logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Hujan di Wajahmu (5)

Setelah menunggu sekitar sepuluh menitan akhirnya Dani dan orang yang tertarik untuk membeli rumah itu datang. Arina langsung terbangun dari duduknya, sebagai bentuk hormat.
"Maaf ... Saya telat, sudah menunggu lama ya?" tanya lelaki yang bersama Dani. 
"Tidak, saya masih belum lama kok ... Silakan duduk, tuan," ucap Arina, sopan.
"Terima kasih ... Sebelumnya, perkenalkan nama saya, Satrio." Mereka berjabat tangan.
"Nama saya Arina, senang berkenalan dengan anda." Arina tersenyum.
Mereka bertiga akhirnya duduk berhadapan dengan posisi, Arina menghadap Dani dan Satrio.
"Permisi!" Dani melambaikan tangannya, memanggil pelayan.
Salah satu pelayan kafe pun langsung menghampirinya dengan membawa sebuah menu.
"Mau pesan apa?" tanya pelayan itu.
"Saya espresso satu ... Kalian?" tanya Dani kepada mereka berdua.
"Saya pesan americano, seperti biasa." kata Arina.
"Saya teh tawar aja," jawab Satrio.
Pelayan itu mengangguk. "Baik ... Mohon ditunggu." Ia pun langsung berbalik dan pergi.
Obrolan kembali berlanjut di antara mereka. Satrio langsung membahas inti dari pertemuan ini.
"Saya berminat dengan rumah yang kamu tawarkan." 
Arina sempat bingung padahal ia baru kali ini bertemu Dangan Satrio. Dan selama ini dia belum menawarkan projek rumah huni itu kepada Satrio. Semua kemungkinan itu bisa terjadi karena Dani.
"Sepertinya anda sudah tahu dari mas Dani, ya ...? Izinkan saya memperkenalkan diri lagi, saya Arina, sebagai sales marketing ingin menjelaskan tentang rumah huni dan juga harganya ...."
Arina mulai menjelaskan tentang rumah yang dia tawarkan. Dan berbagai hal lainnya seperti harga, lokasi yang strategis, dan masih banyak lagi.
Tak lama kemudian, pelayan datang menghentikan sejenak percakapan mereka. Tiga gelas minuman yang berbeda disandingkan. Percakapan itu pun kembali di mulai setelah pelayan kafe itu pergi.
Arina terus menjelaskan dengan begitu serius. Dia terlihat profesional dengan pekerjaannya. Wajah seriusnya membuat Dani semakin ingin cepat-cepat menikahinya. Yang ada dipikiran Dani saat ini hanyalah Arina, dia bahkan tidak berkonsentrasi dalam percakapan itu. Yang dia lakukan hanyalah terus menatap wajah Arina yang terlihat semakin cantik saat serius.
Arina merasa agak tidak nyaman ditatap seperti itu oleh Dani. Tapi itu tidak membuatnya kehilangan fokus. Bisa-bisa nanti dia kehilangan pembeli yang sedang berminat ini ....
Pada akhirnya percakapan itu sudah berada di ujung.
"Ini nomor telepon saya." Arina menunjukkan nomor teleponnya kepada Satrio. Nomor yang sebanyak dua belas digit itu diketik perlahan oleh Satrio.
"Sudah." Satrio memasukkan handphonenya kembali.
"Ini uang muka untuk rumahnya." Satrio mengeluarkan amplop berwarna cokelat yang tebal.
Arina agak kaget, melihat pria itu mengeluarkan uang tanpa ragu. "Anda bisa menyerahkannya besok di kantor pemasaran. Sekaligus mengurus surat-surat lainnya." 
Satrio tetap menyodorkan amplop itu. "Terima saja, saya percaya denganmu. Karena keponakan saya juga begitu," ujar Satrio.
Arina kaget. "Keponakan ...?" Dia melirik ke arah Dani. Dengan cepat Dani membuang mukanya cepat.
"Dani belum bilang ya?" Satrio menatap keheranan.
"Iya, pak ... Saya sama sekali tidak tahu kalau anda adalah om Dani." Arina merasa dibohongi. "Pantas saja semuanya terasa mudah," batin Arina.
"Panggil saya om saja."
"Iya, maaf o-om."
Arina agak kesal saat mengetahui bahwa Dani tidak mengatakan keseluruhannya bahwa Satrio adalah omnya. Berarti semua usaha ini adalah berkat Dani. Arina mendapatkan pembeli yang dengan mudahnya seperti ini juga berkatnya. Pantas saja tanpa ragu Satrio mengeluarkan uangnya tanpa takut ditipu sedikit pun. Keluarga orang kaya benar-benar mengerikan.
"Kalau begitu saya pamit dulu. Saya akan mengabari kamu besok," ujar Satrio.
"Iya, om ... Terima kasih atas waktunya." Arina tersenyum tipis.
Satrio pun mulai pergi meninggalkan kafe ini. Sekarang giliran Dani yang harus menjelaskan semuanya.
"Kenapa kamu tidak bilang, kalau om Satrio adalah om kamu?" Arina menatap dalam Dani yang tampak mencoba mengalihkan pandangan. Padahal sebelumnya dia tidak pernah melepaskan pandangannya dari arina.
"Aku cuma ingin membantu kamu, Arina. Aku tidak punya maksud lain."
"Iya, tapi kenapa tidak bilang kalau dia om kamu!?" Nada bicara arina agak meninggi.
"Maaf ... Kukira kamu tidak akan marah, kalau tidak kuberi tahu."
"Aku tidak akan marah kalau kamu mengatakan yang sejujurnya ... Itu artinya, untuk mendapatkan pembeli tadi bukanlah karena kerja kerasku. Semuanya atas bantuanmu. Pantas saja tadi om Satrio mengerti dengan cepat, dia juga bilang kalau sudah melihat lokasinya. Semua itu tidak mungkin kulakukan. Semuanya karena kerja kerasmu, Dani!" Arina menghela nafas panjang. "Apa kamu mengerti perasaan seseorang yang selalu dibantu berulang-ulang? Aku tahu niatmu baik, tapi kebaikanmu bisa membuat orang lain tidak nyaman."
"Arina ... Aku minta maaf."
Arina bangun dari duduknya, mengambil tas miliknya. "Kamu tahu ...? Balon yang kamu tiup terus menerus juga bisa pecah." Arina pergi meninggalkan kafe dan juga Dani.
Arina merasa dibohongi, dia tahu rasanya dibohongi rasanya sakit. Meski Dani tidak mengatakan bahwa itu bukan omnya, tapi tetap saja bagi Arina, Dani terkesan sudah membohonginya. Hal ini mulai membangkitkan kenangan-kenangan lama Arina. Saat di mana dia selalu di bohongi oleh mantan kekasihnya. Terutama saat malam itu.
Saat dia sedang melewati sebuah taman di malam hari. Arina melihat Andri sedang duduk di bangku taman dengan seorang perempuan. Dari handphone miliknya, Arina mulai menanyakan di mana Andri berada saat itu. Setelah melihat jawaban dari Andri, hati Arina terasa begitu panas. Bagaimana tidak, jawaban yang diberikan Andri saat itu mengatakan bahwa dia sedang berada di rumah, berbaring di atas kasur, hendak tidur.
Arina mencoba menahan dirinya untuk tidak pergi ke sana dan memakinya. Dia memilih untuk mengamati mereka, sambil merekam secara diam-diam.
Semakin waktu berjalan, suasana semakin menyesakkan untuk Arina. Setelah itu Andri mulai membelai rambut perempuan itu. Bahkan setelahnya mereka melakukan hal yang tidak patut di contoh malam itu. Hati Arina terasa sangat panas dan seperti ingin meledak. Air matanya jatuh tanpa sepengetahuannya. Tangannya gemetaran menyentuh tombol untuk menghentikan rekaman.
Rekaman itu tersimpan jelas dalam handphone milik Arina dan juga hatinya. Arina mulai berlari sejauh mungkin dari mereka. Tak lama kemudian gerimis mulai turun. Arina terus berlari ke tempat di mana tidak ada orang yang bisa melihat tangisannya. Rintik hujan itu terasa begitu menyedihkan. Mungkin langit turut merasa sedih dengan seseorang yang telah di khianati oleh orang yang ia cintai sepenuh hati.
Arina mendongakkan wajahnya, membiarkan air-air hujan itu jatuh ke wajahnya. Menyembunyikan kesedihannya dan menghapus air matanya. Dia berteriak sekuat mungkin, memaki pengkhianat itu.
Setelahnya Arina mulai menuliskan kalimat terakhir serta bukti video. Kalimat terakhir yang dia kirim yaitu 'Kita putus!' Setelah itu Arina langsung memblokir nomor orang yang telah mengkhianatinya.
Saat itu hidupnya terasa begitu hancur. Hanya kejadian malam itu yang selalu dia ingat. Ingatan itu terus menghantuinya. Arina mengurung diri begitu lama di kontrakan miliknya. Sinta lah yang membantunya bangkit untuk perlahan. Sinta selalu memberikan dukungan padanya.

Comentário do Livro (78)

  • avatar
    iyan kece

    dapet duit

    4d

      0
  • avatar
    Rici Gustina

    aku sangat suka cerita ini , cerita ini sangat bagus 🤩 semakin lama ceritanya juga semakin tidak membosankan

    6d

      0
  • avatar
    Indah Widya

    Bagus cerita nya

    7d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes