logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 2 Salah Paham, Lagi?

“Anya!! Bangun!!”
Teriakan dari bawah dapur terdengar menggelegar di seluruh penjuru ruangan. Siapa sangka bahwa ternyata suara Arya bisa sebombastis itu.
Seorang gadis masih menggeliat dibalik selimut merah mudanya. Tentu saja, ia masih tidak berniat untuk bangkit dari singgasananya yang hampir semua didominasi oleh warna merah muda.
“Lo telat ke sekolah, Nya!”
Suara menggelegar tersebut masih berkoar-koar tidak ada tanda-tanda hendak menghentikan suara yang berisik dan tentu saja mengganggu itu.
Beberapa menit sudah, kelopak mata Anya masih tetap pada posisinya menutup dengan rapat, tanpa adanya tanda-tanda akan membuka matanya.
“Gila anak ini, sudah jam berapa?” lelaki yang masih memakai celemek itu menaiki tangga menuju ke salah satu kamar yang berada tepat di pojokan lorong. Pintu kamar yang dihiasi dengan berbagai macam tempelan boneka barbie.
“Hei, Anya! Lo bukan barbie yang bisa tidur seenaknya sampai siang!”
Gadis yang dipanggil Anya itu masih tetap pada pendiriannya, ia bahkan tidak bergerak sedikitpun. Malah menarik selimutnya keatas hingga menutupi wajahnya. Lelaki itu menggelengkan kepalanya, ia tidak habis pikir. Mengapa bisa ada seorang gadis yang sulit sekali dibangunkan.
Lelaki itu menarik selimut yang tentu saja juga bermotif barbie dengan kasar. Hingga wajah putih mulus Anya terlihat. Tidak hanya sampai disana, lelaki itu juga membuka lebar-lebar gorden jendela Anya yang juga berwarna merah muda.
Cahaya matahari memasuki kamar Anya dan tentu saja yang paling pertama terdampak cahaya matahari adalah seonggok gadis yang masih berbaring di atas tempat tidur.
“5 menit, plis.” Tangan Anya mengatup dan memohon dengan matanya yang masih memejam erat. Ia menarik kembali selimut barbienya hingga menutupi wajahnya.
Lelaki itu mendengus, ia menarik lagi selimut Anya. Kali ini Anya lebih pintar, ia telah menyadari bahwa hal ini akan terjadi. Tarik menarik selimutpun tidak bisa dihindari. Hingga kejadian yang menegangkanpun terjadi.
Bruk.
Anya sukses membuka matanya, ketika anak rambut poni lelaki itu mengenai hidungnya. Kini jarak pandang mereka begitu dekat. Anya masih terkejut dan membulatkan matanya. Wajah yang kini berada 3 sentimeter di depannya adalah wajah yang selama 16 tahun ini ia pandang. Ahh, tidak sebentar lagi 17 tahun.
Tapi, entah mengapa wajah lelaki yang sudah biasa ia pandang kali ini terlihat berbeda. Sinar matahari yang menyapu wajahnya memberi warna keemasan pada kulitnya yang terdapat bulu halus di sekitar atas bibirnya.
Kedua kelopak mata yang dihiasi bulu mata lentik, lengkap dengan kedua alis tebal yang bertaut menyatu menghiasi hidung mancungnya. Jangan lupakan rahangnya yang tampak kokoh.
“Ahhh.” Anya mendadak bangkit berdiri, hingga dahi mereka terbentur.
Lelaki itu memegang dahinya, “Nya, lo kenapa sih. Dahi Abang masih mau dipake.”
Anya menggeleng-gelengkan kepalanya, masih tidak habis pikir bagaimana bisa ia merincikan dengan sangat rinci siluet Abang lelakinya, Arya.
“Bang Alya! Keluar dari kamar Anya!” teriak Anya dengan keras sambil mendorong dada Arya. Hingga lelaki tadi yang rupanya Arya hampir saja terjungkal ke belakang, untung saja ia memegang kedua tangan Anya.
Namun, lagi-lagi mereka harus terjebak situasi canggung. Kini Anya berada begitu dekat dengan Arya. Arya tertegun, ia tidak menyadari ternyata adik kecilnya yang imut telah tumbuh sebesar ini.
Hidungnya yang mungil, dengan kedua alis yang tidak lebat dan mata mungil yang bundar. Tidak ada bulu mata lentik, hanya saja kedua pipi chubby-nya terlihat sangat menggemaskan. Namun, ada sisi yang membuat Arya tidak sanggup menatap Anya lebih lama lagi. Bibir ranum gadis itu yang berwarna merah muda.
“Tek.” Arya menghapus adegan canggung mereka dengan mengetuk kepala Anya. “Dasar kebo, bangun.”
Tak lupa Arya juga mendorong bahu Anya hingga menjauhi dirinya. Arya bangkit dan menepuk kedua tangannya disisi kira kanan tubuhnya.
“Bangun!” sekali lagi Arya menjitak dahi Anya.
Anya masih terbengong, kesadarannya semakin hilang. Matanya tidak berkedip sekalipun, hingga Arya berjalan menjauhinya beberapa langkah.
“Oiya, dan mohon panggil nama Abang lo dengan benar. A.R.Y.A, oke Nyak?”
Anya tersadar, “Hei, keluar dari kamar gue, Bang! Pakai baju lo!”
Dengan tatapan horor Anya melempar gulingnya, ke arah pintu. Reaksi Arya yang Anya lihat sekilas sebelum pintu tertutup adalah tertawa geli.
“Gila, Nya. Kenapa bisa-bisanya ternyata lo punya Abang yang ganteng terus seksi banget.”
Anya menatap kedua tangannya yang beberapa puluh detik lalu memegang dada Arya yang tentu saja berotot.
Anya mengggeleng-gelengkan kepalanya. “Anya! Lo udah gila, he’s your brother!”
Anya bangkit dari tidurnya, ia menatap jam dinding barbie yang tergantung di sisi pintu kamarnya, seketika ia segera meloncat dari tempat tidurnya.
“Bang, lo kok gak bilang kalau udah jam tujuh!”
Anya segera menarik selimutnya dan seragamnya yang telah tergantung rapi di sisi lemarinya. Ia segera beranjak menuju ke kamar mandi yang ada di pojok dalam kamarnya.
Arya yang mendengar teriakan adiknya dari samping pintu kamar tertawa.
“Kan gue udah bilang lo telat ke sekolah.”
Arya berjalan ke dapur kembali membuat sarapan yang tadinya sempat tertunda. Yah, ia kini memang tidak memakai atasan melainkan hanya celemek yang tergantung di lehernya saja.
Drap. Drap. Drap.
Anya dengan kecepatan cahaya menuruni tangga rumahnya yang selalu ia rutuki kenapa harus setinggi dan selebar rumah barbie sih.
“Bang, antar gue ke sekolah, gue dah telat!”
Arya yang telah memakai setelan kaus putih serta celana pendek hanya tertawa sambil sebelah tangannya memegang sarapan untuk Anya yang telah ia masukkan ke dalam kotak makan.
“Bang, buruan.” Anya berjalan cepat hingga hampir terjungkal menuju ke depan pintu rumah. Dengan santai Arya menggunakan kaki jenjangnya menyusul Anya.
Arya menekan kunci remote mobil dan masuk ke dalam mobil. Anya mengerucutkan bibirnya ketika telah masuk ke dalam mobil.
“Kok lo bisa tinggi sih, Bang?” Anya melancarkan protes pertamanya.
Arya tersenyum geli, ia menoleh ke samping dan benar saja. Anya masih belum memakai sabuk pengaman.
“Harus selalu dipasangin, kalau make sabuk pengaman, hum?” Arya mendekatkan tubuhnya sambil memasangkan sabuk pengaman pada Anya. Anya yang terkejut memundurkan tubuhnya hingga menempel dengan sempurna pada jok mobil.
“Bang, buruan duh.” Anya menepuk-nepuk pelan lengan atas Arya.
“Makanya kalau mau cepat pakai sabuk pengaman sendiri.” Arya mendumel sambil menghidupkan mobil.
Sret. Sret.
Arya menoleh menatap pada Anya yang juga menatap horor pada Arya.
“Nya, sorry to say kayaknya blacky berulah.” Arya mengatakannya dengan pelan.
Anya seketika lemas, sedetik kemudian ia kembali bersemangat dengan suaranya yang melengking. “Gue ada ujian matematika, Bang!”
“Naik taksi online.” Arya segera mengeluarkan ponselnya.
Anya malah membuka pintu dan hendak turun dari mobil, namun langkahnya terhenti ketika tubuhnya tertahan oleh sabuk pengaman.
“Ini alasannya gue malas pakai sabuk pengaman, Bang. Kalau keadaan darurat tidak bisa tertolong.” Anya mengucapkannya dengan kesal sambil menekan tombol push untuk melepas sabuk pengaman.
Anya berlari menuju ke depan rumah sambil membungkuk memberi hormat pada pak Parto yang tengah berdiri di depan pagar rumah. Membuka pagar untuk Arya.
Arya segera mengejar Anya, tidak lupa ia juga mengucap salam pada pak Parto. “Pagi, pak.”
Arya melihat Anya berjalan menuju ke halte bus yang berada tidak jauh dari rumah mereka.
“Apa yang mau Anya lakuin, dia belum pernah naik bus sendiri.” Arya segera mengejar Anya yang telah hendak naik ke dalam bus.
Hap.
Arya berhasil ikut masuk ke dalam bus, setelah acara berlari-lari ke arah halte.
“Nya!”
Anya berbalik dan sedetik kemudian ia tertawa, “Lo kok pakai beginian, Bang?”
Arya melihat pada dirinya yang ternyata hanya mengenakan celana pendek, kaus putih kebesaran dan sendal jepit, tidak lupa rambutnya yang acak-acakan.
“Ini gara-gara lo, Nya.” Arya mengetuk kepala Anya ia memberi Anya duduk di kursi dekat pojok bus yang masih tersisa. Sedangkan dirinya memegang tiang bus disebelah Anya.
“Gak sempat, Bang. Kalau nunggu taksi online lagi.” Anya tertawa, ia masih belum bisa menghilangkan kegeliannya karena melihat Arya menjadi bahan pusat komedi orang-orang yang berada dalam bus.
Arya mendecak, “Lo gak pernah naik bus, Nya. Gimana bisa lo nyampe sekolah, kalau ceritanya begini.”
Arya memasukkan salah satu tangannya ke dalam saku celananya. Memang Arya adalah abang yang baik, ia selalu tahu bahwa adiknya Anya adalah adik paling ceroboh yang ia punya.
“Hehe, maap Bang. Lagian kan sekarang ada Abang.”
Arya menoleh pada Anya yang tengah berakting wajah lucu dengan mata yang dibuat berbinar-binar.
“Gak usah sok-sokkan puppy eyes, Nya. Tadi juga dah ninggalin gue.” Arya menggerutu, Anya si ceroboh yang pelupa tentu saja. Bisa-bisanya ia juga menjadi bahan amnesia Anya.
“Ya maap, kan lupa Abang. Lagian Abang kan selalu bisa nemuin Anya.” Anya tertawa kecil sambil menoleh ke luar jendela.
Arya menunduk, mendadak ia sedih mendengar kalimat Anya. Ia membatin dalan hati ‘Nanti mungkin gak bakal lagi, Nya. Gue gak bakal bisa nemuin lo lagi.’
“Bang! Sekolah dah lewat. Ituuuu!!” Anya mendadak berdiri dengan heboh, kepalanya tanpa sengaja membentur dagu Arya.
“Nya... dasar.” Arya menahan kesakitan sambil memegang pergelangan tangan Anya berjalan pelan menuju ke pintu keluar bus.
“Busnya belum berhenti di halte, Nya. Gimana kita turun.” Arya menepuk puncak kepala Anya.
“Hehe.”
Anya hanya bisa menahan tawanya. Tiba di pintu keluar Anya menatap Arya sambil menengadahkan tangannya. Arya menggeleng ia mengeluarkan kartu e-moneynya.
Anya segera berlari keluar dari bus dan masuk ke dalam sekolah. Bahkan Arya belum sempat mengucapkan sepatah katapun pada Anya. Arya menggeleng, ia menatap punggung mungil Anya yang berlari masuk ke dalam lorong sekolah.
“Dasar.”
Arya berjalan pelan, kemudian duduk di bangku halte. Ia merogoh kantong celananya namun tidak menemukan benda pipih yang ia cari.
“Oh, no. Gue pulang naik bus lagi? Huft.”
Arya menyeberang menuju ke halte satunya lagi. Ia duduk disana sambil menunduk menghindari cahaya matahari yang mengganggu netranya.
Matanya menatap pada bungkusan bekal yang ia buat untuk Anya.
“Dasar, sarapannya ketinggalan.”
Arya kembali menyeberangi jalan, ia memasuki area pelataran halaman sekolah. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati sosok gadis mungil tengah berdiri sambil mengangkat satu kakinya lengkap dengan seragam putih abunya juga tas sekolah yang masih ia pegang.
Arya menatap pada arloji di pergelangan tangan kirinya. “Pantas saja, ini sudah lewat dari jam masuk.”
Arya menghela napas, kemudian kembali melanjutkan melangkah, “Seharusnya gue bangunin dia lebih cepat hari ini, lihat saja sekarang ia harus lebih menderita karena terlambat bangun.”
Arya berjalan pelan melingkari halaman sekolah bermaksud berjalan menuju ke arah Anya. Arya terhenti ketika melihat salah seorang lelaki juga ikut berdiri disana.
“Tumben anak teladan telat,” ejek lelaki yang berdiri di samping Anya.
“Diem lo, sat.”
Lelaki itu mendengus, “Nama gue Satria, lo bisa gak manggil gue Satria daripada Sat-Sat-Sat.” Lelaki itu protes ia melempar tas sekolahnya ke bawah.
“Iyah abis lo mirip bangsat.” Anya tanpa sengaja melontarkan kata itu tepat di samping Satria yang tentu saja mendengarnya dengan jelas.
“Jaga mulut lo deh, Nya. Nanti lo kena karma, jatuh hati sama gue.” Satria tertawa.
Arya dari jauh masih memperhatikan. Ia berhenti berjalan mendekati Anya, matanya memperhatikan lelaki yang berdiri di samping Anya. Dengan baju yang dibuka kancingnya memperlihatkan kaus dalaman basket yang ia pakai.
Arya menajamkan penglihatannya ia melihat angka 0 disana.
“Dasar, Satria si bangke.”
Angin kencang bertiup, Anya sontak menutup matanya dan menguceknya perlahan.
“Mata lo kenapa? Sini gue lihat.” Satria dengan perlahan menarik dagu Anya, mendekatkan wajahnya pada wajah Anya. Bibirnya bergerak untuk meniup mata Anya.
Bug.
Satu tinju melayang ke pipi Satria. Satria yang terkena tinju terhempas ke lapangan sekolah yang tandus. Sudut bibirnya robek.
Anya berusaha membuka matanya yang terkena debu. Saat ia membuka mata, ia telah melihat Satria yang tersungkur dengan posisi Arya duduk di atas perut Satria.
“Bang, lo ngapain!” Anya menjerit histeris sambil menarik tangan Arya. Berusaha menahan tangan Arya untuk tidak memukul Satria.
“Lo jangan kurang ajar sama adek gue!” ucap Arya keras sambil melayangkan tinju.
Arya tidak menghiraukan Anya, hingga Anya tersungkur ke belakang kepalanya mengenai batu kecil hingga berdarah.
“Hei hentikan, kalian apa-apaan!” suara menggelegar menghampiri mereka.
Tinju Arya tertahan di udara.
“Arya, kamu udah di-skorsing seminggu apa enggak cukup banyak?” ucap suara menggelegar yang ternyata merupakan guru matematika di kelas Anya.
Anya yang merasakan pusing di kepalanya, bangkit. Ia masih tidak menyadari kepalanya yang berdarah.
“Astaga, Anya pelipis kamu...berdarah.”
Arya yang mendengar hal itu sontak menoleh ke belakang dan bangkit berdiri menatap pada Anya yang oleng. Arya segera menahan tubuh Anya yang oleng.
“Anya!” Arya menepuk-nepuk pelan pipi Anya.
Secepat kilat Arya membopong Anya ke UKS yang berada lumayan jauh dari sana dengan gaya ala bridal style.
Berkat kekacauan itu, banyak murid yang keluar dari kelas menonton keributan yang dibuat oleh Arya dan Satria.
“Kamu juga ke UKS, setelah itu pergi ke ruang guru, panggil Arya juga,” perintah Guru matematika Anya pada Satria.
Satria menepuk-nepuk celananya dan berjalan ke UKS.

Comentário do Livro (21)

  • avatar
    Arlin Febrianti

    Kerenn

    26/06/2023

      0
  • avatar
    soleha huda

    Mantap bangat 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻

    05/06/2023

      0
  • avatar
    MegasariDesti

    keren

    20/05/2023

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes