logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

7. PERTARUHAN

"Selamat malam, Rob."
"Selamat malam untukmu juga, Pak Iori. Bagaimana kabar anda?"
Manajer toko mainan itu, menyalami jabatan erat tangan pria tua di bawah tatapan penasaran bocah kecil bermata biru yang mendongak. Rei, hanya diam mendengar percakapan dua orang dewasa yang membuatnya lupa pada kereta yang sudah dimasukan ke dalam boks. 
Klenting!
Sampai suara bel pintu menyadarkan bocah kecil yang memakai jaket tebal kebesaran lalu menatapi boks besar yang dibawa pegawai toko dan terus ia tatapi.
Mata bulatnya yang berwarna biru cerah terus mengikuti boks besar yang harus diangkat dua orang, bahkan saat boks itu menghilang masuk ke dalam mobil besar yang tadi dinaiki wanita yang membuat keretanya berhenti berjalan, setelah wanita itu masuk.
"Kau suka kereta, Young Man?" Tanya pria tua yang ternyata sudah ditinggalkan manajer masuk ke dalam toko. 
Rei menggigit bibir merahnya yang jadi kering karena udara dingin. Ia diam beberapa lama lalu mengangguk. Matanya membesar saat Iori menjajarkan kepalanya sampai pandangan mereka sama tanpa harus mendongak.
"Dan kemana syalmu? tanya Iori pada bocah yang warna matanya mengingatkan diri pada gadis bodoh yang sudah terusir. "Di luar terlalu dingin meski jaketmu besar," ucap Iori melepas syal hangat yang ia pakai lalu melingkarkan pada leher kecil yang matanya membesar, terkejut.
"Aku tidak mau ikut denganmu."
Ucapan Rei membuat manik hazel Iori membesar lalu tersenyum lebar, sorot matanya terlihat semakin lembut, "tawaran yang menggoda, Young Man. Tapi, aku tak suka membawa anak-anak tanpa orang tua mereka, itu merepotkan," balas Iori, yang kembali berucap, "so, di mana mommy dan daddy-mu?"
Rei tampak berpikir, ia menatapi pria tua yang senyumnya begitu ramah. Rei masih menunjukan kewaspadaan. Menimbang dan menilai, haruskah ia mengatakan kemana mommy pergi atau tidak? Sampai tangan kecilnya yang tertutup lengan jaket kebesaran, terangkat.
"Di sana," tunjuk jari yang sarung tangan hangatnya pun kebesaran, apalagi itu milik wanita. 
'Mungkin, mommy anak ini lupa membawa sarung tangan untuk bocah kecil ini,' pikir Iori menatapi cafe yang menyatu dengan bar lalu kembali fokus pada bocah lelaki yang juga memakai jaket wanita--bukan barang imitasi meski itu keluaran 6 tahun lalu-- tapi, kenapa yang dipakainya barang-barang branded wanita?
Meski tidak bisa untuk tidak merasa penasaran, Iori menunjukan senyumnya, "tidak ikut orang asing adalah pilihan yang bijak, Young Man." 
Rei menatapi pria tua ramah yang berdiri dengan senyum lalu mengusap kepalanya, "senang bertemu denganmu, Young Man," ucap Iori lalu berjalan meninggalkan bocah kecil yang baru sadar, pria tua yang masuk ke dalam mobil wanita yang menunjuki kereta yang ia perhatikan tadi, syalnya masih melingkar di lehernya yang jadi hangat.
Kaki kecilnya yang siap berlari mengejar mobil yang sudah melaju, tertahan saat bangku yang tak boleh ia tinggalkan kembali nampak pada sudut matanya yang tadi terhipnotis kereta mainan.
Bocah kecil ini jadi bingung, tentu saja. Ingat pesan Cyntia juga laju mobil yang semakin jauh. Tapi, Rei memilih duduk di bangku. Berharap lelaki tua itu sadar syalnya tertinggal. 
Sementara di balik tembok, Cyntia menyentuh dadanya yang keras berdetak karena melihat siapa yang mengajak putranya berbicara. Kepala pelayan tempatnya dulu tinggal masih saja sama. Begitu murah senyum dan tegak tak perduli rambutnya memutih.
'Apa- ... kakak ada dimobil itu?'
Hanya itu yang berani Cyntia tanyakan, ia akan merasa bersalah jika bertanya lebih dari itu. Meski, pertanyaan yang keluar itu ada dalam kepalanya sendiri, bahkan tak ada yang mendengar ataupun tahu.
Tidak menyadari sepasang mata lelaki yang mengawasinya dengan air liur yang menggenang di mulut.
"Hei, Hans. Aku tak tau kau punya istri yang berani keluar dengan baju tipis di musim dingin seperti ini," ucap pria itu, membuat Hans melirik wanita yang tubuh kecilnya menempel pada tembok. entah sedang melihat apa dengan sembunyi-sembunyi.
Tapi, Hans tak perduli dan kembali menatapi berkas di tangan. Dibacanya berkali-kali tulisan dalam berkas seolah memastikan tak akan ada typo ataupun kesalahan ketik.
'Ini kesempatan terakhirku. Ini kesempatan terakhirku. ini kesempatan terakhirku.'
Tiga kalimat itu berputar berkali-kali dalam otak Hans. Pria yang kehilangan segalanya karena apa yang sudah ia lakukan dalam hidup. Bahkan, harus pergi dari tempatnya dahulu tinggal dan bekerja, hidup sebagai pemuda dengan masa depan cerah dan menjanjikan.
Ia harus pergi ke kota kecil ini, membawa sumber kemalangannya juga keluarga karena di kota yang ia tinggalkan, tak ada lagi tempat yang mau menerima dirinya ataupun keluarganya. 
Kota kecil ini, yang membuatnya meninggalkan segalanya. Kehidupan mewah yang rasanya kini tinggal mimpi dan angan-angan. Tapi, ia harus terus terjebak dengan sumber kemalangan dalam hidup hanya karena orang tuanya tak mau membayar seorang pembantu! 
"Shit!" Rutuk Hans jadi kesal dan menenggak habis bir yang tinggal separoh, tidak perduli lelaki di sampingnya mengernyit heran.
"Kau tahu, aku mempertaruhkan segalanya di sini bukan?"
Hans melirik partner kerjanya itu, malas. Apalagi parternya ini kembali menatap punggung Cyntia. Wanita yang menjadi segala sumber kemalangan dalam hidupnya.
Terlihat sekali ia tidak ingin meladeni karena pertaruhannya pun sama besarnya dengan sang parter.
Namun, entah setan dari mana yang membisikinya. Ucapan Hans membuat pria mesum dengan tato ular yang ia kenal sejak setahun lalu itu, menyeringai.
"Ku harap kau tak akan menarik ucapanmu, Hans." 
Hans mendengus dengan senyum di bibir lalu memanggil pelayan, meminta segelas bir lagi, "toh, aku tak pernah menyentuhnya." 
"What?" tanya pria yang sudah membayangkan hal mesum, pada Hans yang kembali menenggak bir tak perduli pada wajah bodoh parternya yang sudah dipenuhi nafsu.
*
"Kau pikir ini cukup, Iori?" Tanya wanita berwajah dingin, membuat yang ditanya menoleh ke bangku belakang. Mata majikannya, melirik kado besar terbungkus dengan pita sebagai pemanis.
"Yang lebih penting, Nona yang memilihnya, bukan begitu?"
"Kau sama sekali tak menjawab pertanyaanku, Iori," balas Nara, membuat pria tua yang memutar duduknya itu tersenyum. 
"Well, Nona. Apa anda melihat mata bocah kecil yang saya ajak bicara tadi?"
Nara hanya diam mengingat bocah kecil yang tubuhnya menempel pada etalase toko yang rasanya ingin bocah itu tembusi.
"Aku tidak menemukan hubungan antara pertanyaanku dengan anak itu," ucap Nara. 
Namun, senyum Iori membuat Nara menyedakepkan tangan.
"Nona, anak itu begitu terhipnotis dengan kereta yang anda beli."
Nara diam sesaat.
"Oh," hanya jawaban itu yang keluar dari bibir Nara. Wanita dingin itu, mengangguk paham dan menyenderkan kepalanya makin dalam, "bangunkan aku jika kita sudah sampai. Dan belilah syal baru untuk lehermu itu!" kata Nara memejamkan mata.
Iori hanya mengangguk dengan senyum, majikan dinginnya itu menunjukan kehangatan dengan caranya sendiri.
"Jika anak Ais sudah besar, apa menurutmu ia akan sebesar anak itu?" 

Comentário do Livro (63)

  • avatar
    WarningsihPuji

    24569

    3d

      0
  • avatar
    EfendiErpan

    novel gratis download

    19/08

      0
  • avatar
    Ayu Setia Ningsih

    SERU

    18/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes