logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 6

Arkan dan Revan berdiri di depan sebuah kafe yang ramai. Para pelayan sibuk mondar-mandir. Riuh suara para pelanggan membuat bising. Revan tersenyum percaya diri sambil memandang lurus kafe itu.
Sementara Arkan di sampingnya meneguk liur susah payah, ia melirik wajah Revan. "Lo yakin? Bakal capek, loh."
"Ya, cuci piring doang." Revan menyahut santai, menoleh ke Arkan sambil nyengir. "Honornya lumayan."
Arkan menghela napas. "Yaudah, kalo ada apa-apa telepon gue aja. Bye."
"Yo!"
Revan hanya memandangi kepergian Arkan. Ia sedikit ragu. Tapi kali ini, ada orang yang membuatnya kembali bersemangat.
[.]
"Berhasil, guy's!" Ian berseru begitu mereka keluar dari bus. Itu adalah bus keempat yang mereka naiki. Uang yang terkumpul hanya puluhan ribu, tapi bukan masalah.
Mereka bertiga berlarian ke halte tempat mereka menunggu bus pertama kali. Kali ini hujan mengguyur deras.
"Cie, yang hujan-hujanan." Arkan menghentikan motornya tepat di depan halte tempat teman-temannya berteduh. Ia dan motornya pun sama-sama sudah basah kuyup.
Ian mendengus. "Lo juga hujan-hujanan. Eh, ngomong-ngomong. Gimana rasanya ngebonceng ibu-ibu?"
"Berasa jadi bapak-bapak!" Arkan tertawa renyah, Ian pun ikut tertawa. "Udah mau malem, mendingan kumpul dulu di sekolah. Revan katanya udah ada di sana."
"Yuk, gue bawa sepeda, nih." Ian menghampiri sepeda lipat miliknya yang berwarna merah. "Ayo, siapa yang mau gue bonceng?"
"Gue!!" Angel berhambur duduk di boncengan sepeda Ian. "Cus, ke sekolah! Ngebut, Yan!"
Ian mendengus dan mulai menaiki sepedanya.
Arkan milirik Kiana yang hanya bergeming. "Lo sama gue."
Kiana hanya mendengus, tapi kemudian menurut dan naik di belakang Arkan. "Jangan ngebut-ngebut."
"Gak bisa, soalnya gue balapan sama Ian." Arkan setengah berteriak melawan suara hujan. "Cus, Yan!"
"Ayo!!" Ian mengayuh pedal sepeda dengan kuat. Sepedanya sudah melaju membelah jalanan.
Arkan tertawa begitu Ian mengumpat karena sebuah mobil menyipratkan air jalanan ke sepedanya.
"Siap?" Arkan bertanya pada Kiana.
"Kalo balapan, gue gak siap." Kiana menggeleng panik.
Arkan tertawa dan melajukan motornya. Entah apa yang lucu. Udara yang basah dan dingin, namun suasana hati yang hangat. Mungkin ... suasana ini memang layak dinikmati.
Mereka berempat membelah jalanan yang sepi. Sesekali tertawa dan saling melempar air. Mereka sudah berada di lapangan sekolah. Hampir tidak ada tanda-tanda kehidupan di sekolah selain mereka. Mereka urung masuk dan malah berlarian di luar, tak peduli dengan langit gelap di atas sana.
Ian mengejar Arkan sambil mengangkat tinggi sebelah sepatunya. "Curang lo! Lo naik motor gue pake sepeda. Gak seimbang, nih!"
Arkan tertawa sambil terus berlari menghindari Ian. "Lo aja yang ngayuhnya kurang kenceng!"
Angel menginjak genangan air dengan kencang hingga Ian yang terkena cipratan airnya melotot.
Kiana tertawa lepas.
"Oh, jadi kalian di pihak si Arkan juga?! Sakit, loh, diginiin!"
Revan berdiri memandangi keempat temannya dengan senyum samar di balik dinding kaca lobi. Ia keluar dan berdiri di depan pintu lobi tanpa berniat untuk bermain hujan-hujanan juga.
Pandangan Kiana tak sengaja menangkap Revan yang berdiri sendirian. Ia menghampiri cowok itu dan mengulurkan tangan. "Ayo, ikutan!"
Revan hanya menatap uluran tangan itu dengan hati yang menghangat. Revan ingin menyambutnya, tapi--
Revan tidak punya waktu berpikir lagi ketika Kiana menggenggam tangannya dan menariknya berlari di bawah hujan. Revan melihat tangannya yang digenggam. Rasanya aneh tapi ingin ia pertahankan.
Ian melihat Revan yang keluar dari kejauhan seraya melambaikan tangan. "Oy, Van! Bantuin gue hajar si Angel!!"
Revan tertawa dan berlari menghampiri Ian. Mereka mulai menyerang Angel dengan cipratan air.
"Eh, ada tukang cuci piring ...." Arkan meledek. Satu sandal mendarat di keningnya di saat bersamaan membuatnya misuh-misuh. "Anak setan!"
Revan tertawa renyah lalu balas mengejek. "Tukang ojek pasar!"
Mereka tertawa bersama, melupakan segala hal untuk sesaat.
Hujan mulai reda, semburat senja yang samar terbentang di langit. Kiana dan yang lainnya sudah duduk di dalam ruang musik sambil meminum teh hangat.
"Yan, uangnya basah, loh." Kiana bersuara. "Keringin, nih, di mesin cuci."
"Pala lo mesin cuci." Ian menyahut sebal. "Bukannya kering malah robek uangnya."
"Oh, iya."
"Jemur di atas genteng." Cetus Revan yang dihadiahi toyoran di kepala oleh Angel.
"Nanti uangnya terbang, bego."
"Oh, iya."
Hening menyelimuti. Tak ada yang bicara selama beberapa menit. Kelimanya sama-sama melihat ke luar jendela. Di mana langit cerah sore masih gerimis.
"Serein ...." Gumam Angel sambil tersenyum membuat keempat temannya menoleh. "Eh, nanti kalau band kita terkenal, ganti nama bandnya, dong. Masa Papan Tulis, sih? Suram banget kedengerannya."
"Emang apa, sih, artinya Papan Tulis?" Kiana menyuarakan rasa penasarannya. Benar kata Angel, nama Papan Tulis terdengar suram.
"Papan Tulis itu ...." Arkan berkata, keempat temannya menunggunya melanjutkan. Namun, seakan tak mampu mengucapkan kata-kata, ia hanya menelungkupkan wajah di atas meja. "Gapapa, gak usah diganti namanya."
"Papan tulis itu bajingan." Semua menoleh ketika Ian berceloteh. "Dia cuma jadi saksi bisu tanpa mau bantuin kita."
"Papan tulis 'kan benda, gak bisa ngapa-ngapain. Itu cuma ungkapan, bego." Arkan mendengus, beralih menatap Angel. "Lagian, emang Serein artinya apa?"
"Serein itu artinya hujan di saat senja." Angel tersenyum percaya diri, matanya menerawang ke langit. "Senja melambangkan kebahagiaan kita, hujan melambangkan kesedihan. Jadi Serein menggambarkan suka duka."
Ian menggebrak meja di hadapannya. "Gak bisa! Jelek!"
"Diem lo, jangan ngajak ribut." Angel mendesis ke arahnya.
"Gak bisa! Mending namanya Superman! Itu usulan gue duluan!" Ian berdiri begitupun Angel. Mereka berdua sama-sama mengadukan kepala.
"Serein itu lebih keren!"
"Mending Superman, kayak orang barat."
"Superman apa, sih? Gue kutuk juga lo jadi Hulk!"
"Kalo gue udah berubah jadi Hulk, bakal gue kutuk lo jadi Sungokong!"
Kiana asyik menonton sambil memakan biskuit dengan lahap.
"Kan, temen-temen lo gila, tuh." Revan menunjuk pertengkaran kedua temannya dengan dagu. "Pisahin, dong."
Arkan berdecak. "Ribet."
Kiana melirik kedua cowok itu dan diam-diam tersenyum. Ia berdiri dengan tiba-tiba membuat semuanya terkejut. "Yang penting janji dulu!" Kiana berseru seraya mengulurkan jari kelingking ke tengah meja. "Janji, meskipun kita kalah nanti, Papan Tulis gak boleh bubar!"
Arkan mendongak memandang netra Kiana yang berkilat yakin. Kemudian dilihatnya Angel menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Kiana, begitupun Revan dan Ian. Kini keempatnya memandang Arkan dengan senyum penuh harap dan semangat.
Arkan pun ikut tersenyum dan menautkan jari kelingkingnya.
"Janji!!"
Hari itu, tawa mereka pernah mengembang di udara, seakan ringan tanpa beban, tawa renyah itu pernah menjadi milik mereka.
Berharap dan berjanji di hadapan papan tulis.

Comentário do Livro (206)

  • avatar
    UmayahSiti

    bagus

    25d

      0
  • avatar
    NovitasariChelsie

    bagus

    22/08

      0
  • avatar
    BarEraa

    bagus sekali cerita ini

    28/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes