logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 7 Belajar dari Nabi Yusuf

yang hancur. Dia tidak pernah menyangka cintanya akan bertepuk sebelah tangan. Melody bisa menerima jika selama ini sikap Khair padanya biasa-biasa saja. Sebab dia paham Khair memang tidak pernah bersikap royal pada sembarang wanita, selain dengan sekretarisnya yang bernama Aida. Namun Melody yakin, hal itu terjadi karena mereka adalah rekan kerja.
"Mel, sudah pulang? Katanya mau mampir ke rumah Khair?" tanya Bunda Soraya ketika kaki Melody baru saja menginjak lantai ruang tamu.
"Sudah malam, Bun, makanya Mel pulang," ucap Melody seraya meletakkan tasnya di sofa. Biasanya setelah pulang dari rumah Khair dia selalu semangat untuk bercerita. Entah itu hubungan pertemanannya dengan Khair atau perihal sikap Mama Reta yang selalu baik padanya, tapi kali ini sepertinya tidak. Lidahnya terlalu kelu untuk mengeluarkan banyak kata.
"Sejak kapan anak bunda pulang buru-buru dari rumah pujaan hatinya?" goda Bunda Soraya. Perempuan itu tersenyum tipis pada putrinya. Dia tahu Melody sudah lama menaruh rasa pada Khair.
Sejak Khair memperkenalkan calon istrinya, batin Melody tidak terima. Sayangnya, dia tidak punya cukup nyali untuk mengatakan semua itu pada bundanya.
"Bunda lihat hari ini wajah kamu terlihat kusut tidak seperti biasanya," ucap bunda Soraya dengan satu tangannya mengangkat dagu Melody.
"Bunda, bukankah cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu? Mengapa Mas Khair tidak mencoba memberikan hatinya pada Melody?" Pertanyaan Melody seketika membuat Bunda Soraya paham arah pembicaraan putrinya.
"Sayang, yang berjodoh dengan kita tidak akan pernah tertukar. Melody pernah dengar kisah Zulaikha dengan Nabi Yusuf Alaihissalam? Dalam kisahnya Zulaikha yang permaisuri raja itu amat mencintai Nabi Yusuf. Namun, dengan penuh kesabaran Nabi Yusuf mampu menghadapi segala bujuk rayu dan tipu daya Zulaikha."
"Akhirnya Nabi Yusuf yang seorang budak berubah menjadi raja. Kita boleh saja mencintai seseorang, itu adalah manusiawi, tapi jangan sampai rasa yang telah hadir menimbulkan keinginan buruk dalam hati kita dan berubah menjadi obsesi yang akan menghancurkan diri sendiri."
"Kesabaran adalah ketabahan yang akan mengantar kita untuk menggapai segala keinginan. Jika hari ini Mel masih menyimpan rasa pada Khair yang tidak memilih Mel, alangkah baiknya lepaskan sebelum semua terlanjur jauh. Jika kalian berjodoh, maka sesulit apapun nanti keadaannya, Mel dan Khair akan tetap bersama," tutur Bunda Soraya seraya menarik Melody ke pelukannya.
Melody mengerti apa yang disampaikan bundanya, tapi dia terlalu ragu untuk melepas Khair dalam hatinya. Tetap saja di pikirannya dia lebih pantas bersanding dengan Khair daripada Lena. Haruskah segala rasanya berhenti begitu saja?
Padahal dia masih ingin mencintai lelaki itu lebih lama lagi. Khair telah membuat hati dan perasaannya terlanjur nyaman. Sayangnya, lelaki itu tak pernah memberikan ruang meski sedikit saja untuk Melody hinggap di dadanya.
"Len, tumben jam segini sudah masak? Pulang jam berapa tadi?" tanya Pak Santoso seraya menuangkan air putih ke dalam gelas lalu menenggaknya.
"Jam sembilan," ucap Lena cuek.
Pak Santoso tampak tersedak mendengar jawaban Lena dan buru-buru meletakkan gelas yang masih berisi setengah air itu ke atas meja.
"Kamu nggak melayani pelanggan?" tanyanya lagi.
"Nggak, Lena pergi sama Khair," sahut Lena dengan wajah datar.
Brakk!
Pak Santoso menggebrak meja di hadapannya, seketika terdengar suara dentingan sendok dan garpu secara bersamaan.
Lena sudah menduga, ayahnya pasti marah mendengar perkataannya. Namun, dia sudah tidak peduli lagi, sekalipun sang ayah menghajarnya habis-habisan karena telah melarikan diri dari kelab malam. Semua itu tetap tidak akan mengembalikan kehormatannya yang telah terenggut. Siksaan dari ayahnya sudah menjadi makanan sehari-hari untuk Lena.
"Kamu ini sudah nggak waras? Mami Dora bisa pecat kamu kalau kelakuanmu seperti itu, Lena. Kerja itu yang benar," ucap Pak Santoso dengan tatapan tajam dan suara yang menggelegar.
Lena berjalan santai menghampiri ayahnya. "Lena nggak salah dengar? Bukannya ayah sendiri yang menjerumuskan Lena pada pekerjaan nggak benar?" tanyanya membuat Pak Santoso semakin naik darah.
"Kamu itu kalau dikasih tahu orang tua bukannya di didengerin malah ngejawab aja. Makanya jangan dekat-dekat sama pria itu, pikiran kamu sudah dicuci sama dia!" bentak Pak Santoso dengan gaya congkaknya.
"Mas Khair itu pria baik, bahkan dia bersedia menerima Lena apa adanya."
Pak Santoso malah tertawa, membuat Lena memandanganya dengan tatapan heran. "Lena, kamu percaya gitu aja? Ayahmu ini sudah tua, sudah banyak makan asam garam. Mana ada lelaki shalih yang mau punya istri seperti kamu? Ngaca Lena! Ngaca! Di kamar kaca segede itu kamu pakai buat apa? Pajangan? Nggak habis pikir ayah sama jalan pikiran kamu. Udah! Ayah mau pergi! Sudah nggak nafsu makan," ucapnya lalu pergi begitu saja.
"Jangan main lagi, ingat dosa!" teriak Lena.
Pak Santoso tidak mempedulikan ucapan Lena dan malah menutup pintu dengan keras. Namun, sepertinya kali ini dia hanya akan nongkrong dengan teman-temannya. Karena beberapa hari ini Lena sengaja tidak memberinya uang agar pria itu berhenti dari permainannya yang tidak berfaedah.
Sebenarnya Lena kasihan, tapi mau bagaimana lagi. Jika pun dibilang zalim, ya begitulah adanya.
Lena duduk di kursi dapur, berusaha mencerna setiap kata yang keluar dari bibir ayahnya. Ada nyeri dalam hatinya. Lena tahu Pak Santoso selalu kasar padanya, ucapannya juga sering tak terkendali. Namun, kadang dia ada benarnya juga. Mengapa Lena percaya begitu saja dengan perkataan Khair? Mana ada pria shalih yang mau dengannya? Apa Khair punya maksud lain? Segenap pertanyaan menghujani batin Lena.
Seketika pikirannya langsung kembali menelusuri adegan tadi malam. Perempuan cantik itu, dia lebih cocok bersanding dengan Khair. Mungkinkah sebenarnya dia memang calon istri Khair? Jika benar, lalu untuk apa Khair membawa Lena menemui mamanya? Melihat dari tatapan yang ditujukan untuknya, perempuan itu memang merasa tidak nyaman dengan kehadiran Lena. Ah, kenapa sekarang keyakinannya malah berubah jadi keraguan?
~oOo~
"Nggak sarapan lagi?" tanya Mama Reta saat melihat Khair turun dari tangga.
"Nggak, Ma. Udah kenyang," jawab Khair datar seraya menghampiri Mama Reta dan mencium tangannya.
"Kenyang makan apa? Makan angin," balas Mama Reta sinis.
Khair tidak menjawab dan pergi begitu saja setelah mengucapkan salam. Sebenarnya dia ingin mengatakan banyak hal pada mamanya, salah satunya perihal restu untuk hubungannya dengan Lena. Namun, Khair urungkan. Mungkin lain waktu saja.
"Nya, kalau saya perhatiin akhir-akhir ini Den Khair berubah deh," celetuk Bi Inah yang saat itu sedang menyiapkan roti untuk Mama Reta dan Khair.
"Berubah gimana? Bukannya dari dulu dia emang nyebelin gitu," sahut Mama Reta seraya memasukkan roti tawar ke dalam mulutnya.
"Bukan apa-apa sih, Nya. Kalau menurut saya mah restuin aja hubungan mereka, daripada ntar Den Khair kabur ikut papanya. Kan Nyonya sendiri yang repot," ujar Bi Inah membuat Mama Reta menghentikan suapannya.
'Benar juga yang dikatakan Bi Inah,' batin Mama Reta setuju.
"Udah nggak usah sok tahu, sana nyuci piring!" perintah Mama Reta.
Bi Inah memilih pergi ke halaman rumah untuk menyiram tanaman. Ya, alangkah baiknya dia pergi sebelum membuat majikannya marah. Namun, tanpa sengaja Bi Inah justru melihat Khair sedang berbincang dengan Aida.
"Aida? Ada apa?" tanya Khair. Dia sedikit terkejut saat melihat Aida sudah duduk di kursi depan rumahnya tanpa mengetuk pintu.
"Maaf, Pak. Saya terpaksa ke sini. Klien kita yang bernama Pak Brata memajukan meetingnya. Sekarang beliau sedang menuju ke tempat meeting, sedangkan ponsel Pak Khair tidak bisa dihubungi. Sebenarnya saya berniat masuk ke rumah Bapak, tapi saat akan mengetuk pintu saya dengar Pak Khair sedang bicara dengan Tante Reta, jadi saya memilih untuk menunggu di sini," jelas Aida.
Khair segera mengambil ponselnya dari saku sebelah kanan celananya lalu memeriksa benda pipih tersebut. Benar saja, ponselnya mati. Sepertinya kehabisan baterai, ini pasti gara-gara semalam setelah mengantar Lena dia meletakkan ponselnya sembarangan dan pagi ini dia langsung membawa ponsel itu tanpa mengeceknya.
"Oh, ya, maaf saya lupa men-chargernya tadi malam. Sebentar saya ambil powerbank dulu," ujar Khair seraya melangkah masuk ke rumah.
"Hmmm, tidak perlu, Pak. Saya ada, kalau mau Bapak bisa memakainya dulu," tawar Aida.
"Okelah. Kamu naik taksi? Taksinya nunggu?"
Aida menggeleng, sebenarnya tadi dia ke rumah Khair dengan taksi. Sayangnya, Aida lupa memberitahu sopirnya untuk menunggu. Alhasil, taksi itu meninggalkannya.
"Kalau gitu naik mobil saya saja."

Comentário do Livro (34)

  • avatar
    DjibuFdlah

    ceritanya bagus bangat,mmberikan pljaran kpda dri sndri

    05/02/2023

      0
  • avatar
    PlatinFirdus

    sangat bagus

    01/02/2023

      0
  • avatar
    JAYVJAY

    ok kren

    01/06/2022

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes