logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 5 Rancu

Aku keluar dari mobil dengan anggun, ala-ala selebritis dengan dagu sedikit terangkat. Mengulas senyum pada mereka yang langsung mendekat, mengerubungi bagai melihat gula.
"Saya Raline Kusuma. Saat ini, saya dan Raynar berpacaran ...."
Demi burger di Bikini Bottom, kata-kata itu meluncur begitu saja. Tidak bisa ditarik. Tidak bisa diralat. Suara-suara pertanyaan berdengung. Sejak kapan pacaran? Bagaimana rasanya punya pacar super star? Usia kamu lebih tua, ya?
"Saya tidak bisa menjawab pertanyaan lagi. Maaf," ucapku, menerobos kerumunan.
"Apa akan ada konpers?"
"Iya, pastinya." Aku tersenyum garing.
Oh, Tuhan, secara tidak langsung aku menyetujui ide menikah dengan Raynar. Gara-gara emosi dengan mantan calon ibu mertua. Dia pasti terkejut, aku pacaran dengan Rayn
Rayn pasti tertawa penuh kemenangan. Belum sampai batas waktu yang dia berikan, aku sudah menjawabnya.
Benar saja. Wartawan hiburan pergi satu per satu.
Ella menepuk bahuku. "Kapan jadiannya?"
"Anggap saja waktu di kedai kopi, Rayn menyatakan cinta." Aku membalik tanda closed menjadi open.
"Aku nggak habis pikir kamu berbohong pada wartawan."
"Itu, kan, idemu," dalihku.
"Canda, Lin. Cuma bercanda yang tadi." Ella mendengkus. "Lin, sebenarnya kamu ada hubungan apa dengan Rayn? Kamu menyembunyikan sesuatu dariku?"
"Nggak ada yang aku sembunyikan, kok," sahutku berbohong. "Menikmati ketenaran sementara karena jadi pacar penyanyi terkenal."
Ella memutar kedua bola matanya. Dia beringsut ke rak. Mengecek keramik yang terpajang.
"Kita butuh satu karyawan lagi, Lin. Untuk menangani pesanan online," ucap Ella.
"Akan aku pertimbangankan."
Pintu galeri terbuka lebar. Dua perempuan muda masuk, dikuti pengunjung lain. Heh, kalau aku hitung ada sekitar dua puluh orang. Berjenis kelamin perempuan semua. Mereka berbisik, mereka melihat ke arahku, lalu--sepertinya berpura-pura melihat isi galeri.
Satu pengunjung yang aku tebak usia dua puluhan, dengan rok mini dan kaus merah muda, meletakkan teko, dia bertanya, "Bisa pakai kartu debit?"
"Bisa."
"Anda yang punya galeri?" Dia memberikan kartu debit.
"Iya."
"Benar pacarnya Raynar?"
Aku mengulas senyum semanis mungkin. "Iya," jawabku seraya memasukkan teko ke dalam kardus lalu ditaruh di paper bag. "Terima kasih sudah berkunjung."
Si perempuan memandangiku lekat. "Entah apa yang menarik dari Anda. Seorang Raynar Arthur yang ganteng dan terkenal bisa menyukainya perempuan seperti Anda. Sepertinya mustahil."
"Beda jauh dengan Shanum." Perempuan yang berdiri dibelakangnya menimpali.
"Jika kalian hanya ingin menghina saya, silakan keluar." Tanganku menunjuk pintu.
Aku bersandar pada punggung kursi. Memijat pelipis. Keputusan yang bodoh. Sungguh aku ingin menarik ucapanku di depan wartawan. Tetapi, terlambat.
"Oughhh, stupid," rutukku.
***
Aku memarkir mobil di garasi. Hari yang sangat-sangat mengenaskan. Pengunjung membludak hanya karena ingin melihatku. Ada yang beli, ada yang tidak.
Turun dari mobil. Melintasi halaman samping. Mbak Roro memanggilku, kepalanya melongok dari jendela. Oh, pasti masalah Rayn.
Sebenarnya ingin langsung rebah di atas tempat tidur, sambil ngemil keripik, dan nonton film. Terpaksa kaki berputar, masuk melalui pintu dapur.
"Astaga." Aku menutup mulut dengan tangan. Rayn duduk di sebelah Mas Koes. Bukannya dia ada jadwal konser di kota-kota besar Jawa, dimulai dari Bandung?
"Rayn ke sini, menyampaikan keinginannya untuk mempersunting dirimu sebagai istri," terang Mbak Roro.
"Kenapa tadi pagi kamu bilang nggak ada hubungan dengan Rayn?" tanya Mas Koes.
Tuh, kan, jadi runyam. Aku menggaruk pipi. Sementara Rayn cuma senyum-senyum tidak jelas. "Tadi pagi aku belum siap mengatakannya."
"Minggu depan saya akan melamar Tante Raline secara resmi. Dengan kedua orang tua," kata Rayn.
"Tante?" Mbak Roro heran, kerut di dahinya berlipat. "Oh, kamu belum terbiasa, ya? Panggil saja Lin. Biar mesra dan mantap."
Ya, ampun ... apa yang dimaksud dengan mantap?
"Boleh saya bicara berdua dengan ... Lin?" Rayn berdiri.
"Silakan, kalian berdua pasti kangen," goda Mas Koes.
Aku mengajak Rayn bicara di beranda belakang. Langit sudah gelap. Embusan angin malam terasa dingin di kulit. Mengapa jadi canggung begini?
"Mengenai ucapanku pada wartawan, itu ...."
"Itu adalah jawaban nggak langsung bahwa Tante menyetujui pernikahan kita." Rayn tertawa senang.
"Kamu apa nggak capek bolak-balik?"
"Nggak capek. Demi kamu, Lin."
Sial. Kenapa aku tersipu dengan ucapan Rayn. Aku tahu itu gombal semata. Dia pasti menggunakan jet pribadi untuk terbang.
"Lin. Lin. Aku akan terbiasa dengan nama Lin. Kekasihku." Rayn mengedipkan matanya.
"Apa nggak sebaiknya kita sudahi kebohongan ini?" Aku mulai meragu. Menjadi pacar palsu masih bisa di tolerir. Namun, menjadi istri palsu, sepertinya aku tidak bisa.
"Jadi rugi aku capek-capek pulang. Ternyata kamu labil," sungut Rayn.
Entah dorongan apa, aku mencubit perut Rayn. Dia kemudian menangkap tanganku. Pandangan kami bertemu. Mataku kami beradu. Aku segera membuang muka, menarik tanganku.
"Tadi bilangnya nggak capek, ternyata kamu plin-plan." Aku mengerutkan hidung.
Tangan Rayn terjulur. Menyentuh pipiku. "Ada noda tanah liat."
Kembali mataku terjerumus dalam tatapan Rayn. Mata itu begitu teduh dan hangat.
"Sampai jumpa, Tante. Eh, Lin. Setelah aku kembali kita akan sering menghabiskan waktu bersama." Rayn berpamitan.
"Jangan mendadak muncul. Jangan sering-sering pakai jet pribadi. Jangan jadi orang orang yang menambah polusi," ucapku.
"Aktivis lingkungan?"
"Bukan. Hanya seorang perempuan yang mencintai Bumi." Aku mengikuti langkah Rayn masuk rumah.
Rayn menolak ajakan makan malam, karena harus segera balik ke Bandung. Dan dia menggunakan sopir. Sebenarnya dia lelah. Aku bisa melihatnya dari sorot matanya dan tadi dia sempat menguap.
Aku mengamati mobil sedan hitam yang membawa Rayn pergi.
"Apa kau bisa menjelaskan sesuatu?" Mbak Roro berdiri di sampingku. "Ini serba mendadak, kamu baru putus dengan Denish sekitar sepuluh harian. Aku ingat betul betapa hancur dirimu. Ya, aku memang bilang 'move on', tapi move on-nya cepet banget. Nggak masuk akal. Dan si Rayn adalah ponakan Denish," ucapnya panjang lebar.
"Apa kami terlihat sedang bermain-main?" Sebenarnya aku dan Rayn memang sedang berakting untuk alasan masing-masing. Aku ingin membalas sakit hatiku. Sementara Rayn ingin mendapatkan Shanum kembali--itu yang terlintas dibenak.
Akan tetapi, mungkin rencana-rencana kami bisa berubah. Banyak sekali kemungkinan.
"Saat emosi jangan pernah memutuskan sesuatu, Lin. Rayn itu artis terkenal, kehidupan kita beda dengan dia," seloroh Mbak Roro, dia kemudian membuang napas.
"Jangan khawatir gitu, Mbak. Semua aman terkendali."
"Buktikan dengan memberikan aku keponakan lucu. Oke?"
Mbak Roro masuk rumah, meninggalkan aku yang melongo. Keponakan? Maksudnya aku punya anak dengan Rayn? Aku dan Rayn punya anak? O my God ....
***
"Lin."
Lelaki itu berdiri tidak jauh dariku. Masih sama. Penampilan rapi dan menawan. Membuat hati berdenyut antara rasa cinta dan perih. Aku pikir, akan mudah menghadapi Denish. Nyatanya tidak.
Aku tetap duduk dan membersihkan cangkir dengan spon. Denish masuk begitu saja ke dalam bengkel. Dia paham seluk beluk ruangan di galeri.
"Apa benar kamu berpacaran dengan Rayn?"
Ya, tentu saja dia hanya ingin bertanya tentang hal itu.
"Bukan urusanmu aku berhubungan dengan siapa." Aku menghindari kontak mata dengan Denish. "Urusi saja Arabel. Bukankah kalian akan menikah dalam waktu dekat?"
"Kamu pacaran dengan ponakanku, Lin, yang usianya jauh lebih muda."
"Hanya beda enam tahun, bukan enam puluh tahun. Persiapkan dirimu, sebentar lagi kita akan sering bertemu. Aku akan menjadi bagian keluarga besarmu," ucapku.
"Lin ...."
"Pergilah."
"Sepertinya aku mulai merindukanmu ...."
Mendengar ucapan Denish, kegiatanku berhenti. Aku menatap Denish. "Lucu dan basi."
"Aku terlambat menyadarinya," ungkap Denish. "Aku ingin kembali, tapi nggak bisa."
Setelah tidur dengan perempuan lain, dia baru sadar? Sadar seperti apa?
"Siapa yang ingin kembali padamu? Aku sudah bersama Rayn. Lupakan yang terjadi di antara kita," tukasku. "Nggak ada cinta yang tersisa. Cukup. Pergilah."
Denish berjalan keluar. Kedatangannya merusak tatanan hatiku yang sudah mulai rapi. Dia melemahkan otakku. Aku menghirup udara untuk menetralisir perasaan yang rancu.
"Sepertinya ada yang gundah gulana," celetuk Ella.
"Lain kali usir Denish dari galeri."
"Kamu bosnya, kamu yang berhak mengusir dia," sahut Ella. "Apa yang Denish katakan?"
"Nggak ada yang penting, El."
"Oke. Maafkan aku yang kepo."
Terngiang ucapan Denish tentang rindu. Aku mencoba tidak luluh. Sudah berakhir.

Comentário do Livro (89)

  • avatar
    AgustinaRatna Sari

    raline n Raynard.. ah ceritamu bikin aku selalu merasa awet muda mba Stef 💝💞💖💞💝💞💝💞💝💞💖 n gw bingung sm yg kasih bintang 1. tu orang g punya hati banget. udh baca gratis msh aj g bs hargain karya orang.

    25/03/2022

      1
  • avatar
    SolokGitaumi

    sangat bagus

    18d

      0
  • avatar
    md nooraznan

    best novel

    09/03

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes