tebal. Satu kata; ganteng.
"Hei, kalian di sini?" Tante Joya sudah berdiri di ambang pintu. "Raline, bisa bantu Tante buat es buah?"
"Mama, ganggu orang yang sedang berduaan," gerutu Rayn.
"Tunanganmu aku pinjam sebentar. Ayo, Raline," seloroh Tante Joya.
Aku mengangguk dan mengikuti Tante Joya. Selain pacar, sekarang aku juga tunangan Rayn. Sebentar lagi jadi istrinya. Istri palsu.
Di dapur Tante Joya memintaku memotong kecil-kecil buah melon, apel, dan mangga. Sedangkan beliau sibuk mengeluarkan sesuatu dari oven pemanggang.
"Ini pie apel. Sering di rumah sendirian, membuatku bosan. Cara melepas kebosanan adalah dengan membuat berbagai jenis kue. Walaupun kadang tidak berhasil," ungkap Tante Joya, menaruh loyang berisi pie di meja.
"Entah mengapa aku langsung menyukaimu, Raline. Kamu tidak seperti Shanum. Syukurlah, gadis itu sudah menikah," lanjutnya, menatapku lembut. "Denish adalah masa lalu, Rayn adalah masa depan. Aku berdoa, kamu dan Rayn bahagia."
Aku tersenyum tipis mendengarnya. Bagaimana nanti jika Tante Joya tahu yang sebenarnya? Aku tidak tega membohongi perempuan cantik itu.
"Auhh." Aku memekik kecil, jari telunjukku tersayat pisau. Refleks aku melepas pisau.
"Lin. Oh, Tuhan!" Tante Joya panik.
Mendadak tanganku diraih Rayn, dia menekan-nekan jari telunjukku dengan tisu. Setelah itu menuntunku ke wastafel, mencuci jari, lalu membimbing diri ini duduk di sofa. Dia meniup pelan luka kecil dan memasang plester.
"Lain kali hati-hati." Dia masih menggenggam jemariku.
"Iya." Aku meringis karena rasa nyeri.
"Aku malah membuat calon mantu terluka. Minum teh lemon ini." Tante Joya menaruh cangkir di meja, beliau duduk di seberang sofa. "Rayn terlihat cinta banget sama kamu, Raline."
Cinta dari mana? Perhatiannya mungkin hanya sekadar akting.
"Ya, jelas dong, Ma. Aku sangat mencintai Lin sejak pandangan pertama," sahut Rayn, merangkul bahuku. "Aku antar pulang sekarang."
"Tunggu." Tante Joya berjalan ke dapur, dia kembali dengan membawa paper bag. "Pie untuk keluargamu."
"Terima kasih, Tan." Aku menerima paper bag dari Tante Joya. "Aku pamit pulang dulu."
Aku berjalan di belakang Rayn. Dia membukakan pintu mobil. Aku menyandarkan tubuh di kursi mobil dan memasang sabuk pengaman.
Rayn tidak bicara, dia fokus menyetir. Dia menoleh ke arahku, kedua alisnya terangkat. "Ada apa?"
"Enggak ada apa-apa."
"Lalu, kenapa memandangiku?"
"Tadi aku melihat toko baju. Jadi, jangan ge-er," kilahku.
"Baiklah, aku percaya," sahut Rayn. "Aku akan melamarmu dua hari lagi."
Aku tidak menyahut. Dua hari lagi. Di sisi lain aku ingin membatalkan rencana konyol dengan Rayn, tetapi di satu sisi lainnya, aku ingin bersama lelaki yang sekarang duduk di balik kemudi.
Rayn tidak mampir ke rumah, dia langsung balik. Aku berjalan santai melintasi halaman rumah.
"Sudah pulang?" tanya Mbak Roro saat aku masuk rumah, dia sedang merajut.
"Ada pie dari Tante Joya." Aku meletakkan paper bag di meja. "Dua hari lagi Rayn akan datang bersama orang tuanya."
"Untuk?"
"Melamar adikmu ini, Mbak Ro." Aku menatap Mbak Roro jengkel.
"Cepat sekali."
"Daripada kami berbuat dosa," sahutku, ngawur.
"Jangan ngambek begitu, Lin. Hari Sabtu, ya? Jam berapa, Lin?" Mbak Roro meletakkan rajutannya di pangkuannya.
"Nanti aku tanyakan pada Rayn." Aku berlalu dari ruang keluarga, menuju paviliun belakang.
Bunyi ponsel membuatku berhenti melangkah tepat di undakan paviliun. Ada pesan masuk dari Rayn.
[Sabtu sore. Jam empat. Aku akan datang dengan Mama Papa.,]
[Oke,] balasku.
[Satu lagi. Besok malam kakek dan nenekku merayakan hari jadi. Aku akan menjemputmu jam lima sore.]
Aku kembali membalas, [Oke.]
[Oke, Sayang, sampai jumpa besok.] Balasan dari Rayn membuatku tersenyum.
***
Ella dan aku duduk berhadapan. Dia sedang melahap bekal siangnya. Aku meletakkan satu cangkir milik Rayn ke dalam kardus. Toko sepi, pelanggan terakhir baru saja pergi setelah membeli satu set cangkir teh. Jadwal kursus pun kosong.
Aku mendongak saat dua orang perempuan masuk ke toko. Aku mendesah, apa yang mereka inginkan?
Ella yang sedang mengunyah, matanya membulat. Dia menyikut lenganku. Dengan terpaksa aku berdiri dan tersenyum. Senyum yang sangat-sangat dipaksakan.
"Selamat siang," sapaku.
"Aku ingin membeli hadiah untuk Ayah tunanganku. Dia suka sekali minum kopi," ucap Arabel, tubuh jangkungnya menunduk, mengamati teko.
Shanum hanya tersenyum tipis. Matanya menyapu seluruh toko. Mantan pacar Rayn mendekat ke arah meja, dia mengambil cangkir milik Rayn yang belum sempat aku masukkan ke kardus khusus.
"Itu milik Rayn," cetus Ella, "tunangan Raline."
Bibir Shanum lagi-lagi melengkung senyum. "Iya, aku tahu dari lukisan wajah di cangkir."
"Kamu bisa pesan cangkir dengan wajah suamimu," tambah Ella seraya merapikan wadah makanannya.
"Enggak ada yang menarik, keramiknya monoton, dari segi warna maupun desain," kata Arabel.
Aku memberi tanda dengan meletakkan dua jariku di bibir, supaya Ella tidak terprovokasi. Gadis itu hampir menyemburkan lava panas.
"Terima kasih sudah mampir." Aku mengulas senyum terbaik untuk perempuan yang telah merebut kekasihku. Rasanya tangan ini ingin membungkam mulutnya.
Arabel dan Shanum keluar toko. Mereka datang hanya ingin merusak hatiku.
"Apa mereka ada masalah denganmu?" tanya Ella.
Aku mengedikkan bahu. "Entahlah, El."
Sedetik kemudian aku ingat kakek nenek Rayn merayakan hari jadi. Lalu aku memilih dua cangkir dan teko berwarna ungu muda. Menaruhnya di dalam kotak kado hitam dengan pita berwarna emas.
"Hmmm, untuk siapa?"
"Kado untuk kakek neneknya Rayn. Anniversary. Entah yang ke berapa, aku enggak tahu," jawabku. "Rayn mengajakku, nanti sore acaranya."
"Wajahmu bersinar kayak meteor waktu menyebutkan nama Rayn," sindir Ella. "Aku tebak hatimu diliputi perasaan cinta untuk sang bintang."
"Wajahmu bersinar kayak lampu jalanan saat jatuh cinta pada Fardi," balasku sengit.
Ella memberengut. Dia bilang, "Fardi sedang sibuk dengan pembukaan bengkel motor barunya. Malmingku kelabu."
Ponsel di saku celemek berdering, nama Raynar terlihat di layar ponsel. Aku menggeser tombol hijau.
"Ya, hallo, Rayn?"
"Apa kau punya baju warna ...." Suara Rayn tenggelam karena suara motor yang meraung-raung.
Sial. "Heh?"
"Punya baju warna biru langit?" ulangnya.
"Sepertinya aku enggak punya baju warna biru langit. Emang ada apa?"
"Dress code pakaian untuk pesta anniv kakek nenekku."
"Oh, akan usahakan."
"Oke. Bye."
Kenapa mesti pakai aturan berbusana, sih? Aku mengembuskan napas kasar.
"Pulang sana, biar aku yang jaga toko. Cari baju langit. Eh, biru langit." Ella mengambilkan tasku dari lemari tempat penyimpanan. "Sekarang sudah jam satu siang, buat dirimu secantik mungkin."
Aku kembali menarik dan mengembuskan napas. Setelah melepas celemek, aku meraih tasku dari tangan Ella.
"Terima kasih, El."
"Ada imbalannya, Lin."
"Ternyata kamu enggak ikhlas," gerutuku. "Minta imbalan apa?"
"Aku pikirkan dulu," sahut Ella, tersenyum ringan. "Dah, sana pulang."
Sambil menenteng paper bag di tangan kiri dan memeluk kardus berukuran kecil berisi cangkir di tangan kanan--aku berderap keluar toko. Masuk mobil, lalu melaju dengan kecepatan sedang.
Kemarin bertemu kedua orang tua Rayn, hari ini aku akan bertemu dengan keluarga besarnya. Mungkin orang-orang yang sama waktu di pesta ultah Paman Hariz. Aku harus menyiapkan mental. Setelah putus dari Denish, tidak butuh waktu lama, aku sekarang adalah pacar Rayn. Suara sumbang pasti akan terdengar.
Lalu, kenapa aku harus panik? Aku hanya pacar palsu. Tidak ada rasa. Tidak boleh.
Sampai di rumah aku langsung membuka lemari. Adanya kaus biru navy dan tua. Aku termangu putus asa di depan lemari. Seandainya pergi ke toko baju, juga butuh waktu. Jalanan yang padat.
"Seharusnya tadi aku mampir ke toko baju. Oh, mungkin aku enggak usah datang," gumamku sembari rebah di atas tempat tidur, mengambil ponsel di tas.
Rayn, aku enggak bisa datang ke perayaan hari jadi nenek kakekmu.
Pesanku hanya dibaca. Tidak dibalas oleh Rayn. Mungkin dia sedang sibuk. Aku memiringkan tubuh, rasa kantuk mulai menghantui. Aku pun mulai memejamkan mata. Bodoh amat dengan si biru langit.
***
Ketukan pada jendela, membuatku terbangun. Aku menggeliat malas. Memeluk bantal dan mengabaikan ketukan yang beralih pada pintu. Itu pasti Mbak Roro.
"Lin!" Suara Rayn memanggil.
Aku membuka mata, dengan langkah malas aku membuka pintu. "Hei."
Rayn menerobos masuk begitu saja. Dia sudah rapi dengan kemeja biru langit dan celana navy. Rambutnya yang biasa berantakan, rapi jali.
"Eh, ngapain masuk!?" Tentu saja protesku sudah terlambat, Rayn berdiri di tengah ruangan. Sebelum dia berpaling ke kanan, aku harus segera mencapai kursi dekat jendela. Sayang sekali, aku terlambat. Dia sudah melihat 'dalemanku' yang tersampir di kursi.
Dia mengambil bra warna hitam di kursi. "Ini ukuran berapa?" tanyanya jahil.
"Ssshhhhhh, rahasia." Aku merampas bra dari tangan Rayn, menyelipkan ke laci. Mukaku mungkin merah sekali, karena terbakar rasa malu. Aku berbalik menghadap Rayn, bertanya, "Ada perlu apa datang?"
"Menjemputmu ...."
"Aku enggak punya baju warna biru langit, Rayn. Aku ...."
"Aku membelikan baju untukmu." Rayn mengeluarkan baju dari paper bag. "Buruan mandi."
Rayn bukannya keluar paviliun, malah duduk di kursi. Aku menyambar baju pemberian Rayn. Masuk dan mengunci pintu kamar mandi.
"Cepat sekali mandinya," seloroh Rayn ketika aku selesai mandi.
"Bisakah kau menunggu di luar, Rayn?" pintaku.
Dia bergeming. Malah sibuk dengan ponselnya. Aku segera merias diri dan mengucir rambut. Rayn membelikan baju model long sleeve shirtdress, dengan aksen tali di pinggang. Lalu, aku mengenakan sepatu wedges yang solnya terbuat dari anyaman jerami dan ada tali di bagian pergelangan kaki. Selesai.
"Mau duduk terus di situ?" tegurku pada Rayn.
"Iya. Kalau boleh sampai besok pagi," sahutnya mengedipkan mata.
"Oh, ya. Cangkirmu sudah jadi."
"Kamu simpan dulu."
"Baiklah."
Kami berdua keluar dari paviliun. Melintasi halaman sempit samping rumah. Aku hanya meninggalkan pesan untuk Mbak Roro kalau aku pergi dengan Rayn.
"Kamu mungkin sudah mengenal nenekku," ujar Rayn yang mulai menyalakan mesin mobil.
Aku mengerutkan dahi, berpikir sejenak. Neneknya Rayn berarti ibunya Denish. Kenapa baru terpikirkan sekarang? Aku kemudian menatap Rayn. "Tante Venya?"
Rayn menganggukk. "Tante Venya menikah dengan kakekku lima belas tahun yang lalu. Janda cantik dan duda tua saling jatuh cinta."
"Jadi, kamu dan Denish enggak ada hubungan darah?"
"Enggak ada, Lin. Mamaku bahkan enggak menyukai Tante Venya," ungkap Rayn. "Rumit, ya? Kami datang karena kakek."
"Berarti Diandra, adik Denish, anak hasil pernikahan Tante Venya dengan kakekmu?"
Rayn kembali mengangguk. Selama berhubungan dengan Denish aku hanya mengenal Tante Venya dan Diandra. Itu pun hanya dua kali bertemu. Sekarang aku baru menyadari, Denish memang tidak serius menjalin hubungan denganku.
Mobil berhenti di rumah dengan cat abu-abu. Rumah besar dan cukup mewah dengan desain Jawa modern. Kami berdua turun dari mobil dan langsung disambut Tante Joya.
"Aku enggak ngerti dengan pikiran Venya dan Denish, mengapa ada Shanum di antara tamu undangan? Apakah dia ingin mengujimu?" cerocos Tante Joya. "Atau mengujiku?"
Rayn menepuk punggung mamanya. "Mama enggak perlu khawatir, aku enggak akan terpengaruh dengan kehadiran Shanum. Papa mana?"
"Tentu saja dia berbaur dengan tamu yang lain," jawab Tante Joya, beliau terlihat tidak nyaman. Karena Shanum. Mungkin.
Aku pun tidak nyaman, kado yang aku siapkan sengaja tidak aku bawa. Rayn memperkenalkan aku pada kakeknya. Reaksi Tante Venya di luar dugaan, dia tenang. Aku pikir dia akan berkata tajam padaku.
"Silakan nikmati pestanya. Kami telah berhasil melewati lima belas tahun pernikahan," ucapnya ramah.
Ya, ya, aku tahu Tante Venya pura-pura ramah, karena terakhir kali bertemu, sikapnya tidak bersahabat padaku.
"Umur kakekku 78 tahun, nenekku 57 tahun. Aku memberitahumu sebelum kamu bertanya," bisik Rayn.
Hari sudah gelap saat aku menikmati sepiring stik. Aku bisa melihat Shanum dan Bastian di meja lain. Rayn beberapa kali terlihat mencuri pandang ke arah Shanum. Gadis berkulit putih itu mengenakan gaun cocktail kombinasi warna biru dan hitam.
"Mengapa dulu kau enggak menikahinya?" Aku bertanya.
Rayn berpaling, menatapku heran.
"Shanum dan kamu, kalian berdua mengapa enggak mempertahankan hubungan kalian?"
"Mamaku ...." desah Rayn. "Shanum dan mamaku enggak saling menyukai."
"Oh."
"Aku ke toilet dulu," pamit Rayn, beranjak dari kursi. Dia menghilang di antara kerumunan orang di dekat kolam renang.
Aku bersandar pada punggung kursi, Tante Joya dan Paman Hariz sudah pulang. Merasa kesepian di dalam keramaian. Aku memilih menyibukkan diri dengan ponsel. Memeriksa pesan masuk.
Lima belas menit Rayn belum kembali, aku mengedarkan pandangan, mencari sosoknya. Aku memutuskan mencari Rayn. Sudut mataku melihat rok hitam lebar yang menyelinap ke taman.
Aku putuskan untuk mengikuti Shanum. Dan, aku menemukan gadis itu sedang bersandar pada dinding. Rayn meletakkan kedua tangannya di dinding, mengukung tubuh Shanum. Entah apa yang mereka bicarakan.
"Hei, Lin. Sedang apa di tempat gelap?'
Tubuh ini berbalik, mendapati Denish berdiri di belakangku. "Aku sedang melihat-lihat rumah orang tuamu. Selama aku jadi pacarmu aku belum pernah ke sini," sahutku.
"Kau cantik sekali malam ini." Jemari tangan Denish menyentuh pipiku.
Tanganku mendorong pelan tangan Denish.
"Jangan sentuh calon istriku!" Suara Rayn lantang terdengar. Dia langsung melingkarkan tangannya di pinggangku. "Ayo, kita pulang, Lin."
"Kamu yakin Raline mencintaimu?" sindir Denish.
Rayn mengabaikan pertanyaan Denish. Kami berdua meninggalkannya.
"Kenapa kamu dekat-dekat dengan Om Denish? Kenapa enggak menghindar waktu dia menyentuh pipimu?" tanya Rayn sambil membuka pintu mobil.
Aku tidak menyahut. Duduk di samping kemudi.
"Lin?"
"Lalu, apa yang kau lakukan bersama Shanum tadi?" balasku. "Wajah kalian juga sangat dekat. Kamu meninggalkan aku selama lima belas menit hanya untuk mojok dengan Shanum."
"Itu enggak seperti yang kamu lihat," terang Rayn.
"Aku dan Denish juga enggak seperti yang kamu lihat." Aku memalingkan muka, memandang ke luar jendela mobil yang mulai melaju.
Sepanjang perjalanan pulang kami diam. Aku marah. Entah untuk alasan apa aku marah pada Rayn.
"Selamat malam," ucapku saat mobil sampai di depan pagar rumah. Aku keluar mobil, berderap cepat setelah membuka pintu pagar.
Rayn mengekor di belakang sampai ke paviliun.
"Aku sudah sampai, pulanglah." Aku berhenti di ujung atas tangga beranda paviliun.
"Selamat malam, Lin," kata Rayn.
Aku pikir setelah mengucapkan selamat malam dia akan berbalik dan pergi. Rayn malah menaiki satu anak tangga.
"Apa kau marah?" tanyanya.
"Heh, apa? Aku marah?" Aku mengerutkan kedua alisku.
"Wajahmu seperti kartun Angry Bird selama perjalanan pulang." Rayn naik satu anak tangga lagi, jarak kami menjadi dekat. "Maafkan aku karena meninggalkanmu tadi di pesta," lanjutnya.
"Aku ... itu ... eh ...." Ini bukan kali pertama aku melihat wajah Rayn dalam jarak yang dekat. Demi Tuhan, apa yang terjadi dengan dadaku? Debarkah? Shit, apa-apaan ini?
Sekarang Rayn menunduk. Dia mendaratkan satu kecupan di pipi. Mataku melebar kaget.
"Selamat istirahat," bisiknya di telingaku, napas Rayn menjalar sampai ke tengkuk.
Aku berbalik, bergegas masuk ke dalam paviliun. Mengenyahkan perasaan aneh. Hubungan antara aku dan Rayn hanya sandiwara. Aku tidak boleh terbawa perasaan oleh sikap Rayn.

Comentário do Livro (89)

  • avatar
    AgustinaRatna Sari

    raline n Raynard.. ah ceritamu bikin aku selalu merasa awet muda mba Stef 💝💞💖💞💝💞💝💞💝💞💖 n gw bingung sm yg kasih bintang 1. tu orang g punya hati banget. udh baca gratis msh aj g bs hargain karya orang.

    25/03/2022

      1
  • avatar
    SolokGitaumi

    sangat bagus

    18d

      0
  • avatar
    md nooraznan

    best novel

    09/03

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes