logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 3 Kepulangan Yuna

Setelah mengantarkan Deana, Beno mengarahkan motornya ke rumah Andre, dia tak langsung ke tempat Yuna. Karena Yuna belum memberinya kabar di mana posisi dia sekarang. Apakah masih dalam perjalanan atau sudah sampai, Beno belum mengetahuinya.
Beno membunyikan klakson, seorang satpam membuka gerbang tinggi yang melindungi sebuah rumah megah di kawasan Sukajadi.
“Pagi, Mas Ben,” sapa Pak Eto dengan ramah.
“Pagi, Pak,” balas Beno seraya memasukkan motor sportnya.
“Ngapain elo ke sini pagi-pagi, Ben.” Andre berdiri di depan pintu rumah dengan penampilan yang masih acak-acakan, sepertinya pemuda bermata sipit itu belum sempat membersihkan diri.
“Gue cuma mau bilang aja, malam minggu gue kagak bisa gabung. Yuna udah dateng, Bro!” ucap Beno masih duduk di atas motornya, helmnya telah dilepas dari kepala.
Andre melangkah mendekati Beno, lalu duduk anak tangga teras rumahnya.
“Udah pasti dia balik hari ini?” tanya Andre sebelum dia menguap lebar.
Beno mengangguk cepat, senyum terukir di bibirnya. Kemudian sebuah pesan masuk di ponselnya, pesan dari Yuna.
"Ben, aku udah masuk kota Bandung. Tunggu di kost’an ya. Bye, see you 😘"
Senyum di bibir Beno semakin lebar, dia kembali memakai helm yang tadi sempat dilepasnya.
“Mau ke mana, Lo?” tanya Andre.
“Cabut, Yuna udah dateng. Thanks, Bro!” Tanpa basa-basi lagi Beno langsung mengendarai motornya keluar dari halaman rumah Andre.
“Dasar bucin!” seru Andre, dia kembali masuk ke dalam rumah, lalu keluar lagi sambil menepuk dahinya. Andre lupa dengan tujuan awalnya yaitu meminta Pak Eto membelikan bubur ayam, gara-gara kedatangan Beno.
Tidak memakan waktu lama, Beno telah sampai di depan kost’an Yuna. Bangunan bercat hijau itu tampak lengang, mungkin semua penghuninya sedang beraktivitas di luar rumah.
Lelaki berambut gondrong itu duduk di teras, mata elangnya memandang taman yang tak begitu luas di sana. Bibirnya lagi-lagi tersenyum. Beno mengingat saat dia menjemput Yuna untuk pertama kalinya dengan status sebagai gebetan, bukan lagi sebagai seorang sahabat.
Masih teringat jelas bagaimana groginya dia saat itu. Padahal dia adalah seorang Beno, penakluk wanita. Segudang pengalamannya menaklukkan hati wanita, tak berguna saat berhadapan dengan Yuna.
Yuna seperti memiliki sihir yang mampu menyerap pesona dan kemampuan Beno dalam menaklukkan hati.
Bunyi pagar berderit terdengar, Beno menoleh, senyumnya menyambut kedatangan sang kekasih hati. Beno langsung berdiri dan memeluk erat Yuna, beberapa kecupan mendarat di puncak kepala gadis yang telah mencuri hatinya itu.
“Kangen banget, Yang.” Beno menatap kekasihnya dengan wajah berbinar, lalu mengecup kening. Yuna terpejam lalu tiba-tiba saja menangis.
“Yang, kok, nangis?” Beno mengusap air mata yang mengalir di pipi lembut Yuna.
“Kamu baik-baik aja? Ada yang belum kamu ceritain ke aku?” tanya Beno dengan tatapan menelisik, ada tanda tanya besar dalam hatinya. Yuna menunduk, menghindar dari tatapan Beno.
“Yang ....” Beno mengangkat wajah gadis manis itu agar membalas tatapannya.
“Nggak ada, Ben. Aku cuma masih keingetan Tante Mela. Dia itu deket banget sama aku. Dia ....” Yuna tak meneruskan perkataannya, tangisnya malah semakin kencang. Beno menariknya ke dalam pelukan. Lelaki itu tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi dia tetap berusaha menenangkan Yuna.
Mungkin Yuna masih sedih kehilangan tantenya, pikir Beno, berusaha menekan rasa penasaran yang semakin menyerang hatinya.
“Udah ya, jangan nangis terus. Kasihan Tante Mela di sana, dia pasti ikutan sedih lihat kamu kayak gini.” Beno mengusap punggung Yuna.
“Ben,” ucap Yuna sembari melepas pelukan lelaki yang belum puas melepaskan rasa rindunya itu.
“Mulai sekarang, setiap akhir minggu aku harus nemenin anak Tante Mela. Dia minta aku nemenin dia. Dia masih syok, Ben. Nggak papa ‘kan?” jelas Yuna dengan suara pelan. Sesekali matanya melihat sekeliling, berusaha menghindar dari tatapan Beno.
Apalagi ini? Tanya Beno dalam benaknya.
Beno menatap lekat-lekat wajah kekasihnya yang sembab, raut kesedihan begitu kuat terpasang di wajah ayunya.
Sebegitu sedihkah dia kehilangan tantenya?
Entah kenapa Beno merasa ada yang disembunyikan oleh Yuna.
“Ben, nggak papa, ya?” tanya Yuna, berusaha membujuk Beno.
“Kamu tahu ‘kan, Yang. Kita berdua sama-sama sibuk. Jadwal kuliah kita juga nggak sama sekarang. Apalagi Om Rudi memintaku untuk serius bekerja di kantornya. Tugas aku di kantor semakin banyak. Mungkin aku nggak bisa leluasa antar jemput kamu lagi. Cuma di akhir minggu kita bisa ketemuan. Masa sekarang kamu mau ngurusin anak tante kamu, sih?” Panjang lebar Beno mengungkapkan keberatannya.
“Tolong ya, Ben. Tolong ngertiin posisi aku. Aku tuh, deket banget sama dia, aku nggak bisa biarin dia kesepian, sedih sendirian.” Yuna terus membujuk agar Beno mengijinkan.
“Oke.” Akhirnya Beno menyetujui keinginan Yuna. Beno tidak pernah bisa menolak keinginan Yuna, apalagi dia sampai memohon seperti itu.
“Tapi cuma sementara aja, aku nggak mau selamanya kayak gini.” Beno menatap gadis di hadapannya dengan lembut. Yuna mengangguk sambil tersenyum manis, yang membuat jantung Beno semakin berdetak kencang.
“Ben, ke kamer, yuk. Kita ngobrol di kamer aja.” Yuna menarik tangan Beno. Beno sedikit kaget, tetapi memilih untuk tersenyum dan menggoda kekasihnya.
“Yang, nggak salah kamu ajak aku ngamar?” candanya. Yuna menarik rambut tebal Beno.
“Ish, kalimat kamu tuh ambigu! Kita ke kamar, aku mau bongkar tas. Ada oleh-oleh buat kamu. Pikiran kamu tuh ya, Ben!” omel Yuna sambil terus melangkah menuju kamar. Beno tersenyum jahil, mengikuti langkah Yuna dengan membawa tas ransel Yuna.
“Kirain kamu ngajakin ngamar, Yang.” Beno memeluk Yuna dari belakang setelah meletakkan tas Yuna di samping pintu kamar yang dibiarkan terbuka, agar tidak ada fitnah.
“Ben, lepas dulu. Aku mau ambil oleh-oleh di tas.” Yuna bergerak dalam pelukan Beno, membuat lelaki itu semakin gemas.
“Nggak mau, kangen kamu banget. Pengen meluk terus.” Beno makin mengeratkan pelukannya. Berkali-kali dia mengecup puncak kepala Yuna. Gadis itu diam seperti menikmati pelukan Beno.
“Ben, capek berdiri terus kayak gini,” keluh Yuna pada akhirnya.
Beno melepas pelukannya, membalik tubuh Yuna sehingga mereka berdiri berhadapan, saling menatap penuh cinta. Netra Beno menyusuri wajah cantik sang kekasih, meski tanpa make-up tebal, tetap berhasil membuatnya terpesona.
Tiba-tiba Beno melihat tatapan Yuna fokus pada satu titik, yaitu bibirnya. Matanya menggelap, lalu perlahan bibir Yuna mendekat ke arah bibirnya. Sontak Beno menarik wajahnya menjauh. Terlambat sedetik saja, mungkin bibir Yuna akan mendarat di bibirnya dan membuatnya hilang kewarasan.
“Yang, a ... aku tunggu di depan aja,” ucap Beno dengan sedikit gugup. Bagaimana pun juga Beno lelaki normal, hasratnya tiba-tiba muncul. Namun, dia tak mau merusak kekasihnya. Yuna gadis baik-baik, ibu dari anak-anaknya kelak, Beno harus menjaganya.
$$$$$
4 Februari 2022

Comentário do Livro (95)

  • avatar
    PratamaRio

    bagus

    5d

      0
  • avatar
    Raditia Azwan

    Karena seru

    10d

      0
  • avatar
    AAp

    ok qlala

    12d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes