logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 24 Gamang

"Kita bicara di dalam." Aksara menarik lengan Soraya supaya berdiri, wanita itu malah memanfaatkan situasi dengan memeluk Aksara. Dengan pelan Aksara mendorong tubuh Soraya.
"Tanpa kamera!" tegas Aksara pada seorang kameramen yang ikut berjalan masuk.
Aku menutup pintu, sang super model duduk di sofa. Dia menarik napas panjang, lalu berkata pelan, "Aku tahu di rumah ini ada CCTV."
"Apa yang kau inginkan? uang?" Aksara menyilangkan kedua tangan di dadanya.
Soraya pura-pura menangis lagi. "Aku hanya ingin bertemu dengan putriku ... Aku tidak ingin uangmu, Aksara."
"Dasar sinting!" Aku yang bergerak maju ingin menampar Soraya, dicegah Aksara--dia menarik pinggangku.
"Hasna, tenang," ucap Aksara.
Soraya berdiri, berhadapan denganku begitu dekat. "Aku hanya ingin merusak citra Aksara, seorang pengusaha yang memisahkan mantan istrinya dengan putrinya," bisik Soraya, menyeringai. "Ini adalah balasanku karena Aksara mempermainkan diriku."
Aksara semakin kuat memegang pinggangku, dia tahu aku ingin menyerang Soraya. Rasanya aku ingin menyumpal mulut Soraya dengan granat.
"Walaupun kalian memberikan klarifikasi, tidak akan mempan menghentikan berita yang beredar. Netizen tidak akan percaya begitu saja," lanjut Soraya, dia mengacak rambut panjangnya supaya semakin berantakan. "Aku akan pulang, terima kasih telah menyambutku dengan hangat."
Soraya melangkah keluar, dia melambaikan tangan sebelum menutup pintu.
"Lepas." Aku mendorong tangan Aksara dengan kasar. "Kenapa kau menghentikan aku? Aku ingin sekali mencekik leher Soraya, atau menampar mulutnya."
"Aku tidak rela tangan cantikmu menyentuh zombie macam Soraya," sahut Aksara. "Ternyata, kamu galak banget."
"Baru tahu?" sungutku.
"Biasanya lembut banget, tetapi kamu lebih cantik kalau sedang marah."
"Bukan waktunya ngegombal, pikirkan bagaimana keluar dari masalah ini," ujarku.
"Jangan khawatir, Hasna. Aku pasti akan membungkam Soraya." Aksara merangkul bahuku. "Sayang, walaupun marah kamu harus bersikap elegan," bisiknya di telingaku.
Mencak-mencak, tapi bersikap elegan? Bagiku itu mustahil jika menghadapi bunga bangkai bernama Soraya.
***
Amanda tengah duduk di depan jendela ketika aku masuk ke kamarnya. Wajahnya yang bengkak pasca operasi sudah berkurang. Amanda sering berkelakar, wajahnya seperti habis digebukin orang. Proses pemulihan dari bahu yang patah, dan sekarang pemulihan operasi plastik--kadang membuat Amanda pada titik terendah. Karena semua aktivitasnya terbatas.
"Hei."
"Hei, Ma." Amanda mengulas senyum.
"Mama mau menemui Bude Niken, setelah itu sekalian menjemput Edlyn. Kamu tidak apa-apa 'kan di rumah sama Lenni?"
"Aku baik-baik saja," sahut Amanda.
Setelah mencium pucuk kepala Amanda, aku berjalan keluar menuju mobil. Melihat sejenak motor bututku yang berada di pojok garasi. Motor penuh kenangan.
"Kita mau ke mana, Hasna? Ah, maksudku Bu Hasna." Pak Wirjo tersenyum lucu.
"Panggil saja Hasna, Pak," sahutku seraya memasang sabuk pengaman. "Ke rumah lama saya."
Mobil menderu membelah jalan raya, hanya membutuhkan waktu 15 menit sampai di rumahku--juga rumah tetangga baru yang sekarang sudah menjadi suamiku. Kedua rumah itu akan aku kontrakan dan Mbak Niken yang akan mengelolanya.
"Apa kabar, Hasna? Wow, kamu terlihat berbeda, bersinar bahagia," sambut Mbak Niken yang sudah menunggu di teras rumah.
"Baik. Ini untukmu, Mbak." Aku mengangsurkan kotak kecil perhiasan. Seperti ekspresi Lenni, Mbak Niken juga terkejut. Dia mengucapkan terima kasih yang berlebihan. Obrolan kami tidak berlangsung lama, aku menyerahkan dua kunci rumah pada Mbak Niken.
"Kalian tidak mengadakan pesta pernikahan?" tanya Mbak Niken.
"Sepertinya tidak, karena kondisi Amanda. Aku dan Aksara tidak butuh seremoni," jawabku. "Sampai jumpa lagi, Mbak Niken."
"Eh, Hasna!"
Aku membuka pintu mobil yang sudah hampir tertutup. "Apa, Mbak?"
"Apa, sih, rahasianya bisa menggaet pria seperti Aksara?"
"Ck. Tidak penting." Aku menutup pintu mobil, gelak tawa Mbak Niken masih terdengar. Dasar Mbak Niken.
Mobil melaju kembali, kali ini ke sekolah Edlyn. Ada kerumunan di depan gerbang sekolah. Apa ada demo? Namun, ketika mobil melewati depan gerbang sosok Soraya terlihat berada di tengah-tengah kerumunan--tubuh jangkungnya sangat mencolok.
Ya, Tuhan ... dia berbuat onar kembali.
Setelah mobil menepi, aku segera turun. Menyeruak kerumunan orang. Di punggung Soraya terdapat tulisan Aku rindu putriku. Satu juru kamera selalu on.
"Hei, Hasna. Maaf, aku terpaksa mendatangi sekolah Edlyn," ucap Soraya.
Aku mengembuskan napas perlahan, kesabaranku dalam posisi tertinggi--jadi aku bisa mengendalikan emosi. Edlyn muncul dari dalam sekolah. Dia berhenti melangkahkan kaki ketika melihat kami berdua.
"Edlyn!" seru Soraya menghampiri gadis manis itu.
Edlyn melengos, dia malah berjalan ke arahku. "Mama, ayo, kita pulang."
Aku menggamit lengan Edlyn. "Ayo. Bagaimana kalau kita mampir ke kantor Papa? Sepertinya tidak perlu, dia pasti sibuk."
"Lihatlah! Anakku tidak peduli denganku, karena otaknya telah dicuci mantan suamiku!" teriak Soraya kalap.
Kami berdua tidak memedulikan Soraya, berjalan masuk ke dalam mobil dan meminta Pak Wirjo segera menjalankan mobil.
"Mama Soraya benar-benar tidak waras," keluh Edlyn. "Aku malu mempunyai ibu seperti dia. Kenapa dia selalu membuat masalah? Sejak kapan dia merindukan aku?"
"Tahan amarahmu nanti kerutmu bertambah." Aku bercanda.
Edlyn tertawa kecil. "Kulitku belum kerutan, Mama yang kerutannya mulai terlihat."
"Oh, ya?"
"Walaupun kerutan, Mama tetep cantik," ujar Edlyn, dia melihat keluar jendela. Wajahnya agak murung setelah Soraya menyebar berita bohong.
"Apa temanmu mengganggumu, Lyn?" tebakku.
"Tiga hari belakangan, aku jadi bahan gosip paling sip di sekolah. Mereka bilang seharusnya aku menemui Mama Soraya, jangan menuruti kehendak Papa. Mereka juga bilang, Papa bertukar istri dengan Pak Mandala. Ih, Papamu kejam. Idih, keluargamu rumit."
"Dulu kamu bermusuhan dengan Amanda, sekarang jadi saudara. Ibu barumu ternyata dulu pembokat ...." Embusan napas Edlyn terdengar berat dan panjang.
Aku merengkuh bahu Edlyn.
"Jangan khawatir, Ma. Aku kuat. Aku baik-baik saja," pungkas Edlyn.
***
"Kamu belum tidur?" tanya Aksara yang baru saja masuk kamar. "Kangen sama aku? Karena seharian tidak bertemu?"
"Hari ini Soraya berbuat onar lagi, dia mendatangi sekolah Edlyn, makanya aku belum tidur," sahutku. "Bukan karena kangen. Dih."
"Aku tahu Soraya datang ke sekolah Edlyn," timpal Aksara sembari melepas dasinya.
"Ini sudah tiga hari berlalu, apa kau akan membiarkan Soraya begitu saja?"
Aksara mengeluarkan amplop besar warna cokelat dari dalam tas kerjanya, kemudian dia duduk di sampingku. Dia mengatakan sudah menemukan rahasia Soraya. Aku mengambil amplop dari tangan Aksara. Ternyata, berisi foto-foto Soraya.
"Foto ini hanya salinan," ucap Aksara, menempelkan dagunya di bahuku.
"Kamu tahu di mana Soraya sekarang?"
"Aku tidak tahu, anak buah Beny yang ...."
Aku menjeda ucapan Aksara. "Hubungi Beny, tanya keberadaan Soraya sekarang. Aku akan menyelesaikan malam ini juga."
"Tunggu besok pagi," cegah Aksara.
"Tidak bisa. Soraya dengan seenak jidatnya datang ke rumah kita pada dini hari." Aku meraih ponsel Aksara yang tergeletak di atas meja, mencari nomor kontak Beny. "Aku atau kamu yang menelepon, Pak bos?"
"Istriku bak Putri Salju dari luar, tapi di dalamnya seperti pendekar silat wanita," kelakar Aksara, dia mengambil ponsel dari tanganku. Lalu terlibat pembicaraan di telepon dengan Beny. Hanya sebentar.
Setelah Aksara mengatakan Soraya di vila beserta alamatnya, aku meraih kardigan dan bergegas keluar kamar. Aku tidak bisa menahan satu menit pun untuk segera menemui Soraya.
"Kamu ikut?" tanyaku pada Aksara yang ikut masuk ke dalam mobil.
"Aku tidak mungkin membiarkan istriku pergi sendiri," sahut Aksara. "Ternyata, sekarang waktu yang tepat untuk memberi pelajaran pada mantan istriku."
Pukul 23.05
Mobil yang disopiri Pak Ridwan--sopir pribadi Aksara, sudah sampai di depan vila dengan gaya rumah pedesaan dari kayu. Halamannya luas. Seorang pria bertubuh besar menghampiri mobil yang kami tumpangi. Satu lagi masih berdiri pada sisi mobil hitam yang terparkir di tepi jalan.
Aksara membuka pintu mobil, dan menjejakkan kakinya ke tanah.
"Pak Aksara bisa masuk ke vila melalui pintu samping. Penjaga sekaligus sopir walikota sudah tertidur pulas. Mereka berdua di ruang keluarga."
"Terima kasih, Ben. Maaf, jam istirahatmu terganggu," ucap Aksara, menepuk pundak Beny ketika melewati pria itu.
Aku mengikuti langkah Aksara. Dengan perlahan dia menggeser pintu rumah ala Jepang. Aku mendengar suara musik mengalun--Hurts So Good--lagu yang sering diputar Amanda dan Edlyn. Dua orang dewasa duduk di sofa, berpelukan dan 'bersilat lidah'.
Aku jengah dengan pemandangan yang tersaji, sementara Aksara terus berjalan mendekat. Dia duduk di ujung sofa, sejurus kemudian berkata, "wow, malam yang panas."
Kedua manusia yang tengah tenggelam dalam kenikmatan, terlonjak kaget. Soraya cepat-cepat merapikan kemejanya yang berantakan. Pria itu pernah aku lihat di toko roti beberapa waktu yang lalu.
"Selamat malam, Pak Danu," sapa Aksara. "Jika setiap malam Anda menemui Soraya, Anda pasti tidak menyisakan amunisi untuk istri tercinta di rumah."
"Pak Aksara, kenapa Anda bisa di sini?" tanya Pak Danu, pria itu terlihat gugup sekali.
"Oh, aku mengikuti rubah betina yang membuat masalah denganku," jawab Aksara. "Hasna, mana amplopnya?"
Aku mengangsurkan amplop besar pada Aksara. Lalu Aksara mengeluarkan foto, menjejerkan di meja. Pak Danu dan Soraya semakin pucat pasi.
"Kalian bisa menyimpan foto-foto itu, bisa dilihatkan ke anak cucu, betapa tidak bermoralnya kalian. Ah, aku juga mempunyai rekaman kalian." Aksara menaruh ponselnya di meja, memutar video yang membuatku memalingkan muka.
"Anda ingin memeras saya?!" tuduh Pak Danu.
"Soraya jika kamu tidak membuat klarifikasi, semua akan tersebar. Aku beri waktu ... sebelum matahari terbit." Aksara beranjak dari kursinya. "Jadi Pak Walkot yang terhormat, buat rubah betina itu mau mengakui kebohongannya. Bujuk dia, maka rahasia Anda akan tersimpan rapat," lanjut Aksara.
Soraya terdiam. Kali ini dia tidak garang. Aku tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan. Pasti dia tidak ingin mukanya tercoreng dengan berita perselingkuhan.
"Putri Salju, ada yang ingin kaukatakan?" Aksara memandangiku.
"Soraya, tolong pikirkan Edlyn, sekali saja," ujarku, memutar badan dan berlari keluar. Aku terus berlari, dan berhenti di dekat mobil.
"Hasna, ada apa?" tanya Aksara dengan napas tersengal.
"Tolong, jangan sebarkan foto dan video itu, kasihan Edlyn. Bagaimanapun Soraya adalah ibu kandungnya. Aku tidak ingin teman-teman sekolah Edlyn mengejeknya," ungkapku dengan perasaan yang tidak menentu. Aku tidak ingin Edlyn merasa malu walaupun dia selalu bilang baik-baik saja.
Aksara menatapku, tadi aku begitu menggebu-gebu ingin membungkam Soraya, sekarang aku berubah 180°.
"Aku mengerti, jika Soraya tidak mau mengakui kita cari jalan lain. Tenang, Hasna ...."
"Mungkin kita bisa mengadakan konpers, untuk klarifikasi, walaupun mungkin tidak berguna," ucapku, mengusap sudut mata yang basah.
"Kita tunggu sampai esok pagi." Aksara memelukku.
Aku menginginkan jalan keluar yang tidak menggores hati Edlyn.

Comentário do Livro (409)

  • avatar
    hariadirafi

    yes

    07/07

      0
  • avatar
    syaCha

    cerita menarik dan terasa lebih berbeda dari novel-novel sejenis lainnya. suka dan gemes banget sama alur cerita yang naik turun problematikanya, makasih banyak author udah bikin hiburan buat pembaca🤗💌🌟🌟🌟🌟🌟

    15/03

      0
  • avatar
    Peachburn

    loved this novel sbb bagi saya kurang konflik

    07/02

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes