logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Melukis Senja

Melukis Senja

Vivian Hong


Capítulo 1 Awal Mula

Bug. Bug.
Kepalan tangan kecil bocah berambut cepak itu terangkat di udara kemudian bersama dengan udara menghantam ke pipi bocah lainnya. Ia duduk di atas perut bocah tersebut.
“Jangan. Pernah. Ganggu. Anya!” bocah yang meninju dengan membabi buta itu, mengucapkan sederet kalimat dengan penekanan tegas.
Banyak murid berkerumun melihat perkelahian yang terjadi di tengah lapangan sepak bola.
Sosok bocah kecil yang menjadi amukan berkata lirih, “Ampunn.”
“Ayo...ayooo pukul lagi!”
Sorakan demi sorakan dari teman yang lainnya terdengar ramai, mereka semua hampir didominasi oleh seragam putih merah. Adapun beberapa lainnya memakai seragam olahraga.
“Hiks, hiks....bang Alya, setopp!”
Bocah berambut cepat yang dipanggil Alya itu menoleh kesamping, kepalan tangannya terhenti di udara. Matanya yang tadinya menatap nyalang mendadak meneduh. Ia melihat seorang gadis kecil, Anya, tengah mengusap air matanya menggunakan lengan tanganya, sedangkan tangannya yang satu lagi menarik seragam putihnya, pelan.
Bocah itu bangkit, ia menatap gadis kecil yang hanya sedadanya itu teduh, lantas berjongkok membelakangi Anya. Ia menarik kedua lengan gadis kecil itu, membopongnya menuju ke UKS sekolah.
Prok. Prok. Prok.
Murid-murid yang berada di lapangan sekolah bertepuk tangan meriah melihat adegan heroik yang dilakukan bocah lelaki itu.
“Temanku tuh Arya. Keren kan?”
***
Arya menurunkan Anya di bangsal tempat tidur putih salah satu UKS. Ia kemudian memutar badannya dan melihat pada lutut kaki Anya.
“Lain kali kalau ada yang dorong kamu lagi, bilang ke Abang. Oke?” Arya mendongakkan kepalanya menatap pada Anya yang juga menatapnya.
Lantas ia mengangguk kecil, pertanda iya. Air matanya telah berhenti mengalir.
Arya melihat ke arah kiri kanan UKS, ia tidak melihat adanya tanda-tanda Ibu penjaga UKS di dalam ruangan.
“Huhh, Bu Dea enggak ada disini.” Arya mengambil sendiri kotak P3K yang ada di lemari pengobatan.
Ia kembali berjongkok dihadapan Anya. Dengan perlahan ia menggulung celana olahraga Anya. Perlahan namun pasti Arya mengoleskan obat merah ke lutut Anya yang berdarah dan lecet.
“Auh, pelih Bang.” Anya menggoyangkan kakinya perlahan.
Arya menatap pada Anya yang tengah mengerutkan kening pertanda menahan kesakitan pada lututnya yang diberi obat. Ia meniup lutut kaki Anya dengan perlahan.
“Arya Kusuma!”
Sontak Arya dan Anya menatap ke arah pintu UKS, dimana wali kelas 6A tengah berkacak pinggang.
“Ikut Ibu ke Ruang Kepala Sekolah.”
Arya bangkit, ia mengangguk pelan. “Sebentar, Bu.”
“Tunggu disini, oke?” Arya menepuk puncak kepala Anya pelan, sambil tersenyum kecil kemudian berjalan pelan meninggalkan Anya.
Anya menarik belakang kaus Arya. “Jangan tinggalin Anya, Bang.”
Arya kembali berbalik, “Nanti sebentar lagi Abang balik yah. Dipanggil Ibu Guru.”
Akhirnya Anya mengalah, ia melepaskan pegangan tangannya pada seragam sekolah Arya yang mencuat keluar dari celana merahnya.
Arya berjalan dengan tegap mengekori langkah wali kelasnya, diam tidak ada yang berbicara hingga pada saat di ruang kepala sekolah. Retina Arya menangkap bocah kecil yang ia pukuli tengah duduk di hadapan Kepala sekolah.
“Arya, duduk.”
Sudah tidak heran lagi, apabila Arya dikenal oleh semua guru di sekolah. Bukan karena Arya si tukang berkelahi, melainkan Arya merupakan salah satu aset sekolah yang menyumbang begitu banyak piala akademis maupun non akademis bagi SD Harapan Bangsa.
Arya mengikuti perintah kepala sekolah, ia duduk tegap tidak menoleh sedikitpun pada bocah yang telah ia pukuli di lapangan sekolah.
“Arya tahu sedang melakukan kesalahan apa?” Wali Kelas Arya membuka pembicaraan, ia duduk di sofa sisi satunya, sedangkan kepala sekolah duduk di sofa single di tengah-tengah kedua sofa.
Arya hendak angkat bicara, namun bibirnya kembali mengatup. Ketika bocah kecil disebelahnya malah menyela terlebih dahulu.
“Bu, dia duluan memukul saya.”
Wali Kelas Arya mengangkat tangannya memberi pertanda kepada bocah kecil itu untuk tidak berbicara dahulu. “Satria, Ibu tidak bertanya padamu. Biarkan Arya berbicara dahulu.”
“Arya, lanjutkan.”
Arya membuka mulutnya perlahan, “Iya, saya salah telah memukul dia, Bu. Tapi, saya sedang menjaga adik saya.”
“Anya jatuh sendiri! Bukan aku yang mendorongnya!”
Arya hanya diam, ia tidak mengatakan sepatah katapun sebagai kata pembelaan, sedangkan Wali kelasnya dan Satria tengah beradu argumen. Hingga pintu dibuka dengan ketukan keras dan dibuka dengan tergesa.
Seorang lelaki paruh baya disana, melihat sekeliling ruangan dengan nafasnya yang menderu kencang.
“Pak Bambang, silakan.” Wali kelas maupun kepala sekolah berdiri mempersilakan lelaki yang dipanggil Bambang untuk duduk.
Lelaki itu berjalan cepat menuju ke arah Satria, ia segera berjongkok di hadapan anak semata wayangnya.
“Anak saya kenapa bisa luka-luka begini? Hum? Ini sekolah atau arena boxing?” Bambang tidak memberikan waktu kepada wali kelas serta kepala sekolah untuk berbicara sebelum ia menyelesaikan kalimatnya.
Kepala sekolah segera berkata pelan untuk menenangkan Bambang, “Kita akan memberi hukuman yang setimpal untuk Arya, Pak.”
“Arya akan di skors selama seminggu,” ucap Kepala sekolah melanjutkan pernyataannya.
“Maaf Pak, tapi kita belum mendengar cerita dari Arya.”
Kepala sekolah mengangkat tangannya kemudian mengatakan melanjutkan katanya, “Sepertinya sudah cukup Bu Dewi.”
Bambang melihat ke arah Arya, “Apa yang telah kau lakukan pada anak saya?”
Arya hanya diam tanpa memandang Bambang yang tengah bertanya padanya dengan nada tinggi.
“Saya rasa Arya sudah boleh kembali ke kelas.” Bu Dewi menyela.
Arya menundukkan kepalanya sedikit, “Saya permisi Pak, Bu.”
Arya keluar dari ruangan, ia menyusuri lorong sekolah. Tangannya mengepal, tangisnya pecah. Ia mengusapnya keras. Ini adalah pertama kalinya Arya diberi hukuman. Arya melewati kelasnya, namun ia tidak masuk.
Kembali melanjutkan langkah hingga tiba di ruang UKS. Ia melihat Anya masih duduk menunduk sama seperti posisi saat dirinya meninggalkan Anya disana.
“Anya!”
Anya mengangkat wajahnya, ia segera melompat turun dari tempat tidur UKS berlari menuju ke arah Arya.
“Bang, Alya kok lama?”
Arya hanya menggeleng-geleng pelan dan tersenyum pada Anya yang tengah memeluknya erat dengan kedua lengannya.
“Dasar, sudah besar tapi masih cadel.” Arya mengetuk kepala Anya.
Anya mendongakkan kepalanya tanpa melepaskan pelukan ia menggerutu, “Biar, Anya kan masih kecil. Liat nih, Abang lebih tinggi.”
Anya menaikkan salah satu tangannya mengukur tingginya dengan Arya sambil berjinjit kecil.
Arya lagi-lagi kembali tersenyum lebar, Anya selalu memiliki beribu cara untuk membuatnya tersenyum. Arya tidak keberatan apabila harus memikul tanggung jawab apabila demi Anya. Anya sudah seperti dunianya.
***
“Bang, ujan. Kita pulang gimana?” Anya menjulurkan tangannya melewati atap sekolah hingga tangannya basah oleh tetesan air hujan.
Arya mendongak melihat hujan yang semakin deras, semakin lama semakin banyak rintikannya. Ia melihat ke beberapa anak yang berlari kencang menuju ke mobil jemputan mereka bersama orang tua yang menggandeng tangannya.
Arya hanya tersenyum, ia menggeleng pelan ketika mengingat momen yang pernah ia lalui persis sama dengan kejadian yang ia lihat sekarang.
“Ya udah kita tunggu hujannya berhenti yah?” Arya menepuk pelan puncak kepala Anya.
Anya menggeleng, “Gak mau bang, nanti pasti lama. Anya gak mau.”
Anya mengerucutkan bibirnya lucu, Arya tahu ini pasti akan terjadi apabila mau Anya tidak dituruti.
“Ya udah. Ayuk kita pulang.”
“Nanti basah?”
Arya tersenyum kecil, “Abang punya payung kok. Tapi satu aja.”
Arya mengeluarkan payung hitamnya, mereka mulai berjalan bersisian. Arya merasakan tangannya perih ketika terkena air hujan. Ia baru menyadari tangannya terluka akibat memukul Satria terlalu keras.
Arya memandang ke samping pada Anya yang berusaha menghindari air hujan yang mengenai sisi tubuhnya. Arya segera menggeser payungnya lebih dekat pada Anya, ia tidak mempedulikan setengah tubuhnya yang basah terkena air hujan.
Arya adalah sosok kakak laki-laki yang sangat menyayangi Anya. Adik perempuan satu-satunya. Tidak ada yang lebih penting bagi seorang Arya, jika itu bukan Anya. Tapi, hidup mereka tidak sebaik yang anak lain miliki.
Rumah besar yang mereka punya, hanya dihuni mereka berdua dan beberapa pembantu rumah tangga. Namun, sialnya tidak pada hari ini.
“Arya!”
Arya terkejut ia mematung melihat sosok tinggi yang berdiri di depan pintu, sambil berkacak pinggang.
“Papa..” Arya menggeser tubuh Anya kebelakang tubuhnya. Tidak membiarkan Anya melihat ayah mereka yang tengah murka.
“Arya ikut Papa!” Anjas, ayah Arya dan juga Anya berjalan masuk dan duduk di ruang tamu.
Arya menurunkan payung, kemudian menyuruh Anya masuk terlebih dahulu di kamar. “Anya, kamu duluan ke kamar yah. Mandi, oke?”
Anya hanya mengangguk, kali ini ia tidak banyak protes.
Dengan perlahan Anya naik ke atas kamarnya, menaiki anak tangga raksasa yang didominasi oleh warna kuning keemasan perlahan. Ia menatap ke bawah pada Arya yang tengah berdiri di hadapan Anjas.
Beruntung, Anjas duduk di sofa yang membelakangi tangga. Sehingga tidak membuat Anya melihat langsung kemurkaan Anjas.
“Arya, begini kamu melindungi adek kamu?” Anjas menunjuk pada diri Arya.
Arya jelas tahu dia salah, ia menunduk menatap pada celana merahnya yang basah dan meneteskan air, juga pada tangannya yang lecet dan memerah.
“Papa sudah bilang berapa kali, untuk pakai supir kalau pulang, hum?” Anjas tidak bisa menahan untuk tidak meledak kali ini, ia mengucapkannya dengan nada lumayan tinggi.
Arya memainkan jari jemari kirinya, “Maaf Pa.”
Anjas kembali berbicara, “Lihat Papa, kalau ngomong Arya.”
Perlahan Arya mengangkat wajahnya, Anjas sosok yang pernah menjadi pahlawan dalam masa kecilnya sekarang telah banyak berubah. Sosok yang dulu lemah lembut dan penyayang. Kini hanya wajah murka yang Arya lihat dari ayahnya.
“Kamu Cuma nurutin keinginan Anya, kan?”
Arya terkejut, bibirnya terbuka kemudian kembali terkatup.
Anjas menghela napas, “Sudah berapa kali Papa bilang untuk tidak menuruti keinginan Anya?”
Arya kembali tertunduk. Memang sudah seringkali Anjas memperingati Arya untuk tidak terlalu memanjakan Anya. Namun, Arya selalu tidak bisa menolak keinginan Anya. Karena bagi Arya, Anya adalah satu-satunya keluarga yang ia punya selain Ayahnya.
“Sekolah tidak begitu jauh dari rumah, Pa.”
Anjas menimpali dengan mendengus, “Lalu Anya bilang mau pulang dengan jalan kaki?”
Arya diam, pertanyaan Anjas jelas sudah memberi tahu mengenai kebenarannya.
“Papa tidak habis pikir Arya. Otak jenius kamu itu kenapa? Kamu terlalu manjain Anya, nanti Anya besar bagaimana?” Anjas melihat ponselnya yang bergetar. Ada pesan masuk dari wali kelas Arya. Anjas segera bangkit naik, dan berjalan ke arah Arya.
Anya yang melihat Ayahnya bangkit dari duduk, segera kembali melanjutkan langkahnya ke atas kamar.
“Sekarang ini apa lagi, Arya?” Anjas menunjukkan layar ponsel ke wajah Arya yang menunduk.
“Kamu di skorsing. Berkelahi di sekolah? Pernah Papa ajari kamu menyelesaikan masalah dengan kekerasan?”
“Satria ganggu Anya, Pa.” Arya memberanikan diri membuat pembelaan.
Anjas menghela napas, “Anya lagi Arya?”
Anjas tampak putus asa melihat Arya, “Kenapa selalu Anya bikin masalah.”
“Bukan Anya yang bikin masalah, Pa.” Kali ini Arya memberanikan diri untuk menatap Anjas.
“Anya selalu bawa masalah semenjak kelahiran dia di dunia ini, Arya!” Kali ini Anjas berteriak.
Suara Anjas menggema hingga seluruh ruangan, rumah yang besar namun tidak ada kehangatan di dalamnya.
“Bunda pergi bukan karena Anya, Pa.”
Anjas menghela napas, “Yah, memang bukan karena Anya. Tapi karena melahirkan Anya Bunda pergi untuk selama-lamanya kan?”
Arya tahu Ayahnya sangat mencintai Bunda dengan sepenuh hati. Sebelum kelahiran Anya memang mereka merupakan keluarga yang harmonis dan penuh kehangatan. Walau dahulu mereka hidup serba kekurangan.
“Pa, jangan bikin Anya sama Bunda sedih.” Arya berkata dengan dingin.
Anjas terdiam sejenak lantas ia kembali melanjutkan perkataannya, “Kelulusan nanti kamu pindah sekolah.”
Selesai mengatakan hal itu Anjas berlalu dari hadapan Arya.
“Pa, Arya gak mau pindah!”
Anjas berbalik, ia menunjuk dengan jari telunjuknya. “Kamu harus pindah.”
“Siapa yang bakal jagain Anya, Pa?”
“Anya sudah besar!” Anjas mengatakannya dengan tegas.
Arya tidak terima dengan keputusan sepihak Ayahnya, kali ini Arya kembali mencari pembelaan. “Anya masih kelas 4 SD, Pa!”
“Bukan anak TK lagi, Arya.”
Arya tentu saja tidak akan pernah menerima keputusan ini, bagaimana bisa ia meninggalkan Anya yang masih sangat membutuhkannya.
“Pa, Papa gak pernah tahu tentang Anya kan? Apa Papa tahu kalau Anya masih cadel? Apa Papa tahu kalau Anya selalu di ganggu teman sekolahnya? Apa Papa tahu kalau Anya tidak bisa pergi sekolah sendiri?”
Anjas terpaku sejenak, kemudian melanjutkan, “Itu semua karena kamu terlalu memanjakannya, Arya!”
“Kamu harus jauh-jauh dari Anya, sebelum semakin menjerumuskan Anya!”
Arya tidak habis pikir, apa yang ada di kepala Ayahnya. Anjas selalu mencoba membuat Arya menjauh dari Anya. Tidakkah Anjas menyadari betapa kesepiannya Anya apabila sendiri.
Siapa yang akan menghapus air mata Anya ketika sedang menangis? Siapa yang akan memeluk Anya ketika petir datang? Siapa yang akan menemani Anya belajar? Siapa yang akan membantu Anya mengeringkan rambut? Siapa yang akan menggendong Anya apabila tertidur di sofa? Siapa yang akan membeli susu coklat kesukaan Anya? Siapa yang tahu tentang apa yang diinginkan Anya? Siapa yang akan melakukan itu semua untuk Anya kalau bukan Arya?
“Anya masih butuh Arya, Pa.” Arya berjalan mendekat pada Anjas, ia menurunkan intonasi suaranya menjadi pelan sekali.
Anjas mengangkat tangannya memberi pertanda pada Arya untuk berhenti berbicara. “Ada Mbok Inem dan ada Pak Parto, Anya gak butuh Arya.”
Anjas menyebutkan nama pembantu rumah tangga serta supir rumahnya.
“Tamat SMA, Arya pindah.” Arya menatap Anjas dengan pandangan tegasnya.
Anjas tidak pernah melihat Arya seserius ini, ia tersenyum. “Oke, Amerika.”
Anjas mengacak pelan rambut Arya kemudian berlalu dan mengambil jasnya yang ditaruh di kursi meja makan.
“Papa pergi meeting dulu. Hari ini gak pulang.”
Melihat siluet Anjas yang telah menghilang dibalik pintu diikuti suara mobil, perlahan kaki Arya melemas. Ia mencengkeram kepala sofa.

Comentário do Livro (21)

  • avatar
    Arlin Febrianti

    Kerenn

    26/06/2023

      0
  • avatar
    soleha huda

    Mantap bangat 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻

    05/06/2023

      0
  • avatar
    MegasariDesti

    keren

    20/05/2023

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes