logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 15 Kasih Tulus

Aku memegang lengan Edlyn, memberi tanda untuk tenang. Selama aku menjaga Amanda di rumah sakit, dia tidak menolak eksistensiku. Sekarang Amanda berulah lagi. Sesuatu atau seseorang telah membasuh kembali kerapuhannya.
"Dengar Manda, sekali lagi mama katakan, mama tidak pernah menyumpahimu," tandasku. "Wajahmu rusak, bahumu patah itu bukan salah mama."
Amanda melengos.
"Koreksi dirimu. Masalah kontrak iklan dan sinetron kamu bisa menggapainya kembali."
"Tapi, wajahku menyerupai monster!" pekik Amanda.
"Papamu punya banyak uang! Dia bisa membiayai operasi plastik." Aku menarik nafas dalam. "Keputusan hidupmu ada di tanganmu sendiri, Manda. Kamu mau bangkit atau hanya duduk meratapi nasib dan menyalahkan orang lain."
Sudah beberapa kali aku ingin mengabaikan Amanda, tetapi nyatanya aku tidak bisa melihat dia menderita.
"Mama pulang dulu," pamitku, berjalan keluar kamar.
Aku berpapasan dengan Bu Rosie di tangga. Dia tersenyum sinis.
"Dulu Mandala aku pisahkan darimu, sekarang Amanda akan meninggalkanmu. Oh, Hasna, aku senang sekali melihatmu menderita," ucap Bu Rosie.
Rupanya sambal pedas tidak membuat Bu Rosie sadar. Mulutnya terus berbuih. Tamparan dari Tuhan yang bisa menutup mulut berkerut itu.
"Kamu tahu Bu Rosie yang terhormat." Aku menunduk, mendekatkan wajahku ke muka Bu Rosie, berbisik pelan, "Mandala memohon padaku untuk menjalin hubungan lagi. Bagaimana menurutmu?"
"Tidak mungkin," ujar Bu Rosie.
"Itu salah satu alasan kenapa Mandala ingin bercerai dengan Soraya."
"Mereka berdua tidak akan pernah bercerai! Walaupun Soraya telah membohongi aku, khususnya Mandala. Tapi, Soraya lebih baik daripada kamu. Ibaratnya tas, Soraya itu tas branded sedangkan kamu itu tas lokal," hina Bu Rosie.
"Mama!" seru Mandala dari bawah.
Aku berjalan turun, takut muntab dan mendorong tubuh Bu Rosie.
"Aku mencintai Hasna. Kali ini aku akan memperjuangkan cintaku," ucap Mandala.
"Mama tidak akan merestui hubungan kalian sampai kapan pun!" jerit Bu Rosie.
"Lyn, kenapa masih berdiri di situ?" tegurku pada Edlyn yang masih berdiri di anak tangga bagian atas. "Ayo, kita pulang."
Edlyn segera menyamai langkahku keluar dari rumah Mandala. Kami berdua berjalan menyusuri trotoar, langit sudah gelap. Hanya pendar dari lampu jalanan yang menerangi langkah kami.
"Di dunia ini ada Ibu yang penuh kasih, dan ada Ibu yang tak punya hati. Seandainya aku punya Mama seperti Bu Hasna," ungkap Edlyn, memecah keheningan.
Aku merangkul bahu Edlyn, hanya tersenyum menanggapi ucapannya.
***
"Siapa dia?" Mata Mbak Niken melirik ke arah Edlyn yang berdiri di halaman rumah.
"Anak majikan."
"Kok kamu bawa ke sini?"
"Dia yang ngikut. Sebenarnya aku dari rumah Mandala, menjenguk Amanda," ujarku, lalu menyeruput teh manis buatan Mbak Niken.
"Maaf, aku tidak menjenguk Amanda. Sebel aku sama tingkah anakmu dan mantan mertuamu. Mereka berdua bagaikan virus yang harus dibasmi," ucap Mbak Niken, seperti biasanya, blak-blakan.
"Aku tahu itu ...." desisku. "Oh, ya, Mbak, masih butuh pekerjaan tidak? Kebetulan satu ART sudah keluar."
"Aku sudah kerja di rumah makan," jawab Mbak Niken.
"Sayang sekali."
Pandanganku beralih pada Edlyn. Gadis itu sibuk mengamati sekeliling. Entah apa yang menarik di matanya.
"Sepertinya gadis itu sangat dekat denganmu, Hasna ...." komentar Mbak Niken.
"Ya, kami lumayan dekat." Aku beranjak dari kursi. "Rumahku aman 'kan, Mbak?"
"Aman dan bersih, kemarin malam aku tidur di rumahmu. Biasa lagi mules lihat muka suami."
Aku melihat ke layar ponsel, dari map pada aplikasi taksi sudah masuk ke kompleks perumahan.
"Eh, bagaimana kabar Mandala?" Mendadak Mbak Niken menanyakan Mandala.
"Ya, aku tidak tahu, Mbak. Tanya ke orangnya sendiri."
"Aku pikir kalian berdua akan bersatu kembali," celetuk Mbak Niken.
"Sudah tidak ada cinta, Mbak." Aku meraih tas di atas kursi, taksi yang kupesan sudah sampai. "Lenyap bersama waktu."
"Benar, sudah tidak ada rasa sama sekali?"
"Tidak ada," tegasku.
Sesudah berpamitan aku dan Edlyn masuk ke dalam taksi yang akan membawa kami pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam.
"Lingkungan tempat tinggal Bu Hasna sepertinya menyenangkan, ramai, tidak sepi," ujar Edlyn.
"Ya, sangat menyenangkan, apalagi ketika gosip menyebar, tambah menyenangkan," sahutku.
"Bu Hasna akan kembali dengan Pak Mandala?"
Aku terkekeh. "Kamu ikut-ikutan tanya tentang itu. Ada apa?"
"Papa ada saingan, dong. Aku akan memberitahu Papa, biar gercep untuk melamar Bu Hasna."
"Edlyn, kamu konyol dan lucu."
Edlyn menyurukkan kepalanya di pangkuanku. "Soalnya aku ingin Ibu seperti Bu Hasna, saat Amanda mengabaikan dan melupakan, Bu Hasna tetap menyayangi Amanda."
"Anggap saja aku Ibumu, Lyn." Aku membelai rambut Edlyn.
Taksi meluncur melewati jalan pusat keramaian kota. Kemudian taksi agak melambat.
"Sepertinya ada kecelakaan," kata sopir taksi.
Bunyi klakson mobil mulai bersahutan. Para pengemudi mobil tidak sabaran. Netraku menangkap siluet Pak Aksara di depan restoran. Sosok yang muncul di belakangnya, membuatku terperangah.
Soraya?
Aku mengedipkan mataku, tidak percaya. Mereka berdua tampak berbincang. Lalu Pak Aksara masuk ke dalam mobil, dan Soraya melambaikan tangan. Senyum sumringah jelas terlihat di wajah perempuan itu.
"Jika tahu macet begini, tadi ambil jalan tikus saja," gerutu si sopir.
Apa tadi benar itu Pak Aksara? Karena dari yang kutangkap dari cerita Pak Aksara waktu itu, dia membenci Soraya. Bahkan melarang Edlyn bertemu dengan Soraya.
Lalu tadi apa?
Mereka tampak akrab. Adakah sesuatu di antara mereka?
Aku melihat ke arah depan, mobil sudah keluar dari kemacetan. Pikiranku masih penuh tanda tanya.
Saat taksi sampai, mobil Pak Aksara pun sampai di depan rumah. Aku keluar perlahan.
"Hei, Pa!" sapa Edlyn.
"Hei, kalian dari mana?" tanya Pak Aksara yang baru saja turun dari mobil.
"Kami berdua menjenguk Amanda, lalu mampir ke rumah Bu Hasna, eh, lebih tepatnya di rumah sahabatnya," jawab Edlyn. "Papa tumben pulang cepat."
Pak Aksara menyubit hidung Amanda. "Karena ingin menghabiskan waktu bersama putri papa yang cantik," jawabnya.
Edlyn berlari duluan masuk ke dalam rumah.
"Pak Aksara, boleh saya bertanya sesuatu?"
"Tentang apa Hasna?"
"Itu ...."
Mulutku berhenti berucap, aku pikir hal itu adalah ranah pribadi Pak Aksara. Siapa aku sehingga berhak mengajukan pertanyaan.
"Apa?"
"Tidak ada apa-apa, Pak. Bukan hal penting. Maaf." Aku bergegas melangkahkan kaki, masuk ke dalam rumah.
Sampai di dapur, aku membuka kulkas. Menuangkan air putih dingin ke dalam gelas. Entah kenapa tenggorokan terasa kering.
"Sebenarnya apa yang ingin kamu tanyakan?" Pak Aksara muncul di bibir pintu dapur.
"Tidak ada ...."
"Aku akan menunggu sampai kamu menjawabnya, Hasna. Aku akan bergentayangan di dekatmu."
"Saya tadi melihat Pak Aksara dan Soraya keluar dari restoran," jawabku, menghentakkan gelas di meja.
"Kamu marah aku bertemu Soraya?"
"Saya tidak marah, Pak."
"Itu tadi membanting gelas."
"Oh, tidak sengaja," sahutku.
"Cemburu?" tebak Pak Aksara.
Aku tertawa. Cemburu? Aku cemburu? Aku tidak cemburu.
"Baru kali ini aku melihatmu tertawa, biasanya cemberut terus," ucap Pak Aksara. "Istirahat, jangan sampai sakit lagi. Selamat malam, Hasna."
Ck. Pertanyaanku tidak dijawab. Pak Aksara pergi begitu saja.
***
Lenni menyuruhku membeli daging sapi, dia senang sekali menyuruhku. Aku memilih membeli di supermarket dekat rumah. Sebelum balik, aku menyempatkan membeli jus buah mangga--jus kesukaan Amanda. Kemudian aku duduk di bangku berderet di luar supermarket.
"Dunia ini, kota ini sempit sekali, kenapa kita selalu bertemu?"
Sang super model yang sudah pensiun duduk di sebelahku.
"Jika tidak suka bertemu denganku kenapa menghampiri diriku?" Aku menatap tajam Soraya.
"Ada yang ingin aku sampaikan, Hasna. Aku tidak akan mempertahankan pernikahan dengan Mandala. Untuk apa tetap di samping lelaki yang sudah tidak mencintaiku? Lebih baik aku lepaskan."
"Itu tidak penting bagiku," sungutku.
"Aku telah menemukan seseorang yang lebih kaya dan pastinya memujaku. Ah, hidup tidak perlu di bikin susah," kata Soraya.
Aku mengacuhkan Soraya.
"Kembalilah pada Mandala, Hasna. Aku tidak akan menghalangi kalian."
"Aku tidak akan kembali ke pangkuan Mandala," ucapku, berdiri dari bangku.
"Karena aku akan kembali bersama Aksara," kata Soraya. "Aksara memintaku menjadi istrinya lagi, demi Edlyn."
Aku berhenti melangkah. Ada sesuatu yang menghantam hatiku.
"Kamu terkejut Hasna?"
Menikahi Soraya? Setelah yang perempuan itu lakukan, Pak Aksara mengajak rujuk? Tidak dapat dipercaya. Motif Soraya kembali jelas bukan karena cinta. Dia bahkan pernah menyalahkan Edlyn.
"Bersiaplah aku akan menjadi Nyonya di rumah Aksara." Tawa Soraya berderai. "Nyonya Aksara."
Aku tidak mengerti dengan pemikiran Pak Aksara? Apakah dia sudah meminta izin pada Edlyn?
Aku sudah menemukan jawaban atas pertanyaanku tiga hari yang lalu, kenapa Pak Aksara bertemu Soraya di restoran?
Mereka berdua akan bersatu lagi sebagai keluarga.
***
Aku tidak bisa memejamkan mata. Ada yang terbakar, entah apa itu. Aku gelisah tak karuan. Perasaan yang dulu pernah kurasakan kini hadir kembali, tapi, pada orang yang berbeda.
Perkataan Soraya sungguh mengganggu. Kenapa aku harus terganggu?
Getar dari ponsel membuatku tersadar dari lamunan.
"Amanda?"
"Mama ...." Terdengar jelas anak itu sedang menangis.
"Ada apa, Manda? Kamu baik-baik saja?"
"Aku kangen ... Mama ... maafkan aku ...."
Air mata jatuh dari pelupuk mata. "Mama juga kangen ... besok mama akan datang menjenguk kamu. Bolehkan?"
"Aku ... sekarang di luar."
"Di luar mana?"
"Di depan rumah Edlyn ...."
Aku berlari ke luar kamar. Setelah membuka pintu rumah, aku berjalan melintasi taman, dan kulihat Amanda berdiri di pos satpam.
Amandaku ....
Aku merengkuhnya dalam pelukan dengan lembut, teringat luka di bahu Amanda.
Amanda menangis, tubuhnya melorot, satu tangannya memeluk kakiku. "Maafkan aku, Mama ...."
"Mama, sudah memaafkanmu."
"Aku telah menyakiti Mama, aku pantas menerima hukuman." Amanda semakin terisak. "Hanya Mama yang menyayangiku dengan tulus."
Akhirnya Amanda mengerti, siapa yang akan tetap berdiri di sampingnya walaupun seluruh dunia meninggalkannya.
Aku ikut bertumpu dengan lutut, menyeka air mata di pipi Amanda. Wajah yang mengerikan bagiku tetap secantik embun pagi.
Amanda bukan monster, dia tetap putri kecilku, yang kubesarkan dengan penuh perjuangan. Aku memeluknya kembali.
Terima kasih, Tuhan ... aku bisa memeluk putriku kembali.

Comentário do Livro (409)

  • avatar
    hariadirafi

    yes

    07/07

      0
  • avatar
    syaCha

    cerita menarik dan terasa lebih berbeda dari novel-novel sejenis lainnya. suka dan gemes banget sama alur cerita yang naik turun problematikanya, makasih banyak author udah bikin hiburan buat pembaca🤗💌🌟🌟🌟🌟🌟

    15/03

      0
  • avatar
    Peachburn

    loved this novel sbb bagi saya kurang konflik

    07/02

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes