logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 17 Janji di Bawah Langit Sore

"Hatiku," jawab Pak Aksara.
Heh?
Aku melongo. Menatap wajah Pak Aksara. Hati sama dengan cinta. Dia mencintaiku?
"Hati Pak Aksara untuk saya ...?"
"Ayo, tolong carikan, jangan diam melongo seperti itu."
Pak Aksara tidak menjawab pertanyaanku, dia malah melangkahkan kaki keluar dari dapur.
"Hasna, buruan!"
Dengan pikiran penuh pertanyaan aku mengikuti langkah Pak Aksara menuju kamarnya di lantai atas.
"Coba kamu cari ...." Pak Aksara membuka pintu lemari besar dari kayu jati.
Jemariku menyusuri jajaran kemeja, aku menata dari warna tergelap ke warna terang. Aku ingat, kemarin menggantungkan kemeja biru muda di dekat deretan kemeja putih. Kenapa jadi tidak ada?
"Bagaimana? Tidak ada, 'kan?"
Aku tidak menyerah. Berjongkok memeriksa bagian bawah, sampai kepalaku melongok ke dalam lemari.
Bingo.
Kemeja biru muda itu terjatuh, terselip di antara tumpukan selimut.
Tanpa berkata apa pun aku berdiri kembali, mengangkat daguku agak tinggi--menyodorken kemeja kepada empunya.
"Terima kasih," ucap Pak Aksara sambil meraih kemeja yang kuulurkan.
"Boleh saya bertanya tentang Soraya?" Akhirnya pertanyaan itu tercetus.
"Kamu sudah bertanya beberapa hari yang lalu ...."
"Pak Aksara balikan dengan Soraya? Bagaimana dengan Edlyn, apa dia setuju? Pak Aksara tidak ingat bagaimana Soraya menyakiti Edlyn?" cerocosku menyela perkataan Pak Aksara.
Pak Aksara mengulas senyum. "Kamu tidak perlu memikirkan hal itu. Oke?"
"Ya, sudahlah ...." lirihku. Siapa aku coba? Hanya seorang ART, tidak lebih.
Pak Aksara melepas kausnya begitu saja di depanku. Wajah ini langsung berpaling, namun, luka sayatan panjang di punggung membuatku tertegun. Bekas jahitannya terlihat jelas.
"Pak Aksara pernah mengalami kecelakaan?" tanyaku.
Lelaki itu memutar tubuh seraya mengancingkan kemeja. "Demi orang yang dicintai, kadang nyawa dipertaruhkan ...."
Mata dengan iris cokelat tua itu menatapku sebentar. Ada getir yang tersirat. Sebaiknya aku tidak bertanya lebih lanjut.
"Baiklah, kemeja sudah ketemu, saya harus menyelesaikan pekerjaan lain," ujarku.
"Hasna."
Aku yang sudah mencapai ambang pintu--menoleh.
"Hadiahnya akan kuberikan, bisakah kau sabar menunggu? Aku harus menyelesaikan satu urusan," kata Pak Aksara.
"Saya akan menunggu hadiahnya," sahutku.
Aku melangkah dengan perasaan tak menentu. Tentang hati, tentang hadiah--hanya menimbulkan teka-teki.
***
Aku membantu Amanda turun dari taksi. Mbak Niken sudah menunggu kami, dia dengan senang hati membantuku membersihkan rumah karena lama tidak ditinggali.
"Apa kabar, Amanda?" sapa Mbak Niken.
"Baik," jawab Amanda, pelan.
"Semoga kamu tidak sedang drama, ya ...." ujar Mbak Niken. "Semoga kamu benar-benar tobat."
"Mbak Niken, tolonglah ...."
"Hasna, aku takut anakmu ini kalau sudah sembuh balik lagi ke habitatnya, yang super-super sombong, yang durhaka sama Ibunya," sahut Mbak Niken.
"Aku benar-benar menyesal, Bude," sahut Amanda. "Aku tidak akan pernah meninggalkan Mama."
"Awas kalau kamu berulah lagi, aku yang akan mengutukmu jadi kodok." Jari telunjuk Mbak Niken mengarah tepat ke hidung Amanda.
"Kemarin dulu cilok, sekarang kodok, tidak konsisten," sungutku sembari menyalakan kipas angin di kamar Amanda.
Amanda duduk di tepi tempat tidur, matanya menelusuri tiap sudut kamar. Dia kembali ke rumah yang dulu ia juluki rumah neraka.
"Amanda, istirahat, ya ...." Aku mengelus ujung kepala Amanda, lalu keluar kamar.
"Aku bawakan semur ayam, tumis sawi putih dan nasi." Mbak Niken meletakkan rantang di meja makan. "Aku tahu kamu pasti belum makan malam."
"Terima kasih, Mbak ... hari ini aku capek banget. Harus mengantar Bu Rosie ke rumah sakit."
"Si nenek kenapa?"
"Dia jatuh terpeleset di kamarnya," jawabku, menyalakan kompor--menjerang air.
"Kalau aku biarkan saja, buat apa repot-repot ngurusin orang kayak Bu Rosie," komentar Mbak Niken.
"Seandainya aku bisa, Mbak," sahutku, duduk di kursi dan menyurukkan kepala di atas meja. Mengantuk sekali.
"Matamu kayak mata panda, semalam tidak tidur?"
"Tidur ... tapi, cuma dua jam, sekarang badanku terasa remuk," keluhku.
"Kenapa tidak bisa tidur?"
"Karena ... tidak bisa tidur saja ...."
Karena dia, yang mengusik hati dengan tatapan dan senyum. Dan sikapnya yang abu-abu.
***
Sudah tiga minggu Amanda tinggal bersamaku, dia cenderung menjadi lebih pendiam. Setiap ada jadwal cek ke dokter Mandala juga ikut mendampingi. Mau, tidak mau aku lebih sering bertemu Mandala. Dia sering mengunjungi Amanda.
Seperti malam ini, Mandala datang. Dia mengobrol dengan Amanda cukup lama sambil nonton televisi. Aku jarang bergabung dengan mereka, ada jarak yang kuciptakan. Aku lebih memilih duduk di ujung sofa sambil menjahit kancing blus yang lepas.
"Kalau kamu sudah pulih dan sehat, kita akan liburan, ke mana pun kamu mau," ucap Mandala.
"Mama boleh ikut, 'kan?" tanya Amanda.
"Pasti boleh," sahut Mandala, melempar pandangan ke arahku.
"Oh, ya ... aku harus menyelesaikan tugas sekolah." Amanda berdiri perlahan, masuk ke dalam kamar. Walaupun belum kembali bersekolah, Amanda mulai mendapatkan materi pelajaran yang dikirimkan oleh wali kelasnya.
Hening. Tidak ada yang bicara, baik aku maupun Mandala. Hanya suara televisi.
"Bagaimana kondisi Bu Rosie?" tanyaku seraya mengambil wadah benang.
"Mamaku lumpuh permanen," jawab Mandala tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi.
"Aku turut prihatin," ucapku, menghela nafas panjang. Perempuan yang selalu bergerak ke sana sini dengan sikapnya yang sombong dan seenak hati, akhirnya terpasung dalam ketidakberdayaan.
"Kenapa kamu tidak mencari pekerjaan lain, Hasna?" Mandala mengubah posisi duduknya, menghadap ke arahku. "Aku akan membantumu mencari pekerjaan," tawar Mandala.
"Tidak, terima kasih. Kalaupun aku keluar dari pekerjaanku sekarang, aku bisa mencari pekerjaan lain sendiri," tolakku.
"Jika bahu Amanda sudah pulih, aku akan membawa Amanda ke dokter bedah plastik terbaik. Aku ingin putriku cantik seperti dulu."
"Argh ...." Jari manisku tertusuk jarum.
Mandala melompat, sepersekian detik ia sudah berpindah tepat di depanku. Tangannya meraih jemari sebelah kiriku. "Jarimu berdarah ...."
"Hanya luka kecil, tidak perlu panik." Aku berusaha menarik tanganku dari genggaman Mandala.
"Walaupun luka kecil aku khawatir."
"Hanya tertusuk jarum."
Mandala mengusap darah di jariku dengan ujung kemejanya, lalu meniup-niup jari manisku.
"Mandala ...."
"Kembalilah padaku, Hasna."
"Sudah kukatakan, aku tidak bisa," tegasku.
Mendadak Mandala merengkuh tubuhku. "Aku mohon."
Aku membiarkan diriku di dalam pelukan Mandala. Mencari getar yang pernah bersemayam lama, mencari irama jantung yang pernah berdetak lebih cepat, mencari gejolak hasrat yang pernah membelenggu. Nihil. Semuanya telah hilang.
Hangat peluknya tidak terasa nyaman, aku kemudian mengurai pelukan Mandala.
"Maaf, Mandala ... kita tidak bisa seperti dulu lagi. Kita hanya bisa kembali sebagai teman." Aku mendorong bahu Mandala.
"Untuk Manda ...."
Aku menggeleng. "Kita tetap orang tua dari Manda walaupun kita tidak bersatu sebagai keluarga. Aku mohon, jangan bicarakan hal ini lagi."
"Pasti karena Aksara," geram Mandala.
Ya, karena Aksara ... sebagian hatiku telah beralih padanya.
"Bukannya dia akan kembali dengan Soraya?" lanjut Mandala.
"Masalah itu, aku tidak tahu."
"Soraya tidak menentang gugatan perceraian, dia menjadi kalem supaya urusan cerai cepat selesai dan dia bisa segera kembali ke mantan suaminya."
"Sebaiknya kamu pulang, Mandala."
"Aku akan tetap mengejarmu sampai kapan pun," tandas Mandala, keras kepala.
Sebelum pulang, Mandala berpamitan pada Amanda. Gurat wajahnya menyimpan emosi karena penolakanku.
Percuma mengejar diriku sekeras apa pun kamu berusaha, Mandala ....
***
"Hari ini panas sekali," keluhku, menaruh kantong belanjaan di meja.
"Panas mengeluh, hujan mengeluh," tukas Lenni yang sedang memeras lemon.
Aku tertawa. "Begitulah aku."
"Calon Nyonya baru datang, dia sedang di kamar Edlyn," ujar Lenni.
"Oh, ya?"
Ada geleyar nyeri menyusup perlahan di aliran darah.
"Ada Pak Aksara juga," lanjut Lenni.
Aku menarik nafas panjang, meredam rasaku yang entah apa. Kecewa? Sedih? Patah hati?
"Tolong, antar lemon tea ini." Lenni menaruh nampan berisi tiga gelas es lemon tea.
"Kamu saja, Len," tolakku.
Lenni membulatkan matanya. "Sudah sana kamu saja."
Aku kembali menghela nafas. Kaki ini terasa berat melangkah ke kamar Edlyn. Di ujung teratas anak tangga, aku mendengar tawa Soraya dan Pak Aksara. Oke, aku bisa menghadapi apa pun.
Jariku mengetuk pintu kamar, terpampang lukisan satu keluarga yang sedang bercengkerama. Aku berjalan masuk kemudian meletakkan nampan di atas meja. Sebisa mungkin aku tidak melihat ke arah mereka bertiga.
"Terima kasih, Bu Hasna," ucap Edlyn.
"Sama-sama, Lyn," sahutku, dari sudut netra, tangan Soraya menyusup di lengan Pak Aksara.
Ada yang bertalu hebat, hingga dada ini membutuhkan lebih banyak udara. Aku bergegas keluar kamar.
"Apa yang terjadi denganmu, Hasna?" Soraya mengikuti sampai ke dapur.
"Tidak ada yang terjadi," jawabku.
"Kamu cemburu, ya? Ah, kasihan. Cintamu bertepuk sebelah tangan," sindir Soraya. "Ternyata untuk meluluhkan hati Aksara sangat mudah. Dan, Edlyn dengan mudah aku peluk kembali."
"Syukurlah," sahutku, pendek.
"Sebaiknya kamu juga balikan sama Mandala ...."
"Apa yang kamu lakukan di dapur?" Pak Aksara mengejutkan Soraya. "Aku pikir kamu sudah pulang."
"Hanya menyapa para ART-mu." Soraya tersenyum lebar, dia berjalan menyusul Pak Aksara yang duluan meninggalkan dapur.
"Ya, Tuhan ... Apa Pak Aksara tidak bisa mendapatkan jodoh yang lebih dari Garneta? Kelihatannya dia lebih parah. Dasar model sudah tua," cerocos Lenni, membanting pisau. "Aku mau keluar kerja kalau Pak Aksara jadi menikah dengan perempuan itu."
"Perempuan itu mantan istri pertama Pak Aksara, ibu kandungnya Edlyn."
Bibir Lenni membulat, dia terperangah kaget. "Tambah bulat tekadku keluar dari pekerjaan."
"Kalau begitu aku juga keluar kerja. Hari ini," putusku.
"Kok hari ini? Jangan Hasna, aku harus mencari penggantimu dulu. Tunda seminggu, ya?"
Aku tidak menjawab, berlalu dari dapur. Memandangi liukan kain sprei di jemuran--yang tertiup angin. Aku tidak mungkin bisa bertahan lebih lama.
Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Setelah merapikan pakaian Pak Aksara, aku akan pulang.
"Len." Kepalaku melongok ke dalam kamar, Lenni sedang mengurut kedua kakinya. "Aku pulang dulu, ya ...." pamitku.
"Seminggu lagi, ya, Hasna. Kita akan kabur dari rumah ini," kata Lenni.
"Ya, baiklah. Aku juga belum bicara dengan Pak bos," ujarku. "Sampai ketemu besok."
Lenni melambaikan tangannya. Sambil berjalan keluar menuju pintu belakang, aku menyalakan ponsel. Hari ini aku tidak mengendarai motor. Mogok karena saking tuanya.
"Mau pulang?" Pak Aksara sudah berdiri di samping mobil.
"Mau terbang, Pak," jawabku sekenanya.
"Aku antar terbang, yuk."
"Saya pesan ojol saja."
"Masuk," titah Pak Aksara seraya membuka pintu mobil bagian depan. "Aku bosmu, ingat itu."
Aku pun masuk ke dalam mobil. Dalam perjalanan aku hanya diam, sibuk menentramkan hati. Sikap Pak Aksara yang manis benar-benar bikin diabetes. Di sisi lain kedekatannya dengan Soraya membuatku capek hati.
Sebenarnya apa yang dia rencanakan?
"Terima kasih, Pak," ucapku ketika mobil berhenti di depan rumahku.
Pak Aksara ikut turun dari mobil, matanya mengamati sekitar. Setelah itu berjalan memutari bagian depan mobil.
"Jadi di sini rumahmu?"
"Iya, Pak ...."
"Hasna, aku tahu sikapku membingungkan. Itu hanya sementara, aku pasti akan datang padamu."
"Berapa lama? Hadiah yang Pak Aksara janjikan juga belum diberikan. Jadi saya harus menunggu berapa lama lagi?"
"Tiga minggu," jawab Pak Aksara.
Sore ini, di bawah langit jingga kami berdua bertukar pandang. Tanpa kata kami saling mengerti perasaan indah yang sedang terjadi.
"Bukan hanya hatiku, seluruh hidupku akan kuberikan," ucap Pak Aksara.
Aku tersenyum, lalu menundukkan wajah. Duh, persis ABG yang ditembak gebetan. Malu-malu meong.
Ponselku berbunyi, ada satu pesan dari Pak Aksara.
"Pak Aksara, mengirim pesan?" tanyaku.
"Iya, buka saja."
Satu pesan berisi foto Pak Aksara. Aku menatap tidak mengerti pada Pak Aksara. "Kenapa kirim foto, Pak?"
"Kalau kamu kangen, kamu bisa memandangi fotoku ...."
Lagi. Aku tersenyum.
Dan berdebar.

Comentário do Livro (409)

  • avatar
    hariadirafi

    yes

    07/07

      0
  • avatar
    syaCha

    cerita menarik dan terasa lebih berbeda dari novel-novel sejenis lainnya. suka dan gemes banget sama alur cerita yang naik turun problematikanya, makasih banyak author udah bikin hiburan buat pembaca🤗💌🌟🌟🌟🌟🌟

    15/03

      0
  • avatar
    Peachburn

    loved this novel sbb bagi saya kurang konflik

    07/02

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes