logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 20 Pisang Goreng

Empat hari. Aksara tidak berkabar. Panggilan telepon dan pesan tidak ada satu pun terbalas. Terakhir kali bertemu di kafe, tidak ada yang mencurigakan. Aku memutuskan mendatangi rumah Aksara.
Ritme napasku seolah berhenti, aku tercekat membaca plang di pintu rumah Aksara. Rumah ini disita.
Aku berputar ke arah belakang, tidak ada mobil terparkir di garasi. Rumah besar dan mewah itu sepi. Apa yang sebenarnya terjadi?
Kenapa Aksara tidak memberi kabar? Di mana Edlyn dan Aksara sekarang?
Aku mengendarai motor dengan pikiran tidak menentu. Seperti hendak menyusun puzzle, namun banyak kepingan yang hilang. Rumah disita, penghuninya menghilang.
Brukk.
Aku menabrak mobil di depanku. Aliran darah mengalir lebih cepat. Terdengar suara bantingan pintu mobil. Ah, itu pasti si pemilik mobil. Aku menarik napas, mengembuskan pelan-pelan.
"Lain kali mata dipakai!" cacinya.
"Maaf ...." Ucapanku menguar begitu melihat sosok perempuan yang memakai blus merah terang. Soraya.
"Rupanya kamu."
"Aku akan bertanggung jawab," ucapku, sambil melihat goresan di badan mobil.
Soraya berjalan angkuh, dia menjentikkan jarinya. "Tidak perlu, aku tahu kamu tidak punya uang."
"Baiklah, aku ucapkan terima kasih."
"Oh, ya kamu tahu, kalau majikanmu bangkrut?"
"Maksudmu Pak Aksara?" Aku balik bertanya.
"Siapa lagi kalau bukan dia? Entah ke mana mereka pergi. Bye, Hasna." Soraya melangkah, masuk kembali ke dalam mobil.
"Hei, tunggu!" sergahku. Sebenarnya ada yang ingin kutanyakan mengenai Aksara dan Edlyn pada Soraya, namun dia pasti tidak akan menjawab.
Bangkrut? Apa itu bagian dari rencana Aksara, tetapi dia tidak mengatakan hal itu padaku?
Karena kondisi pikiran yang makin semrawut, aku menepikan motor. Berselancar di portal media online. Mencari berita tentang perusahaan Pak Bos. Tapi, tidak ada pemberitaan tentang bangkrutnya perusahaan.
Oh, ya, aku akan bertanya pada Amanda mengenai Edlyn. Hari ini Amanda memberanikan diri masuk sekolah--dengan sebagian wajah yang rusak.
Dengan kecepatan rendah aku mengendarai motor--takut oleng dan menabrak pengendara lain.
Amanda tampak duduk di teras dengan Mbak Niken ketika aku sampai. Mandala yang menjemputnya pulang dari sekolah.
"Dari mana, Hasna? Sore-sore pergi tanpa pamit," gerutu Mbak Niken.
Aku melepas helm, berjalan perlahan ke teras. "Aku sudah dewasa tidak perlu pamit padamu, Mbak," sahutku.
"Eh, Hasna, kita punya tetangga baru. Orangnya ganteng sekali, tadi dia pergi ke warung Mak Rum," ujar Mbak Niken. "Dia tinggal tepat di sebelah rumahmu."
Rumah yang sudah lama kosong, akhirnya berpenghuni.
"Ya, aku tahu ...."
"Ganteng 'kan?"
"Kalau itu aku tidak tahu, karena belum bertemu dengannya," jawabku, yang aku tahu semalam agak berisik karena tetangga baru itu baru pindahan. Aku hanya mengintip lewat jendela sebentar.
"Kamu sudah lihat, Amanda?" Mbak Niken bertanya pada Amanda.
"Aku juga baru pulang dari sekolah, Bude," sahut Amanda. "Oh, ya, Ma, tadi dicari Papa, katanya ada yang perlu dibicarakan."
Pasti Mandala ingin membicarakan masalah operasi plastik untuk merekonstruksi wajah Amanda.
"Tetangga baru itu seganteng Papamu, usianya juga sama," celetuk Mbak Niken.
"Pasti sudah punya istri, dong," sahutku.
"Sebenarnya aku duduk di sini mau mantengin tetangga ganteng itu, tapi kok tidak terlihat," sungut Mbak Niken. "Sudahlah, aku pulang dulu. Ketahuan suami bisa runyam."
"Setialah pada suamimu," ucapku.
"Hasna, bagaimana kalau kita tukar rumah?" Mbak Niken tertawa sendiri, kemudian beranjak dari kursi dan berjalan pulang.
"Amanda, Mama ingin bertanya, apa Edlyn masuk sekolah?" tanyaku, hati-hati.
"Aku tidak begitu memperhatikan, Ma. Kami berdua beda kelas," jawab Amanda. "Ada apa, Ma?"
"Tidak ada apa-apa. Hanya ingin tahu kabarnya. Ayo, masuk."
"Ma, aku ingin makan nasi goreng," pinta Amanda, mengekori langkahku masuk ke dalam rumah.
"Bagaimana sekolahmu hari ini? Apa ada teman yang bersikap aneh?"
"Aku tidak mempedulikan pendapat mereka, ocehan di belakangku aku anggap sebagai bentuk rasa perhatian yang berlebihan." Amanda menyengir lucu.
Aku senang dengan sikap Amanda yang lambat laun kembali seperti dulu. Kekhawatiranku mulai terkikis sedikit demi sedikit.
***
Mandala hampir setiap hari datang ke rumah, walaupun kadang hanya sebentar dengan membawa kue atau buah. Malam ini dia datang lagi. Sebenarnya aku jengah dengan kehadiran Mandala. Apalagi tetangga mulai menggunjing tentang kami berdua.
"Kalian sudah makan?" tanya Mandala, menaruh sekotak pizza di meja makan.
"Sudah, Pa," jawab Amanda.
"Hasna, apa bisa kita bicara?" Mandala berjalan keluar rumah. Dia berdiri dekat pagar rumah--dengan satu tangan berada di dalam saku celana.
Apa yang ingin dia bicarakan, sehingga harus menjauh dari Amanda? Aku mengikutinya keluar.
"Ada apa?" tanyaku.
"Aku sudah menemukan dokter bedah plastik terbaik."
"Aku senang mendengarnya," ucapku. Hembusan adara malam terasa hangat karena aku bahagia untuk Amanda. Cedera bahunya sudah mulai pulih, walaupun ruang gerak Amanda masih terbatas.
"Hasna, menikahlah denganku." Permintaan itu diulang lagi oleh Mandala.
"Mandala, aku pikir kita sudah tahu jawaban tentang pernikahan. Ibumu sampai kapan pun tidak akan menyetujui."
Bu Rosie yang lumpuh pada kaki, tetapi tidak lumpuh pada mulutnya. Perempuan itu bahkan memanggil Amanda zombie, pada waktu Amanda menjenguknya.
"Aku tidak bisa hidup dengan caci maki dari ibumu, aku sudah tidak punya keinginan untuk berjuang karena cintaku sudah hilang," lanjutku. "Mengertilah."
"Apa cintamu berpindah pada Aksara?"
Aku menatap balik mata Mandala. "Iya, aku mencintai Aksara."
"Dia tidak bisa memberi kehidupan yang baik karena dia sekarang lelaki pengangguran, perusahaannya di ambil oleh temannya sendiri," ungkap Mandala. "Soraya saja meninggalkan dia."
"Harta tidak menentukan kebahagiaan, Mandala."
"Jika kamu tidak mau menikahiku ... Aku tidak akan membiayai operasi wajah Amanda," ancam Mandala.
"Ya, Tuhan, tega sekali dirimu. Amanda putrimu, kenapa kamu sekejam itu!?" Aku menarik kerah kemeja Mandala. "Inikah yang kau sebut cinta?! Hah?!"
Mandala mendorong kedua tanganku. "Karena kamu membuatku gila, Hasna," ucap Mandala.
"Benar-benar menjijikkan!"
"Pikirkan lagi, Hasna. Demi Amanda." Senyum sinis terukir di bibir Mandala. "Aku pulang, Sayang ...."
Refleks, kakiku mundur satu langkah ketika Mandala ingin menyentuh pipiku.
"Aksaramu tidak akan bisa menolongmu, Hasna," sinis Mandala, dia melangkahkan kaki menuju mobilnya.
Mandala menggunakan Amanda untuk menggapai keinginannya. Dia tahu kelemahanku. Rahangku mengeras karena menahan amarah.
Dari mana aku bisa mendapatkan uang mencapai puluhan juta?
Aku berbalik hendak masuk ke rumah, bayangan dari balik jendela rumah sebelah sepertinya sedang mengamati diriku. Namun, kemudian menghilang. Sebaiknya besok pagi aku menyapa tetangga yang menurut Mbak Niken ganteng.
"Apa yang Mama dan Papa bicarakan?" tanya Amanda yang menyusul keluar rumah.
"Tentang operasi wajahmu," jawabku menghela napas panjang.
"Tapi, kenapa wajah Mama muram? Mama bertengkar dengan Papa?"
"Sedikit. Biasa beda pendapat."
Haruskah aku memberitahu Amanda mengenai ancaman Mandala?
"Apa karena Papa ingin kembali pada Mama?"
Aku menggangguk.
"Mama menolaknya karena Mama mencintai Pak Aksara, benar bukan?" selidik Amanda.
"Dari mana kamu tahu?" tanyaku, heran.
Amanda mengulurkan foto yang agak rusak. Foto Aksara. Waktu itu aku menyobek foto Soraya dan Aksara--yang diberikan oleh Edlyn menjadi dua bagian. Aku urung membuang foto, aku hanya menggunting bagian wajah dan tubuh Soraya. Menyisakan foto bayi Edlyn dan Aksara.
"Aku menemukan foto ini di bawah bantal Mama."
Tadi malam aku memang mendekap foto itu, ada rindu yang menggebu.
"Kenapa Mama tidak menceritakan padaku? Mama tidak memercayai aku?"
"Bukan begitu, Manda. Hanya saja Mama ...."
"Aku tidak akan menghalangi Mama, Mama berhak bahagia. Walaupun sebenarnya aku ingin Mama dan Papa bersatu kembali," urai Amanda. "Aku harap Pak Aksara tulus menyayangi Mama."
"Terima kasih, Manda." Aku mengelus pipi Amanda. Aku tidak bercerita karena rencana Aksara pada Soraya.
Kembali, aku melihat bayangan di balik jendela di rumah tetangga.
Ya, Tuhan, semoga mereka tetangga yang baik. Aku merasa aneh.
***
Aku sama sekali tidak menyapa Mandala, waktu dia menjemput Amanda. Dia membuat kepalaku mendidih di pagi hari yang cerah. Sepertinya dia tidak main-main dengan ancamannya.
Setelah Amanda berangkat, kuayunkan kaki ke warung Mak Rum. Rumah tetangga baru tampak sepi.
Warung bercat hijau itu tampak lumayan ramai, ada sekitar lima atau enam orang berjenis kelamin perempuan. Dunia gosip di mulai dari warung, tempat para ibu rumah tangga berkumpul. Kemudian menjalar ke semua rumah.
"Orangnya ganteng."
"Dia baru saja saja lewat naik motor."
"Sepertinya dia duda, atau istrinya belum datang."
Itulah yang kudengar waktu sampai, sepertinya tetangga sebelah yang jadi topik pembicaraan. Seganteng apa dia hingga sangat memukau kaum hawa yang notabene sudah pada menikah.
"Wah, Mbak Hasna, tetangganya kayak model internasional gantengnya," celetuk Mak Rum.
"Aku belum melihat tetangga baruku," sahutku. "Aku mau beli cabe, Mak."
"Setengah ons enam ribu," sahut Mak Rum. "Harganya meroket, bikin kejang."
"Eh, Mak Rum, tetangga baru yang bikin kejang," canda Bu Tyas, tertawa keras.
"Hasna, tolong kasih info namanya siapa," punya Bu Wati, konyol.
"Kenapa tidak tanya sendiri, sekalian kenalan," sungutku.
Aku hanya membeli seikat kangkung, ikan asin dan cabai. Kembali pulang, sementara mereka masih bergerombol asyik mengobrol.
Di meja teras ada satu piring yang tertutup serbet, aku membuka sedikit serbet dengan motif bunga. Berisi pisang goreng dengan taburan susu, keju dan cokelat meses.
Ada catatan terselip di bawah piring.
Maaf, tadi saya mengetuk pintu. Tapi, sepertinya tidak ada orang di rumah.
Salam kenal.
Saya tetangga sebelah rumah.
Kenapa tidak di bawa pulang? Bagaimana kalau ada kucing yang memakan pisang gorengnya?
Aku tidak mungkin mengembalikan piring tanpa isi. Setelah memindahkan pisang goreng ke wadah lain, aku memasak mie goreng. Hanya itu yang tersedia di dapur. Tidak mungkin aku memberinya ikan asin goreng dan sambal terasi.
"Permisi." Aku mengetuk pintu.
Tidak ada jawaban. Aku mengetuk lagi, agak keras. Mungkin saja orangnya bekerja.
Terdengar suara kenop pintu, dan kemudian wajah dengan seulas senyum muncul.
"Hei, apa kabar?" sapanya.
Aku statis. Mulutku menganga.
"Tidak ingin memelukku?"
"Pagi-pagi omes," gerutuku, tapi bahagia.
Ketika hatiku melompat ingin merebahkan rasa, tubuhku masih bisa mengontrol hasrat yang menggelora. Aku menatapnya begitu dalam.
"Kabarku baik, Aksara ...."

Comentário do Livro (409)

  • avatar
    hariadirafi

    yes

    07/07

      0
  • avatar
    syaCha

    cerita menarik dan terasa lebih berbeda dari novel-novel sejenis lainnya. suka dan gemes banget sama alur cerita yang naik turun problematikanya, makasih banyak author udah bikin hiburan buat pembaca🤗💌🌟🌟🌟🌟🌟

    15/03

      0
  • avatar
    Peachburn

    loved this novel sbb bagi saya kurang konflik

    07/02

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes