logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

PERNIKAHAN TANPA CINTA

PERNIKAHAN TANPA CINTA

YUNA IZMAYA


WEDDING DAY

Suatu saat kau akan sadar, menciptakan kebahagiaan bukanlah hal yang sulit.
-Aluna Dewi
Aluna membuka matanya perlahan, tepukan halus berulang-ulang yang dilakukanTante Dini -Adik Mamanya- berhasil membuatnya terbangun dari tidur.
"Ayo, bangun, Nak. Kamu harus bersiap-siap. Ini hari bahagiamu. Kamu harus terlihat sempurna!" Aluna bisa melihat aura bahagia di wajah Tantenya.
"Mama lagi apa, Te? Kok nggak kelihatan?" Aluna mengucek matanya, mengumpulkan nyawa yang masih setengah tertinggal di alam mimpi.
Tante Dini yang sibuk mempersiapkan keperluan Aluna, berjalan mendekat lalu meletakkan handuk dan kimono di pangkuan Aluna. "Mama kamu, Tante suruh duduk manis. Keperluanmu biar Tante yang siapin. Kamu nggak kasihan kalau Mamamu sampai kecapekan? Bekas operasinya pasti masih kerasa nyeri, Na. Udah sana mandi dulu, keburu periasnya datang."
Setengah enggan, Aluna terpaksa menuruti perintah Tante Dini. Aluna berjalan ke arah kamar mandi. Dalam hatinya menangis atau mungkin ingin marah? Tapi Marah sama siapa? Papa? Mama? Keadaan? Gadis cantik itu hanya bisa terisak pelan, sambil menyalakan keran dia tumpahkan air matanya.
Beres mandi membuat pikiran Aluna sedikit tenang. Sambil cemberut dia melempar handuk basah ke tepian ranjang, lalu duduk termenung.
"Malah ngelamun! Ini makan dulu, periasnya sebentar lagi datang. Daripada nanti kamu kelaparan pas lagi didandanin." Tante Dini meletakkan piring di atas meja di seberang ranjang Aluna.
Aroma sup bakso yang menggoda, mau tak mau membuat perutnya yang memang keroncongan, mengirim sinyal untuk segera memakan nasi dan semangkuk sup yang tersaji di atas meja.
"Ini yang bikin Mama, kan?" tak perlu lama, tangannya sibuk menyuap kuah sup. Begitu kuah meluncur di tenggorokannya, selera makan Aluna langsung membuncah.
Tante Dini tersenyum melihat Aluna yang nampak berselera,"iya bener. Katanya, kamu pasti nggak bisa nolak sup bakso buatannya."
"Luna... " suara lembut milik Mama memanggilnya. Aluna meletakkan sendok buru-buru menghampiri Mama yang melangkah masuk ke dalam kamarnya.
"Mama ... kok naik ke atas? Kata dokter Mama jangan capek-capek dulu, naik tangga itu bikin capek, Ma!" Aluna terlihat cemas, memeluk mamanya manja. Aluna bisa merasakan emosinya kembali campur aduk.
Mama tersenyum, "nggak, nggak capek, kok! Mama cuma mau lihat dulu putri kesayangan Mama yang sebentar lagi mau dirias supaya makin cantik!" Mama mengecup pelan puncak kepala Aluna.
"Mama sengaja bikin sup kesukaan kamu. Kata Tante Dini, dari malem kamu susah makan. Udah sana makan dulu. Awas aja kalo nggak habis! Mama istirahat lagi ya, panggil Mama kalau nanti kamu sudah beres dirias.” Aluna mengangguk, “harus habis ya supnya!” Mama pura-pura marah. Aluna tersenyum, melanjutkan kembali sarapannya.
***
"Wah, cantiknya! Sampai pangling Tante!"
Make up artis yang masih merias Aluna tersenyum melihat reaksi Tante Dini.
"Sebentar ya, Tante panggil dulu Mama kamu." Tante Dini berjalan keluar kamar, suara langkah kakinya terdengar terburu-buru menuruni anak tangga.
Aluna memejamkan matanya. Membiarkan perias kembali fokus menyelesaikan tugasnya. Setelah beberapa saat, perias itu menyuruhnya membuka mata.
"Coba dilihat dulu, siapa tahu ada yang mau ditambahin Sist?" ujarnya sembari menatap Aluna. Wajahnya terlihat sumringah.
"Mbak, ini nggak terlalu menor, kan?" Aluna memandangi pantulan dirinya di cermin.
"Aduh, ya nggak lah, Sist. Ini sesuai permintaan Sist sendiri, lho. Udah saya pilih warna-warna soft. Untuk make up yang sekarang, saya sesuaikan sama warna kebaya buat akad. Kalau nanti buat resepsi di gedung, saya izin touch up make up yang lebih cerah ya ... tapi jangan khawatir, nggak akan menor, swear!" Aluna tersenyum dan mengangguk.
Pintu kamar Aluna dibuka, Mama dan Tante berjalan mendekat.
"Aluna ... Kamu cantik banget!" Mama menatap Aluna penuh haru.
Wajah perias yang berdiri di sebelah Aluna terlihat ikut senang. "Memang calon pengantinnya sudah cantik, Bu. Make up saya cuma membantu memperjelas aura kecantikannya Mbak Aluna. Syukurlah, kalau riasan saya cocok sama selera Ibu dan Mbak Aluna."
Bibir Aluna tersenyum seolah menikmati euforia yang meliputi semua anggota keluarganya, tapi jauh di dalam hatinya diliputi rasa ragu dan bimbang. Apakah benar keputusannya untuk memilih menikahi Arjuna adalah hal yang benar?
***
Gadis cantik itu menggigit bibirnya pelan. Jemarinya memainkan ujung kebaya. Perias yang siap siaga di sebelahnya berulang menyeka keringat yang meluncur pelan di pelipisnya.
"Sist, kamu tegang ya?" bisik sang perias. Yang ditanya hanya diam tak menjawab.
"Wajar kok, Sist. Asal jangan sampai pingsan, ya. Nanti repot saya," ucapnya sambil tertawa pelan, "ini minum dulu." Perias itu menyerahkan air mineral kemasan. Bibir Aluna terus memasang senyum termanis, tak menolak tawaran Mbak perias. Diraihnya gelas air mineral dan menyedotnya pelan-pelan. Bagaimanapun dia tak ingin membuat riasannya kacau, kasihan kan Mbak perias, dia sudah bersusah payah meriasnya dari pagi, bahkan sebelum matahari bersinar terang.
Aluna bisa mendengar hiruk pikuk di ruang sebelah, tempat prosesi ijab kabul.” Sist, acara seserahannya udah beres. Sebentar lagi, proses ijab kabul. Semoga lancar, nggak perlu diulang-ulang,” ujarnya dengan wajah antusias.
Entah kenapa, meski ini adalah pernikahan tanpa cinta. Jantung Aluna tetap berdebar tidak menentu.
Ah, mestinya yang duduk di sana adalah Bayu. Kalau saja Bayu tidak mengkhianatinya, mungkin hari ini dirinya tidak merasa tersiksa, merasa terpaksa dan setengah hati di hari yang seharusnya menjadi hari bahagia.
"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau Ananda Maghira Arjuna bin Raden Surya Jana dengan anak saya yang bernama Aluna Dewi Nadira dengan maskawinnya berupa uang sebesar sembilan ratus lima puluh juta dan seperangkat perhiasan senilai tujuh ratus juta dibayar Tunai." Aluna yakin, dia tidak salah dengar, nada suara papanya terdengar bergetar, membuat Aluna mengatur nafasnya yang mendadak terasa sesak.
"Wah, Sist, beruntungnya, pasti dia cinta banget ya sama kamu." Aluna bisa melihat bola mata perias membulat saat jumlah maskawin disebut barusan.
Aluna kembali menggigit bibir bawahnya. Huh! Cinta banget apanya! Jangan menangis Luna! Jangan! Batinnya bergejolak tak karuan.
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Aluna Dewi Nadira binti Sukanda Darmawan dengan maskawinnya yang tersebut, tunai.”
"Bagaimana, saksi? Sah?"
"SAH!" jawaban kompak tamu undangan di ruangan prosesi Ijab kabul membuat Aluna mendesah pelan. ‘Aah, hancur sudah pernikahan impianku.’
Tamat sudah impiannya untuk menikah dan hidup bahagia bersama pasangan yang benar-benar dicintainya, bukan pernikahan karena terpaksa seperti saat ini.
***
Suasana ruang balai riung tempat resepsi pernikahan Aluna dan Arjuna terlihat begitu
mewah. Tamu undangan yang hadir tak hentinya memuji pasangan pengantin baru yang terlihat serasi. Aluna membetulkan posisi gaun pengantinnya. Meski dalam hatinya kesal, bibirnya tetap tersenyum semanis mungkin. Berbeda jauh dengan laki-laki di sebelahnya. Wajahnya terlihat dingin, sulit menebak apa yang ada sedang dirasakan laki-laki yang berdiri di sampingnya.
"Menikah itu perlu setidaknya sedikit cinta. Jujur, saat ini aku menikahimu karena terpaksa. Kalau bukan demi meringankan biaya rumah sakit mamaku! Malas benar aku menikah tanpa cinta." Aluna memalingkan wajahnya, enggan bertatap mata dengan lelaki yang meski baru saja dikenalnya, tapi sudah sah menjadi suaminya.
"Lucu, terus kamu pikir, aku senang menikah sama kamu? Ya jelas nggak! Gadis judes sepertimu sudah tentu bukan seleraku!" Laki-laki sombong bernama Arjuna itu melengos.
"Eh, kamu lebih muda dari aku tahu nggak. Sama yang lebih tua, yang sopan." Aluna berbisik gemas. Arjuna diam. Tidak menggubris Aluna mengomel.
Aluna diam-diam melirik Arjuna sekilas. Bahkan wajah Arjuna sedatar tembok ruang resepsi! Sama sekali nggak ada ekspresi. Biarpun tampan, kalau nggak ada ekspresi, ya percuma! Untung saja laki-laki di sebelahnya itu bukan tipe idamannya. Huh, cowok kalau terlalu tampan malah terlihat membosankan! Aluna memutar bola matanya.
Setelah sesi foto keluarga selesai, Aluna bersyukur bisa duduk sebentar sambil menunggu tamu undangan yang masih terus berdatangan. ‘Duh, kapan selesainya, sih?’ kakinya terasa pegal, dia menatap sedih buket bunga mawar yang ada di atas pangkuannya. Bola matanya terasa panas, rasanya mendadak ingin menangis, tapi Aluna segera tersadar, dia tidak boleh mengacaukan acara resepsi. Buru-buru ditahannya air mata yang sudah bersiap turun. Beberapa bulan lalu, semuanya masih terasa begitu indah dan bahagia. Hidup damai bersama orang-orang yang tercinta. Semua terasa sempurna, mimpi-mimpi yang tertata rapi, menanti untuk segera terwujud mendadak hancur berantakan.
Aluna tak pernah membayangkan bahkan dalam mimpi buruknya sekalipun, menikah tanpa cinta. Namun, kini kenyataan terasa begitu pahit. Aluna duduk di atas pelaminan, menikah dengan laki-laki asing yang baru saja dia kenal tiga minggu lalu. Semua karena suratan takdir yang tidak bisa ditebak dan sebuah fakta yang tidak bisa Aluna hindari. Tak ingin membuang energi percuma, Aluna memilih diam tak banyak bicara. Sampai acara resepsi selesai, dirinya dan Arjuna saling diam.
***

Comentário do Livro (57)

  • avatar
    Agnes Diah Lestari Baene

    bagus 💖🥰

    18d

      0
  • avatar
    Haqim Azmi

    best untuk di baca

    07/07

      0
  • avatar
    LizaArna

    ini sangat bagus

    03/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes