logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

BAB 7

Aku tidak bisa tidur. Pikiranku sangat kacau sekali. Aku terus memikirkan kenapa Mas Bara bisa selingkuh dari aku. Aku berdiri menatap cermin. Tanganku meraba wajahku dengan ragu-ragu.
“Apa aku ini tidak cantik lagi bagi Mas Bara?” tanyaku dalam hati.
Mataku meneteskan air mata kesedihan. Wajah Arum tiba-tiba muncul di benakku. Mungkin Arum memang lebih cantik di banding aku. Wajah Arum yang terlihat dewasa. Alis tebal yang sempurna serta bibirnya yang memikat kaum Adam. Ya dia memang cantik. Tapi kenapa aku harus menjadi korban perselingkuhan. Kenapa Ya Allah?
Aku sudah berusaha menjadi wanita Solehah. Aku berhijab karena ingin menjadi istri yang taat. Aku tidak ingin mengumbar aurat ku. Karena nanti suamiku yang akan di tanyakan nanti di akhirat. Ya Allah apa keputusan aku memakai jilbab ini adalah salah? Ya Allah memang aku akui sejak aku memakai Jilbab Mas Bara seperti risih denganku. Ia seakan tidak setuju aku berhijab. Tapi salahkah aku mencoba untuk lebih taat denganmu, Ya Allah?
Pantulan diriku terlihat jelas di cermin. Kedua mataku lebam memerah karena air mata yang keluar begitu banyak. Rasanya aku ingin sekali berteriak. Aku ingin pergi ke sebuah bukit lalu aku teriak dengan kencang. Kini aku hanya bisa tersungkur lemas di depan meja rias.
Tiba-tiba ibuku masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk pintu.
“Bella, kamu sedang apa?” tanya ibuku dengan panik.
Kedua tanganku dengan kasar segera menghapus jejak air mata di pipi.
“Nggak papa 'kok, Bu.” Jawabku melihatnya sambil tersenyum.
“Sini sayang,” kata ibu langsung memeluk aku dengan hangat.
Pelukan yang sejatinya membuat aku tenang. Namun aku malah menangis dengan tersedu-sedu. Ibu tahu aku begitu patah. Ia mengelus-eslu pundakku. Pelukan yang sangat membuat aku semakin menyayangi ibuku. Hanya ibu yang bisa membuat aku tenang saat ini. Terimakasih ya Allah engkau telah memberikan ibu sebaik dia. Aku sangat bersyukur sekali. Aku mencoba untuk tidak menangis lagi. Pelukan kami berdua kini terurai pelan. Aku memandang ibu sambil tersenyum.
“Eh, ibu 'kok ikutan nangis sih,” omelku sambil menghapus jejak air mata di pipinya.
“Habis kamu nangis sih, ya ibu ikutan nangis dong!” ucap ibu lalu tertawa kecil. Dia lalu menghela nafas dengan keras.
“Kamu beneran nggak mau cerita masalah rumah tangga kamu?” tanya ibuku dengan serius.
Aku menggeleng pelan. Berusaha meyakinkan diri kalau aku bisa kuat tanpa harus bercerita kepada ibu. Kalau aku cerita ibu pasti akan sangat sedih sekali.
“Besok Bella akan pulang ke Mas Bara 'kok, Bu. Tenang aja ya?”tersenyum meski berat di dada.
“Baguslah kalau begitu, Nak.” Ibu mencium pipiku dengan lembut.
Aku bahagia sekali bersama ibu. Kini aku berganti mencium pipi ibu dengan gemas.
“Wangi seorang ibu itu sangat menenangkan ya?” seruku menatap ke atas.
“Ya tentu, karena seorang ibu itu adalah dia yang sejak bayi selalu menempel pada anaknya. Pokoknya ibu itu sangat ajaib. Penuh dengan pengorbanan. Hehehe ... “ ibu tertawa memuji diri.
“Ibu gimana sih? Kenapa ketawa coba?” seruku sambil tertawa menepuk lengannya.
“Ibu malu memuji diri sendiri. Kamu dong yang harus memuji ibu,” kata ibu dengan memasang wajah cantik.
Aku tertawa melihatnya. Ibu memang pandai membuat sedih menjadi sebuah kegembiraan.
“Ya ibu memang seorang yang sakral. Allah bahkan tidak mau meridhoi apapun jika ibu juga tidak ridho. Keren ya, Bu? Aku jadi pengin jadi seorang ibu,” ucapku berandai-andai.
“Ibu selalu doakan kamu sayang, supaya kamu bisa hamil,” kata ibu dengan kedua mata terbuka lebar. Ia seakan sangat ingin sekali kalau aku hamil.
Aku hanya bisa membalas dengan senyuman meski hatiku sedikit tercubit.
“Oh ya, sini, sini!” seru ibu segera menarik tanganku dan duduk di sisi kasur.
“Kamu tunggu di sini ya, ibu sudah ada jamu supaya kamu bisa hamil. Ya... Ini sebagai bentuk ikhtiar ibu. Sebentar ya, ibu ambil di dapur.” Ibu berjalan keluar dengan samangat.
Kupejamkan mata dan menghembuskan nafas dengan pelan.
“Jangan, Bella! Jangan nangis lagi,” ucapku dengan kuat di dalam hati.
Aku memikirkan perasaan ibu. Pasti ibu sebenarnya juga merasa sedih. Karena selama lima tahun ini aku belum juga hamil. Ya Allah, aku tidak tahu kapan akan hamil. Tapi semoga saja engkau memberikan jalan yang terbaik bagiku. Amin Ya Allah.
Beberapa menit ibuku masuk ke dalam kamarku sambil membawa gelas berisi jamu. Jamu berwarna kuning itu sangat membuatku ingin mual. Aku sama sekali tidak suka jamu. Ibu tahu itu.
“Ini adalah perjuangan kalau kamu ingin jadi seorang ibu. Meski kamu nggak suka sama jamu. Tapi kan kamu dan juga bara pasti ingin sekali 'kan punya momongan. Hm, apalagi ibu. Pengin banget punya cucu dari kamu. Lima cucu ibu jauh semua. Jadi ibu nggak punya cucu yang bisa ibu peluk,” ibu bercerita dengan wajah berseri-seri.
“Anya nggak pernah telpon ibu, ya?” tanyaku.
“Iya paling dua bulan sekali. Ya mungkin dia sibuk sama kerjanya juga sama anak-anaknya,” jawab ibu dengan datar.
“Nanti Bella coba deh, mau nelpon Anya. Kangen juga ternyata,” ucapku tersenyum.
Kini ibu memberikanku gelas berisi jamu itu.
“Harus banget ya, Bu?” tanyaku dengan ragu.
“Ya harus di minum dong sayang. Kasihan 'kan BI Sumi udah capek bikin jamu ini buat kamu,” kata ibu lalu mendorong sedikit gelas yang sedang ku pegang itu.
Aku memenuhi permintaanya. Bau jamu ini sangat membuat aku tidak nyaman. Tapi aku berusaha menelan air ini sebagai bukti kalau aku taat kepada ibuku.
“Ya Allah tolong permudah jalanku untuk menuju kehamilan,” ucapku dalam hati. Meski aku tidak tahu selanjutnya akan seperti apa. Mas Bara sudah ketahuan selingkuh. Masih bisakah aku bertahan. Entahlah hanya waktu yang bisa menjawab semua itu.
“Nah, enak kan? Nggak pait 'kan?”
Aku nyengir di depan ibu. Menahan rasa tidak enak di lidahku. Memang rasanya tidak pait. Tapi aku 'kan sama sekali tidak suka jamu.
“Anya aja sering banget waktu dulu masih tinggal di jakarta. Ibu menyuruh BI Sumi membuatkan jamu untuk Anya. Nah, kamu tahu sendiri 'kan? Anak adik kamu si Anya. Dia sudah punya lima anak,” seru ibu dengan bersemangat.
Aku tertawa kecil.
“Iya, Bu iya. Bella percaya 'kok,” ucapku mengelus lengan ibu. Lalu aku menyender di bahunya sambil memegang punggung tangannya.
“Doa ibu itu sangat mujarab Bu. Ibu doain Bella terus ya, supaya pernikahan Bella bisa langgeng sampai maut memisahkan,” ucapku dengan lembut.
“InsyaAllah sayang, ibu akan selalu berdoa yang terbaik untuk kamu,” kata ibu membuatku begitu tenang.
Malam ini aku tidur bersama ibu. Rasanya sangat menenangkan jiwa. Karena aku suka sekali bisa bermalam di desa tempat lahirku ini.

Comentário do Livro (113)

  • avatar
    AstutiRini

    wow🤯

    21/08

      0
  • avatar
    OktrilaMeny

    saya suka ceritanyaa bagus bangett saya kasih 1000/10

    12/08

      0
  • avatar
    PutriIka

    ʙɢᴜs ᴄᴇʀɪᴛᴀɴʏᴀ

    23/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes