logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Part. 2

"Eh, oh iya. Alya belum makan, pasti lapar."
Jadwal makan sorenya memang kubuat lebih awal, agar setelah menyuapi Alya, aku tetap bisa ikut makan bersama keluarga. Begitu saran Mas Haris waktu itu.
Kuletakkan lagi kitab suci. Menuju dapur, menyiapkan sepiring nasi porsi kecil untuk makan malamnya. Ada sup tuna, kentang dan wortel kesukaannya sisa makan siang tadi. Karena menu untuk makan malam belum selesai kukerjakan.
Kugendong Alya ke sofa ruang tengah. Kududukkan dengan sandaran bantal sofa. "Ha .... " Kuraih lembut dagunya, kuarahkan sendok makan kecil ke mulutnya.
"Eh."
Kusadari cara menyuapiku salah. Aku berpindah posisi. Sekarang di belakang Alya. "Ha, maem mam." Kuucap pelan dekat telinga kirinya dan tangan ini menyuapinya dari arah kanan belakang.
"Agar Dik Alya belajar bahwa begitulah proses makan dengan tangan kanannya." Demikian penjelasan terapis yang kadang terlupa olehku. Sesekali tangan kecilnya kusertakan untuk ikut memegang sendok makan dan mengarahkan ke mulutnya. Agar tahu yang dinamakan "makan".
Kuarahkan pandangan ke jam dinding di ruang tengah. Pukul 18.20 malam. Sepi, tak seperti biasanya.
***
"Bu, nih!" Hanif menyerahkan daftar setoran hafalan surat-surat pendeknya. Kuambil Alya dari dalam kamarnya. Mendudukkannya di sebelah Hanif dengan bersandar bantal sofa di ruang tengah. Agar Alya juga ikut mendengar dan menyimak hafalan Hanif.
Kadang aku dan Hanif melafadzkan bersama berulang kali. Atau saling bergantian melanjutkan ayat yang berbeda dalam suatu surat. Namun, kadang juga, aku hanya menyimak saja. Dan jika Alya sangat rewel, aku hanya menyetelkan audio murottal saja untuk Hanif. Lalu dia sendiri menyimaknya.
Lamunanku terhenti. Alya menangis sambil memukuli kepalanya. "Oh, mulut Alya sudah kosong rupanya." Aku segera menyuapinya lagi.
"Assalamualaikum ...." Terdengar ketukan pintu dan suara perempuan mengucap salam dari ruang tamu.
Kuraih gamis dan kerudung kaos dengan cepat, lalu berlari menuju pintu. Kupandang sejenak wajah ini di cermin yang menggantung di area foyer. "Allahu ... sembab sekali." Aku mendekati pintu, menjawab salam tanpa membukanya.
"Waalaikumussalam warohmah. Iya, tunggu sebentar, ya!"
Gegas ke kamar mandi untuk mencuci muka ini. Memijitnya di bagian-bagian tertentu. Dan beranjak ke cermin lagi. Kuraih bedak padat yang sengaja kusimpan di situ. Mengoleskannya tipis-tipis untuk menyamarkan sembab di wajah. Lalu memasang kaca mata minus yang jarang kupakai.

Kulirik lagi wajahku di cermin area foyer untuk yang kedua kali. Lumayan! Bekas tangisku 'tak begitu jelas lagi. Lalu membuka pintu ruang tamu yang ternyata tak terkunci.
"Iya, ada perlu dengan siapa, ya?"
"Ibu!" seruku bahagia.
Aku belum percaya melihat siapa yang telah berdiri di depanku. Kucium punggung tangan perempuan yang telah membesarkanku itu dengan penuh rasa hormat.
"Sama siapa? Kok nggak ngabari dulu?" Celingak-celinguk kepalaku mencari seseorang. Ibu hanya mengulum senyum melihatku yang masih kaget campur heran.
"Ih, Ibu, kok, malah cuma senyam-senyum gitu, sih. Ayo, masuk, Bu!" Kugamit lengannya sambil membawakan tas baju Ibu ke ruang tengah.

Ibu duduk di sofa ruang tengah. Mengedar pandangan ke seluruh ruangan sembari melepas kerudung dan jaket coklatnya. Lalu menyandarkan bahu yang terlihat lelah karena perjalanan jauh sambil memijit-mijit dengan asal kakinya yang diselonjorkan di sofa.
"Kerso ngunjuk nopo (mau minum apa), Bu?" tanyaku sambil mengelus bahunya dengan lembut. Terasa tulangnya yang keras menonjol diliputi kulit yang tipis. "Teh anget wae (Teh hangat saja), Nduk," jawabnya sambil mengulas senyum padaku.
Segera berlalu menuju dapur minimalisku yang bercat putih. Ruang kecil yang bersebelahan dengan area cuci jemur ini sengaja dibuat menyatu dengan ruang tengah. Hanya dibatasi satu set kursi makan dan lemari penyekat berisi pajangan foto keluarga. Agar rumah terkesan luas.
Jujur ... selain rasa bahagia, hatiku juga dipenuhi tanda tanya. Kenapa Ibu tetiba datang mendadak tanpa memberi tahu.
Dulu, ketika Mas Haris masih menjadi suamiku, kedatangan Ibu dari kampung diatur sedemikian rupa. Mulai waktu pemberangkatan Ibu ke stasiun yang diantar Pakde, hingga jadwal Mas Haris menjemputnya di Stasiun Kota.
Namun hari ini tiba-tiba sudah berada di depan pintu seorang diri. Mungkinkah Ibu sudah mengetahui perihal perceraianku? Tapi dari mana? Dan seandainya tahu pun, tidak mungkin secepat itu. Karena talak itu baru terjadi tadi sore. Sedangkan perjalanan dari kampung ke rumahku memakan waktu hampir 24 jam.
Sambil membuatkan minuman, sesekali netra ini mencuri pandang ke arah Ibu. Perempuan paruh baya itu masih terus memijit kakinya. Namun sekilas dari jauh terlihat raut wajah yang sedih, meskipun berusaha disembunyikan.
Segelas teh manis hangat telah siap disajikan. Kutambah dengan dua iris jahe segar untuk menambah hangat badan. Seperti yang mas Haris minta saat menghidangkan teh di kala hujan.
"Ah, Mas Haris lagi ...."
Kuhela nafas dalam-dalam. Mataku mengembun. Hampir saja menetes. Kuarahkan pandangan ke langit-langit agar air bening itu tidak jatuh ke pipi.
"Astaghfirullahal'adhim ... beri hamba kekuatan, ya, Rabb ..." gumamku hampir 'tak terdengar.
"Niki (Ini), Bu." Aku mengulurkan gelas sembari mengulas senyum semanis mungkin untuk menutupi gejolak hatiku.
Pelan mulai kupijit kakinya. Senang melihat Ibu sangat menikmatinya. Entah karena pijitanku atau hangatnya teh yang baru saja disesapnya.
Kutinggalkan Ibu sejenak untuk menengok Alya di kamar. Masih asik dengan mainannya sambil mendengarkan lantunan murottal yang selalu kuputar. Sesekali berguling di kasur sambil tertawa sendirian.
"Sekarang Ibu istirahat dulu ya. Sudah malam, besok kita ngobrol lagi," ucapku sambil membawa tas bajunya ke kamar tamu. Beliaupun mengangguk, mengikuti langkahku.
"Selamat istirahat, Bu." Kukecup kedua pipi yang mulai keriput itu.
Meninggalkan kamar, lega rasa hatiku.Ibu tidak menanyakan banyak hal tentang keadaanku. Mata yang masih terlihat agak sembab, kemajuan terapi Alya, atau bahkan kondisi rumah tanggaku.
Selamat, batinku, setidaknya untuk sementara waktu, malam ini. Agar Ibu bisa istirahat dengan tenang.
Lalu, bagaimana dengan keadaanmu sendiri, Fiza? tanya hatiku di sisi yang lain. Aku tersenyum hambar.
Pelan kurebahkan tubuh ini di kamar Alya. Kamar yang hanya berisi sebuah kasur tanpa ranjang dan rak gantung yang dipasang tinggi. Kamar ini memang dirancang khusus sesuai yang menempatinya, Alya si anak 'istimewa'. Bukan hanya kenyamanan yang ingin didapatkan, tapi keamanan bagi Alya adalah prioritas utamanya.
Tak usah ditanya siapa yang merancang. Aku dan Mas Haris, orang tuanya Alya. Karena kamilah yang tahu kondisi dan kebiasaan 'luar biasa'nya.
Kesulitan mengungkapkan keinginan, membuat Alya sering memukul-mukulkan kepala ke tembok dan apapun yang ada di dekatnya. Hal itulah yang membuat kami berinisiatif melapisi seluruh bagian dinding dengan karpet yang cukup tebal. Selain untuk mencegah luka di kepala, juga meredam suara tangisnya yang tak mengenal waktu, juga dengan durasi yang tak menentu.
Lantaipun sama. Berlapis matras setebal 3 cm layaknya ruangan klinik tumbuh kembang tempat Alya terapi . Tak lupa saklar dan stop kontak pun dipasang di tempat yang tidak bisa dijangkau Alya.
***
Bersambung

Comentário do Livro (117)

  • avatar
    NoepRoslin

    Tahniah penulis👍👍

    10/01

      0
  • avatar
    AiraAira

    Aku suka sekali dengan cerita ini🥰

    05/07/2023

      0
  • avatar
    wongWong edan

    saya baca dulu ya

    05/07/2023

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes