logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 22 Pingsan

Aku terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Tangan kiriku dipasang infus.Pada bagian leher terasa nyeri dan bengkak. Pipiku lebam, pelipis robek. Beruntungnya aku tidak mengalami cedera parah. Aku menoleh ke arah kiri. Amanda dan Edlyn tertidur di sofa.
Aksara duduk di kursi--samping ranjang, dia juga terlelap. Kepalanya tersuruk di ranjang. Jemariku menyusuri rambutnya.
Tadi siang ketika aku tersadar, wajah-wajah panik mengelilingi diriku--Amanda yang memelukku, Edlyn yang menangis dan Aksara yang terlihat emosi, antara sedih dan geram.
Menurut cerita Amanda, setelah tubuhku dilempar keras ke dinding dan tidak sadarkan diri, Mandala panik. Dia membopong tubuhku lalu keluar rumah, tapi, Aksara muncul. Mereka terlibat perkelahian siapa yang berhak membawaku ke rumah sakit.
Setelah menganiaya diriku, Mandala khawatir? Sepertinya dia tidak waras.
"Hasna," lirih Aksara, dia menegakkan badan. Matanya nampak merah. "Kamu butuh sesuatu?"
"Aku haus," jawabku sambil melihat jam dinding, pukul satu dini hari.
Aksara meraih gelas berisi air putih, kemudian membantuku minum.
"Terima kasih," ucapku setelah menyedot air putih hampir setengah gelas.
Aksara meletakkan kembali gelas di atas nakas. Tangannya mengusap pipiku dengan lembut. "Maafkan aku, tidak bisa melindungimu. Aku datang terlambat."
"Tidak perlu minta maaf, itu bukan kesalahanmu," sahutku.
"Hasna, besok kita menikah. Aku sudah menyiapkan semua," ucap Aksara. "Kita menikah di rumah sakit. Aku ingin melindungimu dari Mandala."
"Besok?" Aku bertanya.
"Besok pagi. Kamu tidak setuju?"
Aku mengulas senyum. "Siapa yang bilang tidak setuju?"
"Mandala melarikan diri, aku khawatir dia akan menyerangmu lagi." Aksara mengesah. "Aku tidak menyangka dia bertindak brutal padamu. Ohhh, aku membayangkan saat dia mencekikmu," lanjut Aksara.
Aku memejamkan mata, kepalaku berdenyut pusing. Aksara sudah melaporkan Mandala ke pihak berwajib.
"Tidurlah." Aksara menepuk-nepuk punggung tanganku sebelah kanan. "Jangan takut, Hasna."
Aku memang takut jika Mandala mendadak muncul. Matanya yang tajam berkilat iblis saat mencekik leherku, rasa hampir kehilangan napas masih berbekas. Aku hampir mati di tangan Mandala.
***
Aku tidak pernah menduga, menikah dalam kondisi sakit--di dalam kamar rawat inap. Tidak ada bunga maupun musik. Tidak ada perayaan. Namun, cinta dan kasih dari Aksara melebihi apa pun. Dia untuk kali pertama mengecup pipiku.
"Aku janji akan mengadakan pesta untuk merayakan pernikahan kita," bisik Aksara di telingaku, "setelah kondisimu sehat."
"Aku tidak minta apa pun," sahutku. "Ada kalian bertiga sudah membuatku bahagia."
"Pak Aksara, tolong jangan sakiti Mama. Mama perempuan hebat." Amanda tersedu, tangannya menggenggam jemariku. Amanda masih sering menangis, walaupun aku sudah bilang baik-baik saja. Kejadian brutal telah mempengaruhi Amanda.
"Manda panggil aku Papa," pinta Aksara.
"Kita 'kan sudah menjadi satu keluarga," timpal Edlyn.
Amanda menyusut air matanya. "Maaf, aku butuh proses ...."
"Tida apa-apa," ujar Aksara.
"Prosesnya tidak lama, kok. Super kilat," sahut Amanda tersenyum lebar. "Papa, kalau Papa membuat Mama menangis. Aku orang pertama yang akan mencubit jantung Papa."
"Dan aku orang kedua yang akan memukul dengkul Papa dengan tongkat baseball," sungut Edlyn.
"Waduh, kalian kejam." Aksara tertawa.
"Sudah cukup, kalian bertiga berisik sekali. Membuat telingaku sakit, tetapi hatiku bahagia," ujarku ingin tertawa, tapi tenggorokanku terasa sakit.
"Yes, sebentar lagi kita akan punya adik bayi." Edlyn merangkul bahu Amanda.
Edlyn membahas bayi lagi, aku hanya tersenyum menanggapinya.
Mendadak pintu kamar rawat inap terbuka dengan kasar, Mandala berdiri di ambang pintu. Walaupun dia memakai topi dan jaket serba hitam, aku bisa mengenalinya.
Amanda langsung berdiri di sisi ranjang seolah ingin melindungiku. Edlyn tampak ketakutan.
"Jangan melangkah lagi!" Aksara menghadang Mandala.
Mandala bersimpuh, bahunya bergetar--dia menangis. "Maafkan aku, Hasna. Aku terbutakan rasa cemburu. Maafkan aku."
Aku tidak menyahut.
"Serahkan dirimu ke pihak berwajib," perintah Aksara.
"Maafkan aku, Hasna ...." Mandala semakin tertunduk. "Maafkan Papa Amanda."
"Papa, untuk saat ini Mama belum bisa memaafkan Papa, aku juga belum bisa memaafkan Papa. Tidak mudah bagiku melupakan kejadian itu. Papa berubah menjadi monster, dengan kalap menyerang Mama. Sangat mengerikan," ungkap Amanda. "Penjara adalah tempat terbaik untuk Papa."
Mandala berdiri. "Papa akan menyerahkan diri ke pihak berwajib. Maafkan aku, Hasna."
Aku memalingkan muka. Wajah Mandala membuatku takut. Gemuruh amarah di dada juga muncul. Perasaanku campur aduk. Aku melihat kedua tangan Aksara mengepal, dia berusaha menahan emosi.
"Tolong, pergi dari sini," pintaku. "Pergilah."
"Pak Mandala, Anda harus ikut kami ke kantor polisi." Muncul dua orang polisi berpakaian biasa. Sebenarnya kedua polisi itu sudah berada di rumah sakit sejak kemarin, mereka berasumsi Mandala akan mendatangi diriku. Mereka meringkus Mandala, kedua tangannya di borgol.
Aku mengembuskan napas lega. Amanda masih menggenggam tanganku kuat-kuat. Air mata kembali merembes di matanya.
"Aku kecewa dengan Papa." Amanda terisak.
"Sudah, Manda ... Semua pasti berlalu," ucapku.
***
Matahari sudah meninggi, sinarnya menyeruak masuk melalui kisi jendela, sedikit menyilaukan mata yang baru terbuka. Aksara tidak berada di tempat tidur. Mungkin dia sudah berangkat kerja, tapi sekarang hari Sabtu. Aku sempat bangun ketika hari masih subuh, karena kondisi yang belum sehat--aku terlelap kembali.
Perlahan aku beranjak turun dari pembaringan, berjalan ke arah jendela lalu membuka semua tirai jendela. Ini hari kelima aku tinggal di rumah Aksara, setelah satu minggu dirawat di rumah sakit. Statusku sekarang adalah istri Aksara, namun terkadang aku belum memercayai hal indah yang telah terjadi.
Aku melihat Amanda dan Edlyn sedang duduk di kursi ayunan. Mengobrol sambil menikmati sepiring biskuit gandum. Edlyn melambaikan tangannya begitu mengetahui keberadaanku--yang memandangi lewat jendela.
"Sudah bangun?"
Aku menoleh, Aksara menutup pintu kamar kembali. Wajahnya penuh peluh, dia pasti baru saja selesai berolahraga.
"Baru saja," sahutku.
Aksara melepas kausnya, sehingga lekukan sempurna terpampang di mata. Segera aku mengalihkan pandangan, dia suamiku, tetapi mengapa aku merasa malu? Pipiku pasti bersemu semerah apel.
"Kenapa?"
"Kenapa apa?"
"Kenapa malu melihatku bertelanjang dada?"
"Siapa yang malu?" sanggahku.
"Nyatanya kamu tidak melihat ke arahku. Kemarin pagi waktu melihatku keluar dari kamar mandi, kamu langsung ngumpet di balik selimut. Apa aku sangat memesona?"
Sangat memesona sehingga detak jantungku berlarian.
"Tidak. Biasa saja," jawabku, memberanikan diri menatap wajah Aksara. Kami berdua pasangan pengantin baru, namun belum menjejaki malam pertama. Kondisi kesehatanku yang menyebabkan malam istimewa tertunda untuk sementara.
"Oh, ya?" Kening Aksara berkerut.
"Aku mau ke dapur dulu." Aku berjalan melewati Aksara.
"Apa nanti malam kamu sudah siap?"
Aku berbalik, memandangi Aksara dengan heran lalu bertanya, "nanti malam kita mau ke mana?"
"Berkelana jauh."
"Keluar kota?"
"Bukan keluar kota, Sayang. Aku sudah berjanji pada Amanda dan Edlyn akan memberikan adik bayi." Senyum genit tercetak di bibir Aksara.
Ada yang menghangat di aliran darah. "Hmmm, kita lihat saja nanti malam," ucapku.
"Hasna."
"Apalagi?"
"Aku bahagia bersamamu."
"Aku tahu itu," sahutku, melangkahkan kaki keluar kamar.
Di dapur Lenni sedang duduk sambil membaca tabloid wanita. Seperti biasa, kacamata yang dipakai melorot sampai ke hidung.
"Selamat pagi, Nyonya Hasna," goda Lenni.
"Ck. Sekali lagi panggil Nyonya, aku timpuk dengan telur." Mataku mendelik.
"Sepertinya kamu sudah sehat, makanya bisa galak," ujar Lenni. "Nanti siang ada ART baru, sesuai permintaan Edlyn, umurnya lebih dari 50 tahun. Sama denganku."
Aku mengambil sepotong roti tawar dan melahapnya tanpa diolesi selai sambil membuat teh.
"Kamu atau aku yang mewawancarainya?"
"Kamu saja," jawabku dengan mulut penuh roti.
"Bu Hasna, ada yang mencari Ibu." Pak Wirjo memberitahu. "Pak Aksara sudah menemuinya."
"Siapa?" tanyaku.
"Bu Rosie."
Ya, Tuhan, dia pasti datang disertai angin ribut.
"Hasna, aku pikir dulu sambalnya kurang pedas makanya mantan mertuamu belum kapok," seloroh Lenni. "Harusnya granat yang disumpal ke dalam mulutnya."
"Sadis," tukasku, menggerakkan kedua kaki menuju ruang tamu. Tampak Bu Rosie duduk di atas kursi rodanya, ditemani seorang perawat wanita.
"Bu Rosie datang, Sayang. Dia ingin kamu mencabut tuntutan pada Mandala," ujar Aksara.
Aku duduk disebelah Aksara. "Maaf, tapi saya tidak bisa melakukan itu."
"Dasar sombong!" umpat Bu Rosie.
"Jangan mencaci Hasna!" seru Aksara. "Saya menghargai Anda, karena Anda lebih tua."
"Kehadiranmu hanya merusak kehidupan Mandala!" teriak Bu Rosie.
Bu Rosie tidak berubah sedikit pun. Dia tidak meminta maaf atas penganiayaan yang dilakukan Mandala.
"Dasar pasangan kumpul kebo, belum menikah sudah tinggal satu atap. Kamu tidak ubahnya seperti pelacur!"
"Cukup! Saya mempersilakan Anda masuk, tapi Anda malah terus-menerus menghina Hasna." Aksara berdiri. "Heri!"
Pak Heri--satpam rumah tergopoh-gopoh masuk.
"Iya, ada apa, Pak?" tanya Heri.
"Ingat wajah wanita tua itu." Jari telunjuk Aksara mengarah ke Bu Rosie. "Jika dia datang lagi, langsung usir. Mengerti!?"
"Pelacur, wanita murahan!" hina Bu Rosie.
"Hasna istri saya, kami sudah menikah," tutur Aksara.
"Bagiku dia tetap wanita murahan, hitam seperti air comberan," sungut Bu Rosie. Tiba-tiba dia agak kejang, dan bibirnya miring.
"Nyonya Rosie." Si perawat terlihat khawatir.
Aku yang hendak berdiri dicegah Aksara, dia menarik lenganku. "Biarkan saja. Heri, tolong tunjukkan jalan keluar pada tamuku."
Perawat itu segera mendorong kursi roda, kepala Bu Rosie terkulai lemah. Bibirnya semakin tertarik ke atas.
Aksara merangkul bahuku. "Akan kuinjak kepala orang yang menghinamu."
Aku menyusupkan kepala di dada Aksara, mencari rasa nyaman dan aman. Aku sekarang punya tempat untuk mengadu, melindungiku dari apa pun. Aku mempunyai teman hidup yang akan berjalan sampai akhir bersamaku.
***
Aksara menggandeng tanganku, hari ini dia membawaku mengunjungi salah satu toko perhiasan miliknya di pusat perbelanjaan. Setiap pegawai menyapa dengan ramah.
"Pilih sesuka hatimu," ujar Aksara. "Aku mau bicara dulu dengan manager toko. Fitria, tolong layani istriku dengan baik."
"Baik, Pak." Fitria gadis manis yang mungkin berusia 20 tahunan, tersenyum ramah padaku.
"Aku tinggal dulu, ya?" Aksara berjalan masuk, menuju ruang lain.
Aku ingin memberikan hadiah untuk Mbak Niken dan Lenni.
"Silakan duduk, Ibu," ucap Fitria.
Aku duduk. Memandangi deretan perhiasan. Aku ingin memilih cincin, tapi aku tidak tahu ukuran jari mereka berdua. Mungkin anting lebih tepat. Yang sederhana, dan tidak mencolok.
Saat aku asyik memilih anting, segerombolan wanita kelas atas masuk ke dalam toko. Aku hanya menoleh sebentar.
"Yang itu." Aku menunjuk anting model tusukan alias giwang.
Tangan Fitria yang memakai sarung tangan mengeluarkan satu kotak besar berisi berbagai macam model anting.
"Kamu sedang mengantar majikan, Hasna?"
Dari suaranya aku tahu itu suara milik Soraya. Aku tidak menggubrisnya.
"Hei, teman-teman ini lho ART yang sok cakep. Kegatelan ingin mempunyai suami kaya," kata Soraya, melecehkan.
Aku menarik napas, berdiri berhadapan dengan Soraya. "Jaga mulutmu."
"Wow, dia marah. Dia kepanasan!" ejek teman Soraya.
Soraya menarik lengan blus yang kukenakan. "Ini pasti tiruan. Benar 'kan, Dee?"
Dee. Teman yang dipanggil Soraya mendekat. Jarinya ikut menyentuh blus-ku. "Ini original, Beb."
"Pasti majikan barumu yang membelikan blus mahal ini," sungut Soraya. "Ini brand Korea Selatan yang terkenal, mana mungkin kamu sanggup beli. Dan itu tas milikmu? Majikanmu ternyata royal sekali, ART-nya dibelikan tas seharga lima belas juta."
"Aku yang membelikan blus dan tas itu." Aksara muncul, dia berdiri di sampingku, menggamit pinggangku dengan mesra. "Perkenalkan ini Hasna, istriku."
Wajah Soraya terlihat terkejut. Matanya membulat, mulutnya menganga. "Tidak mungkin."
"Kami berdua sudah menikah," lanjut Aksara, dia menarik tangan kiriku. "Cincin yang Hasna kenakan juga asli. Aku tidak mungkin membelikan barang palsu untuk istriku."
"Tidak mungkin, kamu bangkrut ... Tidak mungkin ....." desis Soraya.
"Aku hanya berpura-pura bangkrut, Soraya," jelas Aksara.
Soraya semakin terkejut. Wajah putihnya pucat sekali, tubuhnya sempoyongan. "Kau menipuku, Aksara."
Sepertinya Soraya akan pingsan.
Ya, otw pingsan.

Comentário do Livro (409)

  • avatar
    hariadirafi

    yes

    07/07

      0
  • avatar
    syaCha

    cerita menarik dan terasa lebih berbeda dari novel-novel sejenis lainnya. suka dan gemes banget sama alur cerita yang naik turun problematikanya, makasih banyak author udah bikin hiburan buat pembaca🤗💌🌟🌟🌟🌟🌟

    15/03

      0
  • avatar
    Peachburn

    loved this novel sbb bagi saya kurang konflik

    07/02

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes