logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Part. 3

Mataku mulai terpejam. Biasanya Mas Haris akan menyusulku ke kamar ini jika menginginkanku mengisi malamnya. Kecupan lembut di kening dan jemari kananku adalah kode agar aku segera mempersiapkan diri. "Ah, sesuatu yang indah yang tidak akan pernah pernah terulang lagi di antara kita, Mas ..." gumamku sambil tersenyum pahit.
Lelah rasanya. Bukan saja badan, tapi juga pikiran dan perasaan. Rasa kehilangan yang baru beberapa jam telah menyiksa batinku sedemikian rupa. Bagaimana nanti akan kujalani hari-hari tanpamu dan Hanif, Mas .... Hingga kini aku masih tak percaya dengan apa yang telah terjadi.
Tetiba kuteringat sesuatu. Segera mengambil benda pipih warna putih di lemari gantung. Mengetik sebuah pesan dan mengirimkannya ke seseorang.
Suara tarkhim menjelang subuh membangunkan lelap tidurku yang entah kumulai jam berapa. Jam dinding menunjuk angka 3.20 pagi. Gegas bangkit dan mengambil air wudhu. Kembali menggelar sajadah untuk salat malam. Bersujud dan curhat kepada Sang Penguasa Alam.

Terlarut dalam dzikir dan bacaan Al Quran, tak terasa air mata menetes lagi. Dadaku sesak tak terperi. Menahan beban kesedihan dan luka yang baru ditorehkan Mas Haris, yang kini telah menjadi mantan suami.
Terdengar Alya sudah terbangun juga. Tidak bisa membedakan siang dan malam, membuat jadwal tidurnya tidak beraturan. Tidur paling cepat menjelang tengah malam, nanti bangun waktu subuh. Selepas dhuhur tidur lagi hingga menjelang maghrib. Setiap hari, tidak bisa dipastikan. Namun semua itu tidak menjadi masalah yang berarti setelah ada kamar khusus untuk Alya.
Dulu sebelum punya kamar tersendiri, rasa badan tak karuan. Mengikuti jadwal tidur yang tidak beraturan. Hingga Mas Haris dan Hanif pun sempat protes karena perhatianku kepada mereka berkurang.
Namun, alhamdulillah segalanya bisa diselesaikan. Komunikasi untuk mencari solusi selalu aku dan Mas Haris kedepankan, bukan dengan perang urat dan kemarahan.
Segelas susu coklat hangat kesukaannya segera diminumnya. Setelah itu melanjutkan aktifitasnya. Bicara segala yang dihafalnya, meskipun tanpa mengerti apa maknanya. Melantunkan adzan dan ayat Al Quran tertentu terus dan berulang. Berdiri, berjalan ke sana ke mari mengitari kamar. Begitulah dunianya. Hingga dia lelah, kemudian terlelap kembali.
***
Aku mengecek pesanan belanja di tempat khusus teras depan. Uang yang kutinggalkan semalam, kini telah berganti menjadi sekantong belanjaan. Ada bayam, wortel, tauge, tahu, tempe, ayam, bumbu pecel, dan setandan pisang raja. Bersyukur tinggal di perumahan yang banyak fasilitas dan layanan. Sehingga bisa menghemat energi dan mempermudah banyak urusan.
"Bu, gimana tidurnya semalam, nyenyak?" tanyaku sambil menghidangkan segelas teh dan sepiring pisang goreng hangat di meja makan.
Ibu menatapku lembut, mengangguk sambil tersenyum. Lalu menyeruput teh hangat yang kusediakan.
"Hanif belum bangun jam segini, Fiz?" tanya Ibu sambil mulai makan pisang goreng hangat yang ada di piring.
Aku terhenyak mendengar pertanyaan Ibu. Pasti Ibu juga akan menanyakan tentang Mas Haris. Ah, gimana ini? dugaku.
Tidak mungkin aku menghindar terus-menerus dari perempuan yang telah merawatku dengan kasih sayang ini. Maka aku mulai menyiapkan jawaban yang tepat dan berusaha menyampaikan ke Ibu dengan cara yang tidak mencurigakan. Menemani Beliau duduk santai di meja makan, lalu mulai menjelaskan.
"Hanif sedang menginap di rumah eyangnya, Bu. Eyangnya kangen, katanya. Eh, tapi nanti akan saya jemput, biar bisa bertemu Ibu." Aku berusaha menjelaskan dengan senyuman dan sesantai mungkin.
"Nah, kalau Mas Haris lagi ada kerjaan di lapangan. Jadi, untuk beberapa hari ke depan nggak bisa pulang. Tapi nanti coba saya hubungi, biar tetap bisa berjumpa dengan Ibu, ya. Ya kalau memang bebar-benar tidak bisa diusahakan, minimal 'kan bisa video call-an," ucapku sambil tertawa kecil.
Kuseruput teh hangat dari mug keramik yang berinisial H berwarna hitam. Gelas kenangan dengan Mas Haris. Hadiah ulang tahun pernikahan yang ke-5 yang bertuliskan inisial nama panggilan dan warna favorit masing-masing.
Semoga dengan penjelasanku tadi, Ibu tidak bertanya lebih banyak lagi tentang rumah tanggaku. Aku tidak ingin membebaninya dengan kesedihan yang menimpaku saat ini. Dan semoga hal ini tercatat sebagai salah satu bentuk birrul wa lidain-ku pada orang yang telah melahirkanku itu, harapku dalam hati. Aku tersenyum kecil sambil memandangi wajah wanita paruh baya di depanku.
***
Kuperhatikan pantulan wajahku di depan cermin meja rias di kamar. Masih cantik dan menarik, batinku. Badanku juga masih langsing meskipun sudah melahirkan dua kali. Lalu apa yang menyebabkan Mas Haris tetiba menjatuhkan talak padaku?" tanyaku dalam hati. Air mata ini tak bisa kutahan lagi.
Kutahu dulu ketertarikan Mas Haris untuk menikahiku memang bukan karena faktor fisik semata. Meskipun demikian, aku selalu berusaha untuk menjaga keindahan yang telah Allah karuniakan padaku. Dengan sesekali pergi ke salon dan mengikuti jadwal Zumba di salah satu klub senam di ruko depan perumahan. Dengan harapan, secara fisik aku bisa menjadi sebaik-baik perhiasan bagi Mas Haris.
Aku menoleh ke arah kalender meja yang berada di atas nakas. Kulingkari tanggal ketika Mas Haris menjatuhkan talak dengan lipstik warna merah. Tepat satu hari masa suciku dari haid bulan itu. Dan itu artinya masa 'iddahku masih cukup lama. Hampir 3 bulanan ke depan. Kupeluk kalender itu di dada, berharap masih ada jalan untuk kami bersatu kembali.
Keutuhan rumah tangga! Itu satu-satunya tekad yang ingin kuwujudkan kini. Maka di sisa masa 'iddah ini, aku akan merayu dan menggoda Mas Haris agar mau rujuk lagi denganku. Akan kusimpan rasa gengsi dan maluku. Bukankah salah satu hikmah adanya masa 'iddah adalah untuk kembali membangun rumah tangga yang tercerai?
Namun sayang sekali, kini Mas Haris sudah meninggalkan rumah ini. Upayaku hanya bisa melalui telepon belaka. Akan tetapi, 'tak apalah, segala jalan akan aku coba. Demi utuhnya rumah tangga dan agar anak-anakku tidak kehilangan sebelah sayapnya. Terlebih Alya, si istimewa.
Tetiba teringat sesuatu. Bayangan indah malam itu terlintas begitu saja di benakku. Sentuhan lembutnya telah membuatku semakin terbuai dalam rengkuhan hangatnya. Dan selanjutnya, aku dan dia makin tenggelam dalam lautan kenikmatan di tengah sunyinya malam.
Kuseka air mata yang jatuh di pipi. Sambil mengelus perut, senyumku mengembang bersamaan munculnya setitik harapan.
Mungkinkah, ya Rabb ...?
_____________________
Bersambung
Part. 5
"Ibu, hari ini Fiza ada acara di rumah sakit tempat Alya terapi. Ibu ikutan, ya?" Aku menemani Ibu yang sedang menyiapkan sarapan di meja makan.
Usai masak tadi pagi, Alya menangis. Sehingga kutinggal saja masakan yang sudah selesai tanpa sempat menatanya di meja makan.
Ibu menghentikan sejenak aktivitasnya dan menatap tajam ke arahku.
"Enggak, Nduk. Ibu di rumah saja." Ibu menggeleng sambil tersenyum.
***
Bersambung

Comentário do Livro (117)

  • avatar
    NoepRoslin

    Tahniah penulis👍👍

    10/01

      0
  • avatar
    AiraAira

    Aku suka sekali dengan cerita ini🥰

    05/07/2023

      0
  • avatar
    wongWong edan

    saya baca dulu ya

    05/07/2023

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes