logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 4 Umbrella

"Aku menikah denganmu?" Dahiku berkerut.
Rayn yang sedang memakai celemek, mengangguk mantap.
"Pernikahan itu untuk dua orang yang saling mencintai. Pernikahan itu bukan mainan, Rayn." Suaraku memekik.
"Nikah pura-pura, Tante," sahut Rayn.
"Sinting kamu." Aku memaki. Hilang sudah keinginan mengajar Rayn. "Biar Ella yang mengambil alih, idemu membuatku gi-la!"
Rayn mencegat langkahku, tubuh kami tidak berjarak. Terlalu dekat. Refleks, aku mundur satu langkah.
"Buktikan kalau Tante sudah move on. Buktikan kalau Tante tidak hancur," ucap Rayn mencoba meyakinkan. "Aku juga ingin memberi pelajaran bagi Shanum."
Ternyata Rayn juga punya alasan. "Cari saja perempuan lain," sungutku.
"Pikirkan lagi, Tante Raline yang manis, jangan keburu menjawab. Aku tunggu seminggu lagi. Setelah aku pulang ngamen. Kita bisa menjadi partner. Baiklah kita sudahi pembicaraan ini. Kita mulai dari mana?" Rayn duduk di depan meja putar. "Aku ingin membuat cangkir. Dua cangkir."
Aku mengdengkus kesal, membasahi tangan dengan air. "Peluk tanah liat dengan kedua telapak tangan ...."
"Kalau peluk Tante boleh nggak?" Rayn kembali jahil.
"Yang serius, Rayn!" Aku mendelik. Dia seorang artis terkenal, mungkin dia sering menggoda cewek-cewek. Pantas saja Shanum memilih lelaki lain. Aku jadi penasaran dengan sosok Shanum. Seperti apa wajah gadis itu.
Dua puluh menit berlalu, Rayn mendadak berdiri. Dia mengangkat kedua tangannya. "Aku nyerah. Njirr, susah banget bikin cangkir."
Aku tidak menggubris Rayn, menyelesaikan dua cangkir, lalu menaruhnya di meja. Menjelaskan pada Rayn, proses membuat cangkir belum selesai. Cangkir harus didiamkan selama 24 jam atau sampai agak keras. Setelah itu membuat pegangan cangkir, membakar, mewarnai.
"Aku ingin warna hitam dengan inisial R, satunya inisial R juga," ucap Rayn, membasuh tangannya di wastafel.
"Rayn dan Rayn? Aku pikir R dan S, rumah sakit." Aku tertawa.
"Tante bahagia banget," celetuk Rayn. "R, Rayn dan Raline."
"Apa?" Aku makin tergelak.
"Aku suka Tante tertawa seperti itu. Sangat cantik."
Aku langsung merapatkan bibir. Rayn memang perayu ulung.
"Oh, ya, aku juga ingin ada gambar wajahku di cangkir. Dan yang satu gambar wajah Tante. Oke? Aku sudah membayar jadi berhak menentukan motif cangkir," kata Rayn merapikan kemeja flanelnya.
"Tambah lagi biayanya, karena dua cangkir." Aku berucap ketus.
"Apa, sih, yang nggak buat Tante." Rayn mengedipkan satu matanya.
Sikap Rayn yang suka menggoda, membuatku yakin banyak cewek baper dan akhirnya patah hati.
"Kapan Tante akan mentraktir kopi?" tagih Rayn. "Bagaimana kalau sekarang, diseberang jalan ada kedai kopi?"
Aku menarik napas dalam. "Baiklah, setelah aku membereskan dan merapikan kekacauan yang kautimbulkan."
Aku menyimpan semua peralatan membuat keramik pada tempatnya. Membilas tangan di wastafel. Memperhatikan wajah di cermin. Sepertinya ada kerut tipis pada kening.
*
"Kalian mau ke mana?" tanya Ella saat aku mengambil payung di belakang meja kasir.
"Mau traktir Rayn," jawabku, "karena dia sudah membayar biaya perbaikan si mobil tua."
"Aku nggak diajak?" Jari telunjuk Ella menunjuk mukanya sendiri.
"Maaf, nggak bisa. Lain kali waktu saja, ya, Tante Ella." Rayn menangkupkan kedua tangannya.
Ella memberengut. Dia pura-pura pingsan dengan lunglai di atas kursi. Aku menjanjikan membelikan kopi dan roti bakar untuknya.
Derai hujan membuat aku dan Rayn di bawah satu payung sama. Taangan kanannya memegang payung, tangan kirinya berada di pinggangku.
"Tolong, kondisikan tanganmu." Mataku sedikit melotot.
Rayn tidak menggubris. Dia sepertinya pura-pura tidak mendengar.
Kedai kopi sepi. Hanya ada tiga orang pelanggan. Kami berdua duduk didekat jendela. Aku mengelap lengan yang kena tetesan hujan. Seorang pelayan perempuan tersenyum ramah.
"Satu macchiato. Tante, mau pesen apa?"
"Aku mocaccino saja."
"Baik." Si pelayan tidak segera beranjak, dia mengulurkan kertas. "Boleh minta. tanda tanda dan foto?" Wajahnya terlihat bersemu malu.
Rayn dengan ramah menanggapi permintaan si pelayan. Dia berdiri disampingnya. Dan aku jadi tukang foto bagi mereka berdua. Ada satu hal yang membuatku terkesan, kedua tangan Rayn berada di belakang. Dia tidak merangkul pundak pelayan--seperti yang sering kulihat para pesohor pria berlaku mesra pada penggemar.
Hujan benar-benar betah mengguyur. Terapi, aku menyukai tiap denting air yang turun. Aku menghirup perlahan aroma mocaccino.
Dua orang lelaki masuk kedai. Rayn yang duduk tenang tampak marah. Dia menghampiri dua lelaki yang baru saja duduk di pojok kedai. Rayn memaki dan menggebrak meja. Aku pikir akan ada perkelahian, ternyata tidak, Rayn kembali ke meja.
"Siapa mereka?" tanyaku.
"Pencari berita yang selalu membuntuti." Rayn meraih cangkir kopi. "Sisi lain yang nggak kusukai menjadi penyanyi yang terkenal." Dia kemudian menyeruput kopinya.
Aku memperhatikan wajahnya yang terlihat tidak nyaman. Sejurus kemudian topi bisbolnya berpindah ke kepalaku.
"Tante, maaf, jika besok ada berita tentang kita berdua," ujar Rayn.
"Santai saja. Topinya?"
"Pake aja. Biar wajah Tante nggak jelas terlihat."
Aku ingin menolak, tetapi tidak tega. Kasihan Rayn. Sepertinya dia tertekan, dia tidak punya privasi. Yeah, resiko seorang bintang.
Sekarang jari Rayn menyentuh pipiku. "Ada noda kopi."
"Oh." Aku mengambil tisu.
"Aku harus segera pulang." Rayn berdiri dari duduknya. "Terima kasih, Tante, lain waktu gantian aku yang traktir kopi."
Aku pun ikut berdiri. Kami berdua keluar kedai. Jip milik Rayn terparkir tepat di depan galeri. Aku masuk ke dalam galeri setelah Rayn pergi. Meletakkan payung di sudut galeri.
"Kalian terlibat hubungan spesial, ya? Baru seminggu patah hati sudah move on, hebat. Kemajuan luar biasa, Lin," ujar Ella. "Ngomong-ngomong mana kopi dan roti bakarnya?"
Tanganku menepuk jidat. "Maaf, lupa."
"Topinya saja kamu pakai. Hemmm, aku mencium ada bau-bau rasa suka ...." ungkap Ella.
Tidak semudah membalikkan tangan. Rasa nyeriku masih terselip di dalam. Beserta rasa cinta dan benci.
"Ella, nggak mungkin aku jatuh cinta secepat itu. Aneh-aneh saja kamu," sungutku. "Apalagi dengan si penyanyi rocknroll macam Raynar. Umur dia juga lebih muda. Bukan tipeku."
"Ya, Tuhan, aku ingin Raline berjodoh dengan Raynar. AMIN."
"Ella!" hardikku.
"Amin kan, dong, Lin."
"Ogah."
***
Aku menggeliat. Kenapa malam cepat berlalu? Pukul tujuh pagi, bukannya segera bangun aku malah memeluk guling. Semalam aku bisa tidur nyenyak, tanpa bayangan Denish. Waktu akan menyembuhkan luka dan memproses rasa sakit menjadi kekuatan.
"Lin!" panggil Mbak Roro seraya menggedor pintu paviliun. "Raline!"
Tidak bisakah aku bermimpi lagi? Tidak bisakah pagi sedamai alam bebas? Tenang dan nyaman ....
"Lin!"
"Ya, sebentar! Sabar!" teriakku.
"Kamu masuk headline berita gosip." Mbak Roro memperlihatkan ponselnya.
"Berita apa?" Aku menggaruk rambut, menguap, dan berusaha membuka mata. "Ponselnya gelap ...."
Mbak Roro mecucu. Dia menekan tombol samping ponsel. "Raynar Arthur dan Pacar. Pacar Baru Raynar Arthur. Siapa Perempuan yang Bersama Raynar Arthur?"
"Apa itu?"
Jari telunjuk Mbak Roro mendorong jidatku. "Baca sendiri, nih."
Aku membaca berita dan terkejut. Kok, bisa mereka berasumsi aku pacar Rayn? Foto-foto kami juga terlihat jelas. Foto di bawah payung bersama, foto di dalam kedai, dan foto saat Rayn memakaikan topi.
"Apa-apaan ini?"
"Kita bicarakan sambil sarapan. Ayo." Mbak Roro menarik lenganku begitu saja.
Sepertinya aku akan disidang. Di ruang makan Mas Koestopo--suaminya Mbak Roro sudah bangun. Jovan menatapku aneh.
"Jadi, kemarin kalian bertemu?" tanya Mas Koes.
"Tante kencan dengan temenku?" Jovan ikut bertanya.
"Bukan kencan, hanya minum kopi bersama. Kenapa jadi berita aku pacarnya Rayn?" Aku duduk di kursi meja makan, meraih cangkir kopi.
Mbak Roro menaruh sepiring roti panggang sambil berkata. "Ya, jelas mereka berpikiran seperti itu. Tangannya Rayn menggamit pinggangmu. Kamu baru putus dengan Denish, terus pacaran sama Rayn yang notabene ponakan Denish. Apa kata dunia, Esmeraldahhh ...?"
"Kalo sudah jodoh, mau gimana lagi," timpal Mas Koes. "Aku, sih, nggak masalah jika Raline menikah dengan Rayn."
Kopi menyembur dari mulutku mendengar perkataan Mas Koes. Apa dia tahu tentang ajakan Rayn menikah pura-pura?
"Secepat itu kamu move on?" Mbak Roro memandangiku.
"Kan, Mbak Roro yang nyuruh aku cepet move on." Aku nyengir. "Tetapi, saat ini aku dan Rayn nggak ada hubungan apa pun," tandasku, mengambil roti panggang.
"Kalau nikah dengan Rayn, aku manggil Om Rayn, dong? Ya, ampun ...." ujar Jovan.
Aku memilih meninggalkan ruang makan, kembali ke paviliun. Bersiap berangkat ke galeri. Satu pesan masuk dari Rayn.
[Kalau keluar jangan lupa pakai topi dan kacamata.] Emoji tersenyum manis.
"Ck. Nggak penting." Aku melempar ponsel ke atas tempat tidur.
***
Udara pagi, cuaca pagi, langit pagi, menggambarkan beberapa nada. Dingin lembab, dan muram. Aku menyetir si mobil tua melintasi gedung-gedung kota. Hari ini, kesedihanku tidak menyapa. Walaupun bara amarah masih ada.
Aku berhenti di depan galeri. Heh, kok, banyak orang yang berkerumun? Kebanyakan dari mereka lelaki dan menyandang kamera. Aduh, wartawan rupanya. Aku mengambil topi di dasbor. Menarik napas panjang sebelum turun dari mobil.
"Ada hubungan apa dengan Raynar Arthur?"
"Sudah berapa lama?"
"Bukannya Anda pacar Denish Arthur?"
Heh, mereka tahu tentang Denish. Mereka mengelilingi aku yang mencoba masuk ke galeri.
"Anda pengganti Shanum?"
"Sepertinya Raynar sangat mencintai Anda."
Demi Tuhan, pertanyaan macam apa itu? Aku mendorong pintu. Menarik napas lagi.
"Selamat, Anda jadi pacar sang bintang." Ella bersedekap. "Kenapa bukan aku yang digosipkan?"
Aku memutar dua bola mata. Memang enak digosipkan? Para wartawan mengintai dari luar. Aku urung membalik papan open di pintu.
"Sekarang bagaimana caranya mengusir mereka?" Aku mondar-mandir di dalam galeri.
"Gampang, Lin. Keluar dan jawab pertanyaan mereka," saran Ella. "Bilang, aku memang pacarnya Raynar Arthur."
"Ide somplak." Aku mendengkus.
"Dahlah, kalau gitu. Aku mau menyelesaikan mangkuk pesanan Madam Cokro." Ella melipir ke belakang, tapi kepalanya menyembul dari balik pintu. "Kelasnya kita pindah ke bawah gimana, Lin? Biar nggak naik turun gitu. Biar dekat tungku pembakaran," usulnya.
"Sempit, El. Nantilah aku pikirkan tentang itu ...." sahutku sembari memasukkan teko dan empat cangkir ke dalam kardus. "Oh, ya, aku mau nganter pesanan bos gerai minuman boba."
"Lho, nggak diambil sendiri?"
"Aku sedang ingin keluyuran," jawabku. "Nggak usah dibuka galerinya."
Aku memakai topi dan kacamata hitam. Kembali menerobos wartawan. Kenapa mereka tidak mengejar Rayn? Aku seperti selebritis saja.
Dewinta mempunyai gerai minuman boba di mall. Teman semasa SMA itu sukses merintis usahanya. Dia tampak duduk di salah kursi saat aku masuk gerai.
Dia menyapaku ramah. Aku meletakkan kardus berisi teko dan cangkir.
"Aku harus segera balik, Dew."
"Ngobrol dululah."
"Aku baru ingat harus mengerjakan dua cangkir ...." Cangkir milik Raynar. Aku hampir lupa. "Lain waktu saja."
"Janji, lho."
"Sip." Aku berjalan keluar gerai. Kepala menunduk mencari kacamata hitam di tas.
Bruk.
Aku menabrak seseorang. "Maaf," ucapku tanpa mengalihkan pandangan dari tas.
"Dasar Raline," desis seorang perempuan.
"Apa?" Aku menoleh. Ternyata Tabte Venya, ibunya Denish. "Oh, maaf, Tante."
"Apa kabarmu, Raline?" Tante Venya menatap diriku dari kaki sampai kepala. "Masih sibuk dengan tanah liat?"
"Kabar baik, Tante. Tentu saja saya sibuk dengan tanah liat, karena itu pekerjaan saya," sahutku, berusaha tersenyum.
"Sebenarnya kamu itu cantik, tetapi cara berpakaianmu kurang fashionable. Mungkin itu yang membuat Denish selingkuh dengan Arabel."
Dengan susah payah, aku menarik kedua ujung bibir.
"Rencananya mereka menikah bulan depan jika tidak ada aral melintang. Kamu datang, ya?"
Apa? Tante Venya perlu disentil ginjalnya.
"Jangan lupa bawa pasangan." Perempuan itu menepuk pundakku sebelum berlalu.
Pasangan? Baiklah. Aku akan menggandeng lelaki di pernikahan mantan. Oke.
***
Baiklah. Aku telah membuat keputusan. Aku melepas topi dan kacamata. Menggerai rambut, memulas bibir supaya wajah tidak pucat. Aku akan memberi jawaban pada wartawan yang masih nongkrong di depan galeri.

Comentário do Livro (89)

  • avatar
    AgustinaRatna Sari

    raline n Raynard.. ah ceritamu bikin aku selalu merasa awet muda mba Stef 💝💞💖💞💝💞💝💞💝💞💖 n gw bingung sm yg kasih bintang 1. tu orang g punya hati banget. udh baca gratis msh aj g bs hargain karya orang.

    25/03/2022

      1
  • avatar
    SolokGitaumi

    sangat bagus

    18d

      0
  • avatar
    md nooraznan

    best novel

    09/03

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes