logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Hilang untuk Hadir

Hilang untuk Hadir

Riena Wijaya


Capítulo 1 Prolog

Gadis cantik berkulit kuning langsat yang periang, dicintai keluarga, dikerubuti banyak teman SMA, dan digandrungi banyak cowok. Meski bukan terlahir dari keluarga yang kaya raya, tetapi aku tidak pernah merasa kekurangan. Kebahagiaan selalu menghiasi hari-hariku. Sungguh sempurna hidupku.
Semua definisi di atas merupakan rangkuman dari kehidupanku beberapa tahun yang lalu. Sebelum tragedi waktu itu terjadi, sebelum duniaku berbalik 180°. Hitam pekat, begitulah aku memandang hidup saat ini.
Menjalani hari-hari sendiri, terkurung belenggu kegelapan, seperti di dalam rutan. Bukan karena ada yang melarangnya pergi, tapi enggan rasanya untuk sekadar keluar rumah dengan kursi berjalan yang melekat pada tubuh. Dunia seolah-olah mentertawakanku.
Usiaku tak lagi muda, angka dua puluh tujuh telah menghantui beriring dengan ratusan pertanyaan orang-orang di sekeliling perihal kapan pernikahanku akan segera berlangsung. Bagaimana bisa menikah, jika mempelai pria belum juga kutemukan. Mereka yang bertanya memang bermulut rampus. Suka menghakimi orang lain, padahal belum tentu hidupnya sudah sempurna.
Berat badan 50 kg dengan tinggi 160 cm, bisa dibilang aku bertubuh ideal, dan itu sedikit mempermudahku. Aku tak begitu kesusahan ketika menggerakkan roda-roda pada kursiku. Rambut bergelombang menggantung yang dahulu suka kubiarkan tergerai bebas, kini selalu kuikat tinggi di atas kepala. Jerawat yang menghampiri wajah kubiarkan begitu saja, kempes dan sembuh dengan sendirinya. Cukuplah mandi sehari dua kali, benar-benar tanpa perawatan layaknya gadis yang katanya adalah sebuah dagangan ketika menginjak usia pernikahan. Rasa insecure dengan anggota tubuh, membuatku abai pada hal-hal kecil seperti itu. Aku memang bukanlah gadis cantik seperti dahulu.
Perlahan, aku mulai kehilangan kepercayaan diri, kehilangan sikap manja dan manis yang dulu kupunya. Mulai membangun tembok yang kokoh, tinggi menjulang dari kehidupan khalayak ramai. Bertahun-tahun menyalahkan diri sendiri, menyesali apa yang sudah terjadi, menumpuk rasa benci dan menyimpannya dalam laci hati yang paling dalam.
Luka itu masih nyata di pelupuk. Di setiap pergerakan kelopak pada netra. Semburan darah menampar aspal, pekikan, blingsatan, dan kerubungan.
Suara menyakitkan itu masih saja menghampiri indera dengarku, padahal sudah berkali-kali kututup telinga rapat-rapat.
"Udahlah, Aruni, gak usah gangguin, Doni lagi!" ucap cewek yang dahulu mengaku sebagai teman sejati itu di dekat daun telingaku. Egoku yang naik pitam, langsung memberikan cacian lewat mulut sembarangan, hingga ia menangis.
Seakan ia terlihat kecewa, karena kepergiannya penuh dengan api-api kebencian. Tutur kata sehalus kulit durian pun dikeluarkan. "Halah cewek cacat kayak lo bisa apa, sih? Cacat fisik membuat loe cacat logika. Ups, Jangan-jangan cacat jiwa juga!" hardiknya dengan tega, terlihat senyum merendahkan di sudut bibirnya ketika meninggalkan rumahku.
Bayangan mantan teman berlalu meninggalkan jejak noktah hitam di hatiku, hingga aku sempat berpikir,
"Kenapa tidak mati saja aku waktu itu?"
Cukup sudah, aku belum mampu mengingatnya lebih jauh lagi. Aku masih rapuh. Nanti bila hatiku telah siap, di antara putaran arloji yang tepat, dalam suasana yang sempurna, akan kuceritakan semuanya secara utuh.
Di tengah-tengah keterpurukan atas kehilangan banyak hal, hadir seseorang dari balik layar. Seseorang yang diam-diam telah menyelinap ke lorong hatiku. Indah parasnya belum pernah menggoda netra. Merdu suaranya belum pernah menyapa indra pendengaran. Namun, ia menyuguhkan harapan-harapan, meminjamiku sepasang sayap, mengajakku terbang menggapai asa.
Semangat berjuang dituangkannya bersama dengan ribuan kata mutiara yang selalu tertampang dalam feed instagramnya. Satu kalimatnya mampu menciptakan ribuan cerita untuk diukir di word. Dia adalah imajinasi, inspirasi, dan motivasiku. Satu quote yang benar-benar membuatku terpukau.
"Embun Arunika, seperti namamu jadilah sinar yang selalu dirindukan umat, buat peradapan dunia menuju lebih terang."
Setelah hampir sebulan menjadi anaknya di sebuah club kepenulisan, belakangan ketika aku stalking sosial medianya, baru kuketahui dia bernama Mochammad Ja'far sodiq. Tahun ini umurnya genap tiga dasawarsa, selisih tiga tahun denganku. Iya, dia adalah PJ dari kelompok kami. Stalking dari atas sampai bawah, tak ada satu fotonya pun kutemukan. Sosial medianya hanya penuh dengan quotes, puisi, dan e-sertifikat.
Pribadinya laksana buah durian, bersembunyi di balik duri, padahal aslinya lumer di dalam. Hanya orang-orang tertentu yang bisa merasakan sensasi kelembutan buahnya. Eh, maksudku kelembutan hatinya. Apakah aku boleh melambung tinggi karena pernah mendapat perhatian lebih darinya? Hmm … sepertinya tidak, aslinya dia memang baik ke semua orang.
Di balik sikapnya yang dingin seperti kulkas, tersimpan rasa tanggung jawab yang luar biasa. Suka membantu juga, ketika anak-anaknya mengalami kesulitan dalam menulis. Semua pertanyaan yang dilontarkan padanya selalu ia jawab, segala permasalahan yang menghampiri, selalu ia selesaikan dengan kepala dingin dan bijaksana. Semua kata-katanya selalu tampak dewasa di mataku. Namun, jangan harap mendapatkan jawaban, jika pertanyaanmu menyimpang dari perihal kepenulisan. Isi chatmu hanya akan diread saja.
Pernah suatu hari ketika aku mengiriminya chat ucapan terimakasih dengan embel-embel barisan kata merendahkan diri sendiri. Orang jawa memang diajari untuk tidak menyombongkan diri sendiri ‘kan, selalu disuruh berlaku andhap asor.
"Jika bukan karena kebaikan hati dan pemaklumanmu atas kebodohan dan pertanyaan konyolku, pasti namaku tidak akan tercantum di sana. Terimakasih tak terhingga sudah menumbuhkan harapan, memberi kesempatan, juga dukungan yang luar biasa." Kuketik chat dengan jemari gemetar, kemudian kukirim pada kontaknya yang kuberi nama 'Pak Pejeh'.
Setelah beberapa detik, chatku mendapatkan balasan,
"Makasih kembali. Sudah … Jangan melecehkan diri sendiri, itu sama aja kita melecehkan ciptaan Allah. Baik buruknya tubuh kita, itu hanya titipan dari Allah, yang sewaktu-waktu harus dikembalikan lagi. Aku hanya perantara, yang kamu peroleh saat ini adalah hasil dari keteguhanmu, kesungguhanmu, serta atas izin dari Allah tentunya." (Bait Archand)
Kalimat itu bagai menampar kesombongan hingga membuat keangkuhan jatuh tersungkur, aku sudah tak bisa berkata-kata lagi. Gerimis membasahi hati yang bertahun-tahun gersang.
"Entah terbuat dari apa, hati lelaki itu," batinku lirih.
Jangan lupakan Adit, seseorang yang menjabat sebagai ketua kelas di kelompok kami. Pria muda yang masih berumur dua puluh dua tahun itu bernama lengkap Aditya Pratama.
Dari foto profil yang sok narsis itu, tampak dia memiliki tubuh yang tinggi dengan kulit putih bersih. Mata sedikit sipit tapi tajam. Hidung mancung dan bibirnya sedikit penuh penuh. Ketika tersenyum, akan terlihat gigi putihnya yang berjejer dengan apik. Rambutnya dipotong stylist. Terlihat bajunya sangat rapi. Bertengger dengan manis, sebuah benda berwarna hitam yang menunjukkan sang waktu. Bisa dibilang, dia adalah kaum milenial yang sangat peduli dengan penampilan.
Pribadinya berbanding terbalik dengan Ja'far. Adit lebih piawai dalam berinteraksi, kata-katanya selalu manis, semanis gulali. Pemilik jiwa sehangat termos itu selalu gegap gempita di group WhatsApp, isi chatnya meramaikan jiwa-jiwa yang kesepian sepertiku. Jangan tanyakan efek dari rayuan mautnya, putri salju pun akan dibuat meleleh olehnya.
Sidoarjo--Embun Arunika

Comentário do Livro (279)

  • avatar
    ARYABSK

    bagus

    4d

      0
  • avatar
    Lince rumansaraYane

    wah dari cerita ini kita dapat baaanyak pelajaran bahwa kita harus percaya diri, dll

    8d

      0
  • avatar
    WarniPreh

    daimen

    20/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes