logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Part 6

GARA-GARA UANG ARISAN MERTUA
"Apa? Coba ulangi lagi! Apa yang kamu bilang barusan?" Mas Dennis mendekatkan telinganya ke mulutku.
"Mulai hari ini aku nggak akan pegang sepersen uang dari kamu, silakan kamu beliin sendiri mulai dari kebutuhan masak, kebutuhan kamar mandi, pokoknya kebutuhan seisi rumah ini." jelasku dengan menatapnya tajam.
"Wah ... penjelasan yang detail. Oke! Baguslah dari sekarang aku yang handle semuanya jadi kamu tidak akan ada celah buat korupsi uangku."
"Iya, memang bagus karena berkurang juga tugasku walaupun sedikit. Setidaknya jika uangmu cepat habis aku pun juga idak menjadi sasaran mulutmu yang kasar itu." cecarku.
"Oh ... hebat ... hebat ..." Mas Dennis menepuk tangan, bibirnya tertawa mengejek.
"Kamu baru tahu kalau aku hebat?"
"Apa, kamu hebat? Hebat apanya, mengurus rumah dan anak saja nggak becus, masak apalagi,"
"Terserahlah, percuma ngelandenin orang gila kayak kamu,"
"Udah makin berani ya kamu sekarang, Han. Atau ... ini ada hubungannya dengan Julio. Apa karena dia sudah mentransfermu sejumlah uang yang banyak. Iya? Apalagi gagal kemarin ngasihnya secara langsung," tuduh lelaki berkulit putih tinggi bak tiang listrik itu, lalu dia menyandarkan tubuhnya di dinding, tangan kirinya melipat di bagian atas perut sedangkan tangan memukul-mukul ringan pada hidungnya.
"Memangnya kenapa? Kok kepo banget sama urusanku dan Julio. Gimana rasanya lihat laki-laki lain membantuku dengan ikhlas, sakit? Kemana saja kamu selama ini, hah?" emosiku memuncak.
"Enggak lah, memang dasar kamu saja yang mur*h*n,"
"Mur*h*n mana antara aku dan Erlyn?" tantangku dengan tatap tajam.
"Eh ... kenapa nama Erlyn dibawa-bawa?" tanyanya, gerak-geriknya mulai kelihatan gugup.
"Aku tidak suka, itu urusanku kamu tidak perlu ikut campur,"
"Jelas aku ikut campur, ingat Erlyn itu hanya anak yang diangkat oleh ibumu, kenapa dia jadi lebih diistimewakan ketimbang Haseena dan Almeer?" protesku.
"Erlyn tidak bisa kamu bandingkan dengan anak-anak. Erlyn sudah banyak berjasa pada ibu. Jadi wajar saja aku royal padanya."
"Oooooohh ... termasuk membelikan dia tas dengan harga jutaan ketimbang membelikan anak-anakmu makanan enak, menurutmu itu tidak boleh dibandingkan? Iya? Harusnya dulu aku mendengarkan kata-kata Paman untuk tidak menerima pinanganmu.
"Ingat, Erlyn hanya berjasa pada ibu bukan padamu, Mas!" tambahku.
"Sama saja, ibu 'kan orangtuaku,"
"Kamu jangan seperti kacang bak lupa sama kulitnya. Kalau tidak siap menikah jangan melamar dulunya, ingat anak itu titipan yang musti dipertanggungjawabkan di akhirat nanti," tampikku. Aku bertolak ke dapur untuk mencuci piring.
"Halah ... nggak usah berkedok sok fitnah Erlyn lah kamu Han. Jangan jadikan Erlyn untuk menutupi hubungan gelapmu dengan Julio. Bilang saja kamu juga tidak terima aku royal pada ibu 'kan?" tuduhnya lagi.
"Untuk uang arisan kamu pikir saja sendiri penting mana yang arisan ketimbang makanan yang lebih sehat untuk anak-anakmu, jangan cuma bikin saja yang bisa. Jangan juga dulu sok ngelarang aku pakai KB," cecarku.
"Hahaha dasar nggak waras ngelantur kemana-mana. Dasar stres. Oh iya satu lagi, kamu nggak usah datang di acara arisan ibu, ngerepotin dan bikin aku malu juga," ucapnya dari belakangku, ternyata dia mengekoriku.
"Kamu pikir aku mau diajakin ke rumah ibumu? Kamu pikir aku akan bangga jalan sama kamu? Tidak!" aku membalikkan badan ke arahnya. Tangannya mengudara.
"Tampar ... tampar aja ... sekalian saja ambil pisau, bunuh saja sekalian. Biar kamu tahu rasanya gimana ngurusin anak dari A sampai Z," serangku. Dia mendengkus kasar dan berlalu. Tak lama kemudian terdengar deru mesin motornya.
Kalau tidak karena anak-anak masih kecil, aku sudah minta cerai dari dulu. Aku tidak mau anak-anak bernasib sama denganku, dibesarkan tanpa seorang ayah. Emak ditinggal Bapak karena perempuan lain saat aku duduk dibangku kelas satu SMP. Kuseka air mata, lalu lanjut mencuci piring.
Aku juga tak tahu mengapa bisa bertahan sejauh ini, entah harapku terlalu yakin dia akan berubah, entah takdir yang masih mengantarku tetap bersama.
🥀🥀🥀
"Ada apa Julio nelepon siang-siang begini?" tanyaku dalam hati.
"Iya, Jul, Halo,"
"Han ... maaf soal yang kemarin aku tidak ada maksud apa-apa,"
"Kalau tidak ada maksud apa-apa, kenapa kamu memberiku uang, Jul?"
"Aku kasihan sama kamu, harus berjualan online. Pasti Dennis tidak bisa membahagiakanmu ya 'kan?"
Aku menghela napas ringan.
"Jul, sekalipun aku dan Mas Dennis sedang dirundung berbagai masalah bagaimana pun dia masih suamiku. Mulai sekarang nggak usah hubungi aku lagi dan juga jangan pernah datang ke rumah. Kedatanganmu kemarin membuat semuanya menjadi runyam, Jul."
"Iya, Han. Aku minta maaf."
Setelah menjawab iya, aku pun mematikan sambungan telepon dan memblokir nomor Julio. Julio adalah rekan kerjaku, dia sempat mengatakan suka padaku, tapi karena aku tahu Julio lelaki playboy, jadi tak kuanggap serius. Lagian jika benar lelaki itu serius dengan cara apa pun pasti dia usahakan. Bukan hanya sekedar omong kosong belaka.
Sewaktu masih berpacaran dengan Mas Dennis. Julio pernah mengajak Mas Dennis untuk bertemu, kupikir hanya sekedar makan siang saja. Tapi tidak, Julio berpesan pada Dennis supaya tidak menyakitiku. Sekarang perlakuan simpati Julio padaku tak ada gunanya. Sekalipun kenyataannya Mas Dennis memang menyakitiku.
🥀🥀🥀
Aku memesan makanan lewat apikasi jufood, berhubung semalam aku mendapat rezeki yang lebih, hari ini aku mau membelikan makanan siap saji untuk anak-anak, ditambah lagi stok kebutuhan masak memang sudah tidak ada. Lagian anak-anakku juga berhak makan-makanan yang bergizi.
Dan tak kalah membahagiakan lagi, hari ini pesanan outer dan baju model gamis dan stelan lumayan banyak. Malah makin banyak dari yang semalam, masih siang sudah 20pcs baju dan outer yang terjual. Mungkin harga yang kutawarkan tidak begitu mahal seperti reseller lainnya, karena memang tujuanku yang penting banyak laku daripada memasang harga terlalu tinggi malah tidak ada yang membeli.
Setelah merekap dan mengirim bukti transfer pada Fizah dan Yusa, kini aku pun ingin berselancar di aplikasi berwarna biru. Sekedar mengecek-ngecek, kebetulan anak-anak lagi tidur siang kekenyangan karena mereka begitu lahap sekali makan nasi fillet sayur capcay ditambah kwetiau siram bakso dan sosis.
Kini mataku terfokus pada foto yang dijadikan oleh Bang Andika senior organisasiku di zaman kuliah dulu. Dia beda angkatan dan juga jurusan denganku. Tanpa pikir panjang dan semangat 45 tentunya, aku pun mengirim pesan kepada Bang Andika.
"Assalamu'alaikum, Bang."
"Masih ingat nggak sama Hanin?"
Tak selang berapa detik Bang Andika pun membalas pesanku.
"Waalaikumsalam, Han,"
"Ya masih ingatlah, Han. Apa kabar?"
"Baik, Bang. Abang apa kabar juga?"
"Alhamdulillah, baik,"
"Bang, masih nerima reseller nggak?" tanyaku tanpa sungkan, kami masih berbalas pesan.
"Boleh, Han. Ini nomor Abang, kita lanjut via WA saja ya!" dengan sigap aku pun menyimpan nomor Bang Andika, lalu langsung mengirim pesan padanya. Setelah berbalas balasan kini aku pun juga sudah resmi menjadi reseller Bang Andika. Selang berapa menit rentetan foto baju kaos oblong mulai dari orang dewasa hingga anak-anak terkirim padaku, belum lagi celana panjang dan pendek berbahan katun mulai dari ukuran laki-laki dewasa hingga anak-anak.
Tanpa perhitungan lama juga, aku pun memasangnya di story WA. Sekarang aku sudah mempunyai tiga orang owner masing-masing juga beda produk jualnya. Aku tak menyangka atas rezeki yang Allah berikan.
Aku berharap dalam waktu dekat jualan baju lewat online ini berkembang dengan pesat dan laris sehingga aku bisa punya toko offline sendiri.
Aku masih berselancar di aplikasi WA sibuk meladeni satu per satu pembeli ada yang closing ada yang sekedar tanya harga dan ukuran ataupun model. Tiba-tiba ...
Tok ... Tok ... Tok ...
"Assalamu'alaikum, permisi," terdengar salam dari luar tapi aku tak mengenali tamu bersuara laki-laki itu. Gegas aku memakai jilbab dan bertolak ke pintu utama.
Jantungku berdegup kencang siapa lagi yang datang kali ini.
"Waalaikumsalam," sahutku sembari berlari kecil ke pintu depan.
Kret!
"Oh, Pak RW. Ada apa ya, Pak?
"Ada yang perlu saya bicarakan dengan Bu Hanindia sebentar, bisa?"
"Bisa, Pak. Tapi kita bicaranya di luar saja ya, Pak. Suami saya sedang tidak di rumah soalnya," jawabku hormat.
"Iya, Bu. Saya ke sini mau nyampein pesan warga. Ada yang melapor ke saya karena merasa terganggu sama ibu sekeluarga karena suka ribut dikala pagi, siang, ataupun malam hari." ujar Pak Edin hati-hati.
"Maaf, Pak. Saya dan suami tidak bermaksud untuk membuat keributan. Sekali lagi maaf kalau sudah mengganggu, Pak bukan bermaksud seperti itu sebenarnya,"
"Kalau bisa jika ada masalah nggak usah sampai mengeluarkan suara keras seperti itu, Bu. Apalagi kita hidup bertetangga, belum lagi ini masalah rumah tangga tak seharusnya juga yang lain tahu permasalahan yang ada."
"Iya, Pak. Saya minta maaf. Sungguh tidak bermaksud membuat ketidaknyamanan di sini," belaku.
"Jika ada warga yang melaporkan lagi dengan perihal yang sama, mohon maaf, Bu. Mau tak mau ibu dan keluarga harus pindah dari sini."
"Baik, Pak. Saya berusaha untuk tidak membuat keributan di sini. Sekali lagi, maaf ya, Pak!"
"Baik, Bu. Kalau begitu saya permisi dulu," Pak Edin pun pamit lelaki yang mempunyai kumis lumayan tebal itu tinggal di gang satu lagi. Aku mengontrak di perumahaan bersubsidi cukup padat dan rapat juga, antar rumah hanya berbatas dinding. Tidak ada jarak ataupun pemisah lainnya.
Ketika ingin hendak masuk rumah ...
"Hei, Hanindia. Kalau bisa kamu pindah saja dari sini. Bikin keributan mulu, nggak punya malu." sorak Mba Lulu di depan rumahnya.
"Nggak usah pura-pura budeg kamu,"
Aku tak merespon dan menutup pintu, percuma juga meladeni Mbak Lulu yang mulutnya super super julid, tapi ...
"Apakah Mba Lulu yang melaporkan pada Pak RW?"
"Ya Allah, tolong beri hamba kesabaran atas semua yang terjadi akhir-akhir ini. Tunjukan jalan terbaik Ya Allah," pintaku.
Aku kembali berkutat dengan gawai pipih karena anak-anak masih terlelap, ketika sedang asyik berselancar di aplikasi hijau. Tiba-tiba ada notifikasi sms dari nomor baru muncul sekejap pada bagian atas layar. Biasanya aku tidak memperdulikan setiap sms yang masuk, tapi tadi sekilas aku sempat membaca ada kata-kata pinjaman online.
"Apa Mas Dennis ..."

Comentário do Livro (41)

  • avatar
    PUPUPUJIANTI

    Lebih hati hati

    19/08

      0
  • avatar
    ghinaNayla

    iyaa

    15/08

      0
  • avatar
    Ar'sakhadirgaa

    bagus lah

    26/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes