logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 21 Hitam

"Apa yang kamu bawa?" tanya Aksara.
"Aku buat mie goreng."
"Ayo, masuk."
Aku menggelengkan kepala. "Kita duduk di teras saja," tolakku, "jika kita berdua di dalam rumah akan menimbulkan fitnah. Aku juga takut dengan diriku sendiri."
Aku langsung duduk di kursi teras, Aksara malah menatapku dengan ekspresi bingung. "Ada apa, tidak boleh duduk di sini?"
"Kenapa takut dengan dirimu sendiri?" Kepala Aksara meneleng ke kiri. Aku menggelepar karena kehabisan napas.
"Karena ada sesuatu yang ... Ah, sudahlah, kamu tidak menawarkan aku kopi atau teh?"
"Baiklah, Nyonya."
Aksara masuk ke dalam rumah, sementara aku mengamati langit yang semakin cerah.
"Kopi untuk Anda, Nyonya." Aksara meletakkan cangkir kopi di meja, dia duduk di kursi satunya lagi. "Apa aku membuatmu khawatir?"
"Sedikit," sahutku.
"Aku hanya ingin memberimu kejutan," ujar Aksara, enteng.
Aksara memang memberikan kejutan yang luar biasa. Kemudian dia menceritakan masalah keuangannya, pengelolaan dana yang salah dan terlalu banyak berhutang. Aku pikir, tidak mungkin seorang Aksara bisa melakukan kesalahan. Akan tetapi manusia bisa tergelincir walaupun sudah sangat berhati-hati. Sedang Edlyn masih bersekolah di sekolah yang lama, karena sudah membayar sampai akhir semester.
"Sepertinya aku harus mencari pekerjaan baru," cetusku, menghela napas. "Tidak mungkin lagi bekerja di rumahmu."
"Kamu tetap bekerja di rumahku, Hasna," ucap Aksara serius.
"Bekerja di rumahmu yang sekarang?"
"Kenapa?"
"Bukannya aku menghinamu, tapi lebih baik kamu gunakan uangmu untuk kebutuhan Edlyn," terangku.
"Maksudku, kamu bekerja di rumahku sebagai istri, bukan sebagai ART. Maksudku ... Maukah kau menikah denganku?" Mata Aksara menatap lekat.
"Ini lamaran? Maksudku, ini hadiah yang pernah kamu janjikan?" Aku balik bertanya. Biasanya lamaran dengan makan malam romantis, seikat bunga dan diiringi musik.
"Iya, aku melamarmu. Aku ingin menikahimu secepatnya," tandas Aksara.
Aku tersenyum. "Aku bersedia jadi istrimu."
Aksara meraih jemari tanganku dan menyematkan cincin dengan desain sederhana berhiaskan batu kecil berwarna pink muda. Kemudian Aksara menggenggam tanganku.
"Hasna, aku ...."
"Eh, Bu Hasna!"
Aku menoleh ke sumber suara, segera menarik jemari dari tangan Aksara. Bu Tyas, Bu Rina dan Mira. Mereka datang seperti pasukan yang merusak momentum indah.
"Kenalan sama tetangga baru kok tidak ajak-ajak? Mau di kekepin sendiri, ya? Bu Hasna 'kan sudah punya Pak Mandala," cerocos Bu Rina.
Mereka pun satu per satu mengenalkan diri pada Aksara. Aku yang berdiri di samping Aksara hanya bisa diam. Biarkan mereka menikmatinya.
"Pak Aksara istrinya di mana?" tanya Bu Tyas. "Kalau belum punya istri, sama Mira aja. Dia janda tanpa anak."
"Saya sudah punya calon istri," sahut Aksara, lalu tangannya menarik lenganku. "Calon istri saya Hasna. Kami akan segera menikah."
Ketiga wajah di hadapanku melongo kaget yang kemudian berubah menjadi mimik rasa tidak senang.
"Lho, bagaimana dengan Pak Mandala yang keren dan kaya?" Bu Rina melihat ke arahku.
"Hubungan kami hanya sekadar hubungan teman dan orang tua Amanda. Tidak lebih," jawabku.
"Sejak kapan kalian saling kenal?" tanya Bu Tyas.
"Lupa tepatnya kapan," sahut Aksara. "Tidak penting, karena yang terpenting Hasna bersedia jadi istri saya."
Walah, Aksara pakai cium punggung tanganku. Membuat mereka bertambah kecut.
"Tidak penting Pak Aksara mau menikah. Sebelum janur kuning melengkung masih milik umum, bisa ditikung kapan saja." Mira berseloroh.
"Maaf, itu tidak mungkin. Hati saya sudah jadi milik Hasna," ungkap Aksara. "Saya tipe pria setia ibu-ibu."
Aku menahan tawa mendengar ucapan Aksara, dia masih saja menggenggam tanganku.
"Pria di mana pun, tidak mungkin tahan dengan godaan." Mira mengibaskan rambutnya. "Lihat saja nanti."
Ketiga wanita beda usia itu berlalu pergi dengan ocehan iri.
"Aku tidak akan tergoda. Kamu harus percaya padaku." Aksara tersenyum.
"Sudah, lepaskan tanganku. Aku harus pulang mau jemur pakaian, mumpung cuaca cerah." Aku menarik tanganku, kemudian berjalan menuju rumah.
"Jangan cemburu aku menjadi idola ibu-ibu kompleks perumahan." Tangan Aksara bertumpu di pagar tembok pembatas rumah kami, matanya terus mengekori--membuatku jengah.
"Cemburu itu wajar," sahutku sambil memegang gagang pintu. "Aku masuk dulu, ya ...."
Aksara melambaikan tangan. Aku melangkah masuk ke dalam rumah--menatap cincin di jari manis. Ancaman dari Mandala berkelebat. Semoga itu hanya gertakan.
***
Hari ini Edlyn berulang tahun yang kelima belas. Amanda ingin memberi kejutan setelah pulang sekolah. Walaupun masih kaku, setidaknya Amanda ingin menjalin hubungan yang lebih baik dengan Edlyn.
"Kita akan menjadi satu keluarga, Ma," ucap Amanda tadi malam. "Lihatlah, mata Mama penuh kebahagiaan."
Aku memarkirkan motor, beranjak masuk ke dalam toko kue. Aku melihat-lihat kue dari ukuran besar sampai kecil di etalase kaca, juga tentunya melihat harga. Aku menjatuhkan pilihan pada cheese cake.
Setelah membayar kue, aku memutuskan duduk sebentar di kursi, menegak air mineral dari botol. Mengecek beberapa pesan yang masuk. Ada dari Mbak Niken yang mempertanyakan gosip tentang aku dan Aksara. Ada pesan dari Edlyn yang mengucapkan selamat pagi. Dan, pasti ada pesan dari Aksara, hanya deretan emoji cinta, senyum, bunga.
"Dasar konyol," desisku, menahan tawa.
"Dunia ini memang sempit. Kenapa aku selalu melihatmu."
Aku mendongak. Sang super model tengah berdiri di sisi meja dengan pongah. "Pura-pura saja tidak melihatku. Atau tidak perlu menyapa. Beres, 'kan?"
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Pertanyaan Soraya benar-benar absurd.
"Ya, beli kue." Tanganku kiriku menepuk-nepuk kotak kue. Aku yakin, Soraya tidak mungkin ingat hari ulang tahun Edlyn.
Mendadak, tangan Soraya menarik jemariku. Dengan serius dia meneliti cincinku. "Ini pasti imitasi, kamu tidak akan mampu beli, walaupun seumur hidup kamu banting tulang bekerja" katanya, "ya, golongan orang miskin sepertimu hanya bisa beli cincin permata palsu."
"Memang yang asli harganya berapa?" Aku menarik tanganku.
"Satu karatnya mencapai 40 juta. Kamu beli di mana? Barang palsu dengan kualitas tinggi. Kalau kaum jetset yang pakai aku bisa terkecoh." Soraya masih memandangi cincinku.
"Aku tidak beli, ini pemberian Aksara," jawabku.
Wajah cantik itu tampak terkejut, tapi buru-buru dia tergelak. Tawa yang jelas sangat di paksakan.
"Oh, pantesan, pasti Aksara tahu tempat jual beli permata palsu," ucapnya, kemudian mengembuskan napas.
"Sayang ...." Seorang pria usia 50 tahunan menggamit pinggang Soraya. "Sudah beli kuenya?"
"Belum," jawab Soraya, dia berjalan menuju etalase kaca toko.
Aku mengamati cincin pemberian Aksara. Dengan kondisinya sekarang apa dia mampu beli cincin permata? Menurutku ini hanya batu biasa, tapi kenapa terlihat sangat indah? Ah, aku tidak perlu mempedulikan ucapan Soraya.
***
Edlyn memberi potongan kue pertamanya pada Amanda. "Ini buat lu, Manda."
Amanda tampak terperanjat.
"Selama bertahun-tahun, gue selalu memberi potongan kue pertama pada Papa. Tahun ini gue mempunyai seorang Ibu dan saudara," jelas Edlyn. "Mimpiku terwujud. Semoga tahun depan saudara gue tambah satu lagi."
"Maksud lu?" tanya Amanda sambil menerima potonga kue dari Edlyn.
"Adik bayi, dari perut Mama Hasna," jawab Edlyn merangkul pundakku.
Mungkin, jika aku sedang makan atau minum, aku akan tersedak mendengar ucapan Edlyn.
"Iya, kalau bisa kembar cowok dan cewek. Ih, pasti seru," timpal Amanda.
Di usia yang mencapai 35 tahun, aku tidak memikirkan tentang bayi. Cukup Amanda dan Edlyn.
"Bagaimana, Ma? Nanti kita bantu menjaga, memandikan, menyuapi ...." Amanda menatapku penuh harap.
"Mama, pikir ...."
"Papa dan Mama akan bekerja keras untuk memberikan adik untuk kalian berdua," sela Aksara.
"Asyik," ujar Edlyn, mencium pipiku.
Mendengar ucapan Aksara ada yang menghangat di aliran darah, pipiku pasti bersemu merah jambu. Ya, Tuhan, seorang bayi?
"Kita foto, yuk." Edlyn meraih ponsel di meja. "Merapat, dong."
"Wajahku ...." Amanda mengkhawatirkan kondisi mukanya.
Aksara menarik Amanda sehingga berdiri di tengah--di antara aku dan Edlyn. "Wajahmu cantik."
"Selpong berempat, cheesssseeee!" seru Edlyn.
Berfoto, makan bersama, bercanda kami habiskan bersama waktu yang bergulir cepat. Sementara Edlyn dan Amanda menonton film. Aku menyusul Aksara yang sedang mencuci piring di dapur.
"Aksara."
"Ya."
"Tadi siang aku bertemu Soraya."
"Lalu?" Aksara tidak menoleh, dia membilas piring dari busa.
"Soraya melihat cincin yang kupakai, dia bilang cincin ini ...." Aku menjeda sebentar. "Cincin ini mirip sekali dengan batu permata asli."
Alih-alih aku mengatakan palsu.
"Cincin itu asli terbuat dari emas dan batu permata," sahut Aksara, mengelap tangannya yang basah.
"Asli?"
Aksara mengangguk.
"Ta-tapi ...."
"Aku pura-pura jatuh miskin, Hasna," ungkap Aksara. "Maafkan aku."
"Kamu meragukan aku?"
"Bukan begitu," sanggah Aksara, jemarinya menyugar rambut dengan kasar. "Aku hanya-"
"Mengujiku? Apakah aku akan mundur setelah kamu bangkrut?"
"Iya. Ternyata kamu tidak berubah sedikit pun, tatapan matamu tidak berubah, cintamu juga tidak berubah. Maafkan aku, aku takut akan kehilangan dirimu, Hasna."
Aku bergeming. Luka masa lalu Aksara masih berbekas kuat. Aku bisa memahami itu.
"Kamu berbeda, Hasna."
Perlahan aku mendekati Aksara, menggapai tangannya. "Aku mencintaimu."
"Maafkan aku," ulang Aksara.
"Aku memaafkanmu," ucapku.
"Hasna, akhir-akhir ini, kadang aku melihat wajahmu murung. Ada yang sedang kamu pikirkan?"
Aku menghela napas dalam. "Mandala mengancamku, jika aku tidak mau menikahinya dia tidak bersedia membiayai operasi wajah Manda."
"Benar-benar pria tidak punya hati. Jangan khawatir, jika Mandala tidak mau membiayai operasi, aku yang akan bertanggung jawab."
"Terima kasih."
"Malam ini kamu terlihat cantik sekali."
Aku meninju pelan dada Aksara. "Gombalanmu itu sungguh-sungguh basi."
***
Pagi buta.
Suara gedoran pintu membuatku terbangun. Pintu kembali di ketuk berkali-kali. Aku meraih kardigan rajut di kursi, melangkah cepat menuju pintu.
"Mandala? Sepagi ini ada perlu apa?"
Mandala merangsek maju, mendorong tubuhku. "Apa ini?!"
Ponsel Mandala didekatkan, tepat di depan mukaku. Status WhatsApp Amanda yang memajang foto--aku, Aksara, Edlyn dan Amanda.
"Ulang tahun Edlyn."
"Amanda!" teriak Mandala menuju kamar Amanda.
Amanda yang terbangun, kaget.
"Kamu mendukung Mamamu menikah dengan Aksara!?"
"Mama mencintai Pak Aksara, Pa," sahut Amanda ketakutan.
"Jika Mamamu menikahi si Aksara, Papa tidak akan membiayai operasi wajahmu! Kamu mengerti itu!?"
"Cinta tidak bisa dipaksakan, Pa!" seru Amanda. "Harusnya dulu Papa mempertahankan Mama. Papa pengecut!"
"Oh, jadi kamu ingin tetap wajahmu rusak!? Pria yang bernama Aksara itu miskin! Dia tidak mungkin bisa membantu kalian!"
Teriakan demi teriakan menggema di kamar Amanda.
"Mama dan Pak Aksara sebentar lagi akan menikah, lihatlah, Mama memakai cincin pemberian Pak Aksara," ucap Amanda.
Mandala dengan kasar menarik kedua tanganku. Dia menelisik cincin yang melingkar di jari manis.
"Jadi kamu memilih Aksara!?"
"Iya," jawabku, pendek.
"Jika aku tidak bisa memilikimu, maka Aksara juga tidak bisa memilikimu!"
Mandala mencekik leherku. Aku tidak bisa bernapas, nyeri terasa di dada. Tubuhku di dorong sampai ke dinding.
"Papa, lepaskan Mama!" Amanda berusaha menarik tangan Mandala. "Papa!"
Mandala mengangkat tubuhku dengan cara masih mencekik leherku. Aku menggelepar kehabisan napas. Detik kemudian tubuhku dilempar kuat ke sisi dinding yang lain.
Wajahku terantuk keras di dinding, aku bisa mencecap rasa asin dari darah yang keluar.
"Mama!" teriak Amanda. "Tolong! tolong!"
"Mama!" Amanda meraih kepalaku yang terkulai lemas, aku masih bisa merasakan tepukan lembut di pipi. Buyar pandangan.
Lalu hitam.

Comentário do Livro (409)

  • avatar
    hariadirafi

    yes

    07/07

      0
  • avatar
    syaCha

    cerita menarik dan terasa lebih berbeda dari novel-novel sejenis lainnya. suka dan gemes banget sama alur cerita yang naik turun problematikanya, makasih banyak author udah bikin hiburan buat pembaca🤗💌🌟🌟🌟🌟🌟

    15/03

      0
  • avatar
    Peachburn

    loved this novel sbb bagi saya kurang konflik

    07/02

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes