logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 3 Fazioli M Liminal

Evan bahkan sanggup untuk menahan lapar dan tidur hanya dua atau tiga jam setiap hari, jika ia sedang berkutat dengan pekerjaannya. Sampai-sampai Ken menduga bahwa kakaknya ini sudah berubah menjadi zombie sejak terjadinya peristiwa dua tahun yang lalu itu, peristiwa yang membuat Evan yang memang pada dasarnya adalah a busyman, naik kelas menjadi a high quality busyman.
Dari situlah Ken yakin, bahwa apa yang dikatakan aktor beken Keanu Reaves itu amat sangat benar, yaitu: Kesedihan tidak pernah berakhir, ia hanya berubah bentuk. Kakaknya telah membuktikan hal itu, dia menenggelamkan diri dalam kesedihannya, sampai tidak menyadari bahwa dia hampir mati tenggelam dalam lautan duka.
Sebenarnya, Ken juga sama khawatirnya dengan Mami mengenai kondisi Evan. Dalam sehari, Ken bisa lebih dari sepuluh kali menelepon Evan, tapi tidak pernah sekalipun Evan menjawab teleponnya.
Ken juga mengirimkan pesan, untuk memastikan apa Evan ada di apartemennya atau tidak. Pernah sekali Ken datang ke apartemen Evan, sampai puluhan kali ia memencet bel, Evan tidak membuka pintunya. Ken akhirnya menelepon manajer Evan, untuk bertanya tentang keadaan Evan, tapi ternyata Evan sudah memecat manajernya itu.
Saking emosinya, saat itu Ken bersumpah untuk tidak akan pernah lagi datang ke apartemen kakaknya. Tapi jika Mami sudah memohon sambil menangis, bagaimana mungkin Ken tega untuk menolak permintaannya?
Jika diminta untuk mendeskripsikan sifat kakaknya, maka Ken pasti akan mengatakan bahwa sifat Evan itu bengis dan kejam seperti iblis. Tapi jika dibilang iblis, kenyataannya Evan sangat baik hati dan pemurah kepada anak buah dan crew filmnya.
Evan bahkan mencatat semua tanggal ulang tahun mereka, dan selalu memberikan hadiah. Evan juga menyekolahkan anak- anak mereka di Sekolah-sekolah terbaik, karena bagi Evan pendidikan itu amat sangat penting. Di mata mereka, Evan bagaikan malaikat penolong.
Semakin Ken berpikir tentang kakaknya, maka Ken semakin dibuat bingung untuk mendeskripsikan seperti apa sebenarnya kakaknya itu.
Evan is a misterious man. Sometimes he looks like an angel, but sometimes he changes like a devil.
***
Sambil bersenandung kecil untuk tetap menjaga mood-nya yang tiba-tiba berubah setelah mengingat-ingat semua hal tentang Evan, Ken lantas bergegas masuk kedalam gedung, kemudian berlari-lari kecil untuk masuk ke lift yang akan mengantarnya ke lantai 20 gedung ini, lantai di mana apartemen kakaknya berada.
Beberapa menit kemudian, Ken sampai di depan pintu apartemen kakaknya. Ia menunggu sesaat sampai napasnya teratur, barulah ia menekan bel.
Pintu baru dibuka setelah Ken menekan bel untuk yang kesekian kalinya. Ken bahkan sudah memaki-maki dan memutuskan untuk pergi, ketika pintu akhirnya dibuka.
Raut wajah Evan yang menyambutnya dengan tatapan mata cekung, dan lingkaran hitam yang mengelilingi matanya, meyakinkan Ken bahwa kakaknya ini mungkin sudah tidak ingat lagi apa itu tidur.
Sesaat Ken lupa akan niatnya untuk memaki-maki kakaknya karena terlalu lama membuka pintu. Ken malah ingin menangis melihat kondisi kakaknya yang terlihat begitu kurus, dengan tulang pipi yang semakin menonjol serta sweater yang terlihat kebesaran di badannya. Dengan kondisinya sekarang, Evan nampak seperti penderita Anoreksia.
“Hai Aa, how’s life?“ Ken menyapa lalu memeluk kakaknya, sambil berusaha tersenyum lebar, untuk menutupi kesedihannya.
Evan Arashi balas memeluk adiknya, lalu kemudian menatap adiknya dengan tatapan yang tidak dapat diprediksi, sebelum akhirnya sebuah kalimat pendek keluar dari mulutnya “baik,“ katanya datar. Evan kemudian menepi dan membiarkan Ken masuk ke dalam apartemennya.
“Yakin?“ Ken bertanya singkat, lalu berjalan ke ruang tamu, yang dulunya terlewat rapi untuk ukuran seorang laki-laki, namun sekarang kondisinya sungguh tidak dapat dijelaskan, berbalik seratus delapan puluh derajat.
Ia lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, ruangan itu dilengkapi sofa minimalis yang bisa dibilang “amat laki” bercorak abstrak, dua kursi jati antik, dan sebuah meja bulat besar persis ditengah ruangan.
Meja yang sampai saat ini masih merupakan misteri bagi Ken mengapa Evan meletakkannya di situ. Di sudut ruangan, ada rak buku transparan dari kaca yang dipenuhi berbagai jenis buku untuk referensi film Evan, juga beberapa buku tentang musik dan filsafat.
Ada pula dua lemari sudut, yang satu dipenuhi berbagai plat dan piala, serta piagam penghargaan yang diraih Evan selama ini, dan yang satunya lagi dipenuhi dengan berbagai macam action figure dan juga komik, karena Evan memang senang mengoleksi keduanya.
Kemudian, Ken mengalihkan pandangannya pada meja kantor besar yang diletakkan tepat disamping lemari kaca. Ada 1 set PC model terbaru, 1 unit Macbook , 1 unit Notebook dan 2 set Printer multifungsi, karena selain untuk mencetak dokumen, bisa digunakan juga untuk fotokopi, scan dan fax.
Tampak kertas-kertas berserakan di sekitarnya, baik di atas meja, di atas printer, di kursi, bahkan di lantai sekitar meja.
Evan selalu mengatakan bahwa dia tidak terlalu suka mengetik naskah film di kamar kerjanya, dia lebih senang mengerjakannya di ruangan ini, karena jika dia menyibak gorden satin hitam yang menutupi jendela ruangan itu, maka cahaya matahari akan menembus kaca jendela yang memang sengaja dibuat transparan.
Dan seingat Ken, sejak dua tahun yang lalu, ia tidak pernah lagi melihat gorden itu tersibak, setiap kali ia datang ke apartemen kakaknya. Evan lebih suka ruangannya gelap, segelap hatinya sekarang.
Masih terus melanjutkan eksplorasinya, terakhir Ken menjatuhkan pandangannya pada sebuah Grand piano hitam Fazioli M Liminal, yang dirancang oleh Paolo Fazioli- Seorang Pianis sekaligus Pembuat piano terkenal asal italia, founder sekaligus owner dari pabrik pembuatan piano handmade “Fazioli Pianoforti” yang hanya memproduksi tidak lebih dari 100 buah piano setiap tahunnya- Grand piano fenomenal yang harganya jutaan USD ini, hanya ada 10 unit di dunia.
Bagi para pecinta musik klasik pada umumnya, mungkin Steinway and Sons bisa dibilang adalah merek piano terbaik di dunia, tidak ada yang bisa menyangkal fakta ini, karena Steinway and Sons sudah mendedikasikan diri selama hampir 160 tahun dalam dunia musik klasik, khususnya piano.
Belum lagi jika bicara touch-nya, makanya tidak heran jika 19 dari 20 pianis konser selalu memakainya. Legenda musik klasik: John Lennon, bahkan memakai Steinway and Sons dalam setiap konsernya, sampai-sampai Steinway and Sons membuatkan Grand piano edisi khusus, yang diberi nama sesuai dengan namanya, yaitu: John Lennon Steinway and Sons, yang merupakan salah 1 dari 5 Piano termahal di dunia.
Papi juga menggunakan Steinway and Sons dalam setiap konsernya. Tapi semuanya kembali lagi ke selera, Evan lebih memilih Fazioli M Liminal karena alasan estetika, dia tertarik dengan eksteriornya.
Menurut Evan, piano sejatinya lebih dari sekedar alat musik. Tak hanya diperhitungkan dari segi bunyi, tapi juga tampilannya. Makanya material pembuatannya juga tak bisa sembarangan, agar balutan kemewahannya jelas terlihat. Itulah yang ditawarkan oleh Fazioli M Liminal, instrumen indah berbalut kemewahan mebel Italia.

Comentário do Livro (3)

  • avatar
    DeeZidane

    apa ini

    08/06/2022

      0
  • avatar
    HaeraniIntan

    Hai saya memenangkan uang Rp 800

    21/02/2022

      0
  • avatar
    Keyzzamalik

    bagus

    21/02/2022

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes