logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 6 Terjerat Pesona Lelaki Shalih

"Lena, harus berapa kali saya bilang padamu? Sekarang dengarkan baik-baik! Kita ini manusia biasa yang tak lepas dari salah dan dosa. Tapi siapa pun diri kita di masa lalu, kita tetap berhak menjadi lebih baik di masa depan. Sekarang untuk kesekian kalinya saya bertanya padamu. Maukah kamu menemani saya hingga maut memisahkan?"
Lena mengangguk. Penuturan Khair membuat dirinya berhasil menepis segala keraguan dalam hati. "Saya mau, Mas. Saya bersedia menemani Mas Khair sampai kapan pun dan dalam keadaan apa pun," ucapnya tersenyum sembari menghapus sisa air matanya.
"Alhamdulillah. Nah, jawab gitu aja dari tadi muter-muter terus kalimatnya." Khair terkekeh. "Tunggu sebentar, ya!" lanjutnya.
Khair berjalan menuju bagasi mobil lalu membukanya. Tak lama kemudian, dia membawa sebuah paperbag di tangannya. "Sekarang ganti bajumu dengan gamis ini. Malam ini saya mau ajak kamu ketemu Mama," ujar Khair seraya menyodorkan paperbag tersebut.
"Ta-tapi Lena takut," sahut Lena.
"Takut? Mama nggak gigit kok, tenang aja." Khair tersenyum.
Astaga! Senyummu benar-benar membuatku melayang, Mas, batin Lena.
"Udah cepetan masuk. Ingat ya! Nggak lebih dari sepuluh menit. Saya nggak mau nunggu lama, ntar kamu malah melayani pelanggan lagi," ucap Khair.
"Ck, sekarang saya udah tobat kok," lirihnya.
Lena bergegas masuk ke kelab malam untuk mengganti pakaiannya. Sementara Khair menunggu di luar.
Tak lama kemudian dia keluar dengan senyuman yang mengembang. "Gimana? Udah cantik belum? Kok nggak dilihatin?" godanya pada Khair.
"Udah mulai genit ya kamu sekarang." Khair memalingkan wajahnya. Dia takut tidak bisa menjaga pandangannya.
"Ngomong-ngomong, gimana kalau Mami marah?" tanya Lena dengan ekspresi menunduk.
"Tenang aja, semua udah beres kok," sahut Khair.
"Hmm, bagus deh. Ayo! ntar keburu malam." Tentu saja Lena bersemangat. Dia akan bertemu calon mertuanya. Melihat sikap Khair yang lembut, pasti mamanya jauh lebih lembut. Itu yang ada di pikiran Lena saat ini.
***
"Mel, ada apa? Tumben ke sini malam-malam?" tanya Mama Reta saat melihat Melody masuk ke rumah dan langsung menghempaskan tubuh di dekatnya.
"Hmm, kebetulan tadi Melody habis ke rumah teman, jadi sekalian mampir. Ini Mel bawakan martabak kesukaan Tante." Melody meletakkan sebuah bungkusan di meja.
"Kamu ini emang calon mantu idaman. Udah pinter, baik lagi. Sampai hafal makanan kesukaan Tante segala," ucap Mama Reta seraya mengangkat dagu Melody.
Melody tersenyum. "Tante bisa aja, ngomong-ngomong kok sepi banget, di mana Mas Khair?" tanya Melody seraya memperhatikan keadaan sekitar.
"Tadi sih katanya ada urusan. Tante juga nggak tahu mau ke mana. Sepertinya buru-buru. Oh, ya, gimana hubungan kalian?" Mama Reta mematikan televisi di hadapannya dan beralih membuka martabak yang dibawakan Melody.
"Masih gitu-gitu aja, Tan. Mas Khair nggak respect sama Mel." Melody menunduk.
"Jangan sedih gitu, dong. Mungkin Khair masih sibuk ngurus perusahaan. Tapi Tante yakin, lama-lama dia pasti suka sama kamu."
"Assalamualaikum!" Terdengar suara Khair dari luar.
Menyadari yang datang adalah Khair, Melody segera bergegas menuju pintu depan. Sayang, langkahnya langsung terhenti saat melihat seorang perempuan berjalan ke arah Khair. "Siapa dia, Mas?" tanya Melody. Setelah Lena berdiri tepat di samping Khair.
"Oh, ya, kenalkan ini Lena, calon istri Mas," ucap Khair seraya tersenyum pada Melody.
Dorr!
Jawaban Khair bagai bom yang menghantam tubuh Melody dengan keras. Sekarang hatinya terasa membeku, persis seperti dinginnya udara malam.
Lena mengulurkan tangan ke arah Melody, tapi perempuan itu tak merespon apa-apa.
"Calon istri?" tanya Mama Reta seraya menghampiri mereka. "Kamu nggak lagi bercanda kan Khair?" lanjutnya.
"Khair nggak bercanda, Ma. Selama ini Mama nyuruh Khair nikah, kan? Nah, sekarang Khair bawa calonnya," jelas Khair.
Sementara Lena dan Melody masih diam di tempatnya tanpa sepatah kata pun. Mereka berkutat pada pikiran masing-masing.
Mama Reta berjalan menghampiri Lena. "Siapa nama kamu?" tanyanya acuh tak acuh.
"Lena, Tante," ucap Lena menunduk.
"Hmm, ayahmu namanya siapa? Terus dia kerja apa?" tanya Mama Reta dengan nada menginterogasi.
"Ayah saya namanya Santoso, Tan. Beliau sedang tidak bekerja."
Mata Mama Reta membulat sempurna, seolah ada yang salah dengan perkataan Lena. "Santoso seorang pemabuk dan tukang judi itu?" Pertanyaan Mama Reta membuat Lena dan Khair terkejut.
"Dari mana Mama tahu kalau Pak Santoso pemabuk dan pejudi?" Khair malah balik bertanya.
"Mama tahu karena dulu mama pernah dekat sama dia. Tapi untungnya mama nolak waktu diajak nikah. Karena mama tahu dia itu orangnya nggak bener," ucap Mama Reta.
Entah mengapa Lena merasa kalimat terakhir Mama Reta ditujukan padanya. Karena wanita itu melirik ke arah Lena.
Astaga! Kenapa jadi kaya gini, sih, batin Khair.
"Pokoknya kamu harus putusin perempuan ini ya, Khair. Karena mama nggak mau besanan sama mantan. Titik!" Mama Reta berjalan meninggalkan mereka bertiga. Bahkan dia tidak peduli dengan tatapan heran Melody.
"Ma ... Khair belum selesai bicara," ucap Khair dengan suara agak keras. Dia berharap Mama Reta mendengar suaranya dan kembali menemui Lena. Sayangnya, perempuan itu benar-benar tak peduli. Mama Reta malah berjalan menaiki tangga dan menuju kamarnya.
Khair memandang Lena yang sedari tadi hanya diam. Khair tahu perempuan itu pasti kecewa sebab sikap Mama Reta tidak seperti apa yang Lena bayangakan. Bahkan mungkin Lena tersinggung dengan perkataan Mama Reta yang tajam, meski sebenarnya semua itu benar adanya.
"Lena, kamu duduk dulu ya! Anggap aja rumah sendiri. Saya tinggal ke atas sebentar," ucap Khair lembut lalu bergegas menyusul Mama Reta. Sepertinya memang dia harus bicara dengan mamanya itu.
Lena mengangguk. Perempuan itu memandang Khair dengan tatapan tak berdaya. Ternyata pemikirannya salah, Mama Reta tak menyukainya. Padahal dia sangat berharap nantinya akan mendapatkan kasih sayang dari calon mertuanya. Karena semenjak ibunya pergi bersama lelaki lain, Lena tak pernah lagi merasakan perhatian dari seorang ibu.
"Lena tunggu!" Suara Melody menghentikan langkah Lena menuju sofa. Lena berbalik dan sedikit mengamati penampilan Melody, perempuan yang anggun dan modis, tapi siapa dia? Kenapa berada di rumah Mas Khair? batin Lena dipenuhi banyak pertanyaan.
"Iya?" tanya Lena seadanya.
"Emang kamu lulusan universitas mana? Atau mungkin ngajar di bidang apa?" tanya Melody beruntun.
Kening Lena sedikit berkerut, kenapa Melody tiba-tiba bertanya seperti itu? "Hmm, saya hanya wanita biasa dan tidak kuliah," jawab Lena seraya tersenyum.
"Tidak kuliah? Ah, beruntung sekali ya kamu mendapatkan Mas Khair. Bahkan saya yang lulusan terbaik dan anak dari pemilik pondok pesantren saja tidak bisa membuatnya jatuh cinta." Melody membalas senyuman Lena.
Ucapan Melody memang lembut, tapi entah mengapa bagi Lena justru terdengar meremahkan.
Apa dia terlalu sensitif?
"Alhamdulillah, jodoh memang tidak pernah tertukar. Mungkin jodoh Mbak bukan Mas Khair." Lena berucap santai kemudian menghempaskan dirinya di sofa.
Melody sedikit terkejut mendengar jawaban Lena. "Iya, jika bukan karena hal itu, kamu nggak akan pernah mendapatkan lelaki shalih seperti Mas Khair." Melody memandang Lena dengan tatapan penuh teka-teki, seolah ada makna lain yang tersirat dari kata-katanya.
Sementara di kamar, Khair berusaha membujuk mamanya. Khair tahu Mama Reta cukup keras kepala dalam beberapa keadaan, salah satunya saat ini.
"Ma ...," ucap Khair seraya menghampiri perempuan yang telah melahirkannya itu.
"Buat apa kamu ke sini? Temani saja perempuan itu." Mama Reta duduk di tepi ranjang dan
membelakangi Khair.
"Ma, Lena itu wanita baik-baik. Meskipun dia pernah menjadi wanita malam, tapi itu bukan keinginannya melainkan atas paksaan dari sang ayah," jelas Khair.
"Ya, mungkin tidak ada masalah dengan Lena. Tapi ayahnya? Khair, dengarkan mama! Pak Santoso itu masa lalu mama dan dia bukan pria baik-baik. Kamu mau punya mertua pemabuk dan tukang judi? Kalau mama sih, ogah."
"Tapi itu sudah lama, Ma. Masa sampai saat ini mama belum bisa melupakannya. Lagipula yang akan menikah dengan Khair itu Lena, bukan Pak Santoso," sanggah Khair.
"Dihh! Kamu ini kalau ngomong jangan ngelantur, ya. Jelas mama udah move on-lah! Ngapain juga ingat-ingat pria berengs*k kaya dia." Mama Reta menekan kalimat terakhirnya.
"Lah, terus sekarang masalahnya apa?" Khair semakin tidak mengerti mengapa mamanya begitu kekeh menolak Lena, padahal masalah dia dengan Pak Santoso.
"Astaga, Khair! Percuma kamu sekolah tinggi-tinggi kalau nggak paham sama hal beginian. Apa nanti kata orang jika mama punya menantu seorang pel*cur? Mama malu Khair! Malu!" Mama Reta meninggikan suaranya.
"Astaghfirullah, Ma. Sejak kapan Mama jadi suka menghakimi seseorang seperti ini? Mama yang Khair kenal adalah orang yang baik dan lembut. Ma, kita nggak usah peduli sama ucapan orang lain. Karena sekalipun kita baik, tapi jika orang tersebut tidak menyukai kita, maka akan tetap terlihat buruk di mata mereka."
Mama Reta diam, dia membenarkan ucapan putranya. Namun, tetap saja hatinya tidak yakin jika Lena bisa menjadi istri yang baik untuk Khair. "Melody jauh lebih baik dari perempuan itu, kenapa kamu tidak memilihnya sebagai calon istri, Khair?" tanyanya.
Khair mengusap wajahnya kasar. Dia tidak paham dengan jalan pikiran mamanya. "Mama tahu darimana Melody lebih baik dari Lena? Mungkin kita bisa menilai seseorang dari luar, tapi kita tidak akan tahu isi hatinya. Pliss, Ma, terima Lena demi Khair. Khair janji akan mendidiknya sampai menjadi menantu yang baik untuk mama," ujar Khair.
"Kasih mama waktu, Khair. Biarkan mama sendiri dulu," tutup Mama Reta.
"Khair tunggu kabar baik dari Mama." Khair meninggalkan Mama Reta dan turun untuk menemui Lena. Sepertinya saat ini mamanya sedang butuh waktu untuk sendiri.
Khair tidak bisa begitu saja menyalahkan mamanya. Setiap orang butuh waktu untuk menerima orang lain dalam hidup mereka, tapi Lena bukanlah wanita jahat, dia hanya sedang terjebak situasi yang membuatnya belum bisa menjadi wanita baik.
Di ruang tamu Melody dan Lena tampak berbincang-bincang. Syukurlah! Jika memang mereka akrab, batin Khair. Dia tidak tahu jika hari ini salah satu dari mereka telah tersakiti hatinya.
"Mel, masih di sini?" tanya Khair setelah sampai di samping Melody. Entah mengapa perempuan itu tidak duduk di sofa bersama Lena.
"Hmm, iya, Mas. Tante Reta mana? Kok nggak ikut turun?" tanya Melody seraya memutar bola matanya ke arah ruang kamar Mama Reta.
"Ada di kamar, lagi pengin sendiri katanya," jelas Khair.
"Ow, kalau gitu Mel pamit dulu aja. Mas Khair, Lena. Assalamualaikum." Melody melempar senyuman ke arah Lena dan Khair. Senyum yang mewakili rasa getir dalam hatinya. Lebih tepatnya rasa sakit yang terpendam.
"Waalaikumsalam."
Khair menghampiri Lena dan duduk di sofa yang lainnya. "Maafkan perkataan Mama, ya, jangan dimasukkan ke hati. Sebenarnya Mama baik kok, hanya saja mungkin dia butuh waktu untuk menerima kamu. Jadi sabar, ya." Khair tersenyum lembut, berharap Lena masih bersedia untuk menikah dengannya.
"Lena baik-baik aja kok, Mas," sahut Lena.
"Kalau gitu saya antar pulang ya, lain kali kita atur waktu buat ketemu Mama lagi." Khair tahu Lena tidak sedang baik-baik saja, tapi perempuan itu terlihat sangat pandai menyembunyikan perasaannya. Ya, begitulah perempuan, sulit dipahami. Bahkan Khair pernah dengar bahwa kaum hawa itu bisa menangis sepanjang malam dan tersenyum lepas di pagi harinya seolah tidak pernah terjadi apa pun dengan hati mereka.

Comentário do Livro (34)

  • avatar
    DjibuFdlah

    ceritanya bagus bangat,mmberikan pljaran kpda dri sndri

    05/02/2023

      0
  • avatar
    PlatinFirdus

    sangat bagus

    01/02/2023

      0
  • avatar
    JAYVJAY

    ok kren

    01/06/2022

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes