logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 5

"Lo tau anak baru itu?" tanya Windy pada Chelsie, mereka berada di kelas bersama Bella sementara siswa lain sudah pulang karena bel telah berbunyi tiga puluh menit lalu.
"Ya, Kiana 'kan?" jawab Chelsie, ia sedang merapikan rambutnya dan berkaca di jendela kelas. "Kenapa?"
"Lo gak cemburu apa? Si Kiana 'kan deket banget sama Revan. Katanya, sih, temen SMP." Bella ikut nimbrung. "Apalagi, ya, dia itu juga sebangku sama Arkan."
"Cemburu, ya?" Chelsie tampak berpikir sebentar. "Gue 'kan bukan pacarnya Revan, jadi gak berhak cemburu."
Windy menggeram gemas mendengar jawaban Chelsie. "Aduh, Chel, sejak kapan lo jadi begini?"
"Bercanda, oy!" Chelsie tertawa lepas, kemudian ekspresinya berubah jahat. "Gue gak akan biarin dia ambil Revan."
"Nah!" Bella dan Windy menjawab serentak. "Kita bikin dia gak betah di sekolah!"
[.]
Kiana, Angel dan Ian sudah berdiri di halte bus sore itu. Ian sudah siap dengan gitarnya. Seragam mereka sudah berganti dengan baju yang lebih santai. Langit mendung di atas sana bukan masalah.
"Kalau kita ketahuan ngamen sama guru, kira-kira kita bakal dihukum gak, ya?" cetus Kiana begitu saja. Ia melirik Ian dan Angel bergantian dengan cemas.
"Kalau gue ...." Ian berpikir sebentar. "Dihukum guru, sih, gak masalah, asal jangan Mama gue aja. Hukumannya Mama gue itu ... lebih serem dari ketemu mayat."
Kiana mendengus seraya mencibir. "Emang lo udah pernah ketemu mayat?"
"Udah." Angel nimbrung. "Si Arkan mayatnya, mayat hidup."
"Si Arkan itu terlalu ribet, anjir." Ian mendadak curhat, dalam sekejap topik pembicaraan mereka berubah.
Angel yang mendengarnya menghela napas. "Yang suka ngeribetin orang siapa gue tanya?"
"Siapa emang?"
"Elo!"
"Gue, sih, 'oh' aja." Ian mulai sok cool dengan sebelah tangan yang ia masukkan ke dalam saku celana.
Bus sudah terlihat di kejauhan, mereka bertiga segera bersiap untuk menyanyi di depan penumpang.
"Kalo kita di usir sebelum ngamen gimana, ya? Kalo tiba-tiba ada guru SMA kita gimana, ya?" Kiana terus berceloteh. "Kalo nanti kita--"
"Banyak ngoceh, lo!" Angel menghembuskan napas. "Pokoknya kalo gue ketangkep ketos ataupun salah satu guru, gue bakal buka mulut, Revan biang keladinya!"
"Tau, tuh, anak, dia yang ngajak ngamen tapi dia sendiri malah ikut Arkan, kalo dia gak dapet duit pas kita ketemuan, awas aja, gue matiin, tuh, anak." Ian yang mulai marah-marah seperti cewek PMS memasuki bus yang sudah berada di hadapan mereka. "Kuy, masuk."
Kiana dan Angel sama-sama mengangguk dan melangkah masuk. Pintu tertutup otomatis, kemudian bus berjalan lagi. Mereka kini hanya bengong, berdiri di hadapan para penumpang yang tak menyadari kehadiran mereka. Angel dan Kiana saling lirik kala Ian maju ke depan.
Ian berdeham. "Assalamu'alaikum, mohon maaf, mengganggu waktunya sebentar ...."
Ian berhasil meraih atensi para penumpang bus. Kini semua orang menatap mereka bertiga dengan datar. Namun tak sanggup menjadi pusat perhatian, Ian akhirnya mundur dan mendorong Kiana maju.
"M-mungkin lagu ini bisa bikin kalian terhibur." Kiana meneruskan ucapan Ian dengan gugup.
Tanpa basa-basi lagi, Angel yang meniup pianikanya dengan posisi pianika yang vertikal. Kiana menarik napas, memetik senar gitar dan melodi lembut pun terdengar.
Namun setelah itu suara guntur mengagetkan mereka. Lalu tiba-tiba Ian yang membawa gendang tumbuk pinggang berseru. "KAU PIKIR HIDUP INI CUMA MAKAN BATU~?!"
Kini seluruh penumpang bus benar-benar memusatkan perhatian pada mereka. Kiana dan Angel saling lirik saat hening melanda. Tapi tanpa ambil pusing, Kiana membuang rasa malunya dan balas berseru. "KAU PIKIR ANAKMU TAK BUTUH SUSU~?!"
Detik berikutnya Ian mulai memukul gendang, Kiana menggenjreng senar gitar dan Angel meniup pianikanya. Melodi semangat pun mengalun melawan bisingnya hujan.
"SUSU YANG INILAH~!"
"JOS!" Para penumpang bus ikut bersorak dan berjoget.
"SUSU YANG ITULAH~!"
"JOS!"
"SUSA, SUSI, SUSI, SUSAAAA~!"
Musik menghentak. Ian, Angel bersama para penumpang berjoget gila. Kemudian Angel berkeliling sambil berjoget, menyodorkan kantung plastik pada para penumpang agar membayar mereka.
Beberapa penumpang yang tak berniat ingin membayar kala Angel memelototinya dan meniup telinga mereka dengan pianika yang suaranya seperti sangkakala. Dan seperti itulah kegilaan mereka selama mengamen.
[.]
Arkan sudah bersiap-siap untuk melakukan pekerjaan sampingannya. Ya, menjadi tukang ojek. Bukan tukang ojek pengkolan tentunya. Tapi tukang ojek pasar. Memang apa bedanya, sih?
"Ma, Arkan ke rumah Revan dulu, ya!" serunya dari ruang tamu.
Mamanya yang baru selesai mencuci piring itupun menghampirinya dengan tangan yang masih basah berkacak pinggang. "Sebelum ke rumah Revan buang ini dulu,"
Arkan mengernyit dan mengambil kantong plastik hitam yang disodorkan mamanya itu. "Ini apaan, Ma?"
"Bangke tikus," ucap sang Mama sambil berlalu pergi. "Oh, iya, jangan lupa bawa kantong plastik yang ada di meja, itu kue buat Revan atau mamanya!"
"Siap!"
Segera Arkan mengambil kunci motor dan ke halaman untuk menyalakan mesin motornya. Baru saja ia ingin menancap gas sampai suara cempreng adiknya terdengar.
"Kak Arkan!! Mau kemana?!" Rea, adik perempuannya itu berkacak pinggang di depan motor matic-nya. "Katanya mau ajarin Rea main keyboard?"
"Eh, iya, lupa," Arkan terkekeh seraya mengusap tengkuknya, berpikir bagaimana bisa lepas dari adiknya ini. "Sekarang kakak ada urusan sama Bang Evan, nanti pulangnya Kakak bawain martabak, deh."
Mata Rea menyipit. "Bener, ya?"
"Iyaa, oh, iya, Kakak ada misi rahasia dari Mama, tapi Kakak lagi buru-buru, jadi Adek aja, ya, yang jalanin?" Arkan diam-diam menyeringai.
Sementara Rea mengerutkan dahi.  "Misi Rahasia apa?"
Arkan memberikan salah satu kantong plastik dari mamanya. "Nih," Setelahnya ia langsung menancap gas dan berseru. "Buang bangke tikusnya!!"
Rea mengernyit, ia melihat isi kantong plastik itu sekilas. Seraya tersenyum dan melambaikan tangan. "Makasih, Kak, kuenya!!"
[.]
Arkan sudah sampai di depan sebuah rumah dengan cat cokelat kayu. Sang tuan rumah sudah berdiri di teras dengan kunci motor yang ia mainkan dengan jari telunjuknya.
"Cie, yang mau ngojek." Arkan mencibir sambil terkekeh. "Btw, lo gak mungkin ngojek pake motor CBR, bego. Ibu-ibu gak bisa naiknya."
"Sorry, ya, gue udah ada job yang lebih berkualitas." sahut Revan sambil tersenyum percaya diri.
Arkan menatapnya tidak percaya. "Apaan emang?"
"Tukang cuci piring di kafe."
"Pala lo berkualitas," Arkan menoyor kepala sohibnya itu. "Mendingan gue, siapa tau dapet penumpang cakep."
Revan mencibir. "Selera lo ibu-ibu juga, mana ada yang cakep. Mendingan si dia ...."
"Bodo amat." Arkan mengambil kantong plastik hitam dari motornya seraya menyodorkannya pada Revan. "Nih, gue bawain kue buat Mama lo."
"Taro aja di meja." Revan menjawab sambil memakai helm full face-nya.
Arkan kembali dari dalam dan memakai helmnya juga, ia menyalakan mesin motornya.
"REVAN! INI BANGKE TIKUS DARI MANA?!!"
Seketika Arkan mematung. Revan melotot horor padanya. "Ngajak ribut lo?"
"Maaf, Tante, saya salah bawa!!" Segera Arkan pergi melajukan motornya. Revan yang ditinggal hanya bisa geleng-geleng kepala.

Comentário do Livro (206)

  • avatar
    UmayahSiti

    bagus

    24d

      0
  • avatar
    NovitasariChelsie

    bagus

    22/08

      0
  • avatar
    BarEraa

    bagus sekali cerita ini

    28/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes