logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 7 Bayi besar

ISTRIKU YANG BULUK MENJADI REBUTAN
BAB 13
BAYI BESAR
"Bang … Bang Yusuf, sini." Raysa melambai memanggil kakaknya yang baru saja keluar dari kamar. Dengan malas ia menyeret langkahnya mendekati tiga orang yang sedang duduk santai itu.
"Kenalin, ini Om Gio. Omnya Nolla," jelas Raysa, tangannya menarik Yusuf untuk duduk di hadapannya.
"Kita udah kenalan, kok. Kemarin ketemu di ulang tahun kamu, Sa," ungkap Yusuf.
Raysa hanya mengangguk mengerti dengan mulutnya yang membulat membentuk huruf o. Ibunya Yusuf memanggil mereka untuk sarapan, kebetulan makanan yang dipesan sudah sampai.
"Ayok, Nak Gio. Ikut sarapan disini, pamali loh kalau nolak," ajak Ibunya Yusuf dengan ramah setelah tadi ia sempat berkenalan singkap dengan pemuda tampan itu. Dalam hatinya Yusuf merutuki ibunya karena mengajak lelaki itu untuk sarapan. Tidak bisakah wanita paruh baya itu melihat raut wajah anaknya yang kini terlihat masam setelah kedatangan Gio.
Gio hanya mengangguk, ia tidak kuat menolak. Setelah semua sudah duduk di meja makan, Willia datang menggandeng kedua putrinya. Willia merasa canggung karena keberadaan Gio, bukan apa-apa ia sudah bisa menebak jika Yusuf pasti kesal karena hal ini.
"Duduk, ya. Mama suapain," ujar Wilia setelah mendudukkan kedua putrinya di kursi. Sarapan hari itu diisi dengan perbincangan hangat, apalagi Gio yang memang orangnya gampang akrab, ia bisa berbaur dengan muda bersama keluarga Willia.
"Mama juga makan." Yusuf menyuapi istrinya yang sibuk mengurus kedua putri mereka. Meskipun sudah lama menikah tapi Willia tetap saja malu jika diperlakukan seperti itu didepan banyak orang. Ia membuka mulutnya menerima suapan dari Yusuf. Raysa yang melihat itu jelas langsung menggoda.
"Ciee … kayak pengantin baru aja," ejek Raysa sambil menahan ketawanya. Ibunya Yusuf hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan anak-anaknya itu.
"Manis banget sih," seru Niko sambil mengulum senyumnya.
Sedangkan Gio hanya menatap sekilas kejadian itu, ia mencoba memalingkan pandangan meskipun dari sudut mata sebenarnya ia juga masih bisa melihat jelas.
"Kata Raysa, Nak Gio ini teman sekolahnya Wil dulu, ya?" tanya ibunya Yusuf memecah keheningan. Willia menatap tajam adik iparnya yang ember itu. Memang Raysa berkata jujur tidak akan mengatakan apa-apa pada Yusuf tapi gadis itu mengatakan pada ibunya.
"Iya, Tan. Kebetulan saya sama Willia udah kenal lama," ungkap Gio. Yusuf merasa geram karena lelaki itu sok akrab dengan keluarganya. Apalagi mengaku sudah kenal lama dengan istrinya. Meskipun ia tidak tahu fakta sebenarnya seperti apa. Karena Willia tidak pernah menceritakan kisah masa sekolahnya dulu.
Willia berharap jika Gio tidak mengatakan di depan mereka mengenai hubungan mereka dulu. Meskipun bagi Wilia tidak berarti apa-apa.
***
Wilia meninggalkan kedua putrinya yang sedang menggambar bersama Niko. Sedangkan Raysa dan Ibunya tengah duduk di depan rumah berbincang bersama Gio. Entah apa yang mereka bicarakan, itu bukan urusan Wilia.
Tubuh itu berdiri tegak, tangannya menopang di pinggiran balkon. Willia tersenyum mendapati suaminya itu. Tangan kecilnya melingkar di perut suaminya yang berbentuk bulat itu. Yusuf sempat tersentak karena sepertinya pikirannya sedang berada di awang-awang.
"Bayi besarnya Mama lagi ngambek, ya," seru Willia dengan suara manjanya. Ia mengelus perut buncit suaminya itu.
Yusuf masih bungkam, ia sedang tidak ingin berbicara. Apalagi melihat tadi istrinya disentuh lelaki lain, tidak rela rasanya. Yusuf tidak tahu jika itu terjadi diluar kendali Willia.
Yusuf melepas tangan Wilia, kini ia memilih duduk dan menyesap kopi yang dibuatnya sendiri. Meskipun tidak enak ia tetap meminumnya, biasanya Willia yang membuatnya, ini Yusuf membuatnya sendiri itu pun terpaksa karena sedang kesal pada istrinya itu.
"Gak usah pegang-pegang!" seru Yusuf saat Wilia mencoba meraih tangannya. Willia sudah menduga jika Yusuf marah karena keberadaan Gio.
Yusuf menceritakan saat dirinya tidak sengaja melihat Willia dan Gio berpelukan di luar Villa tadi. Willia yang mendengarnya menghela nafas panjang dan menjelaskan sebenarnya yang terjadi jika ia hampir jatuh karena tersandung. Gio hanya membantu meraih tubuh Willia agar tidak terjatuh.
"Itukan gak sengaja, Pa. Kayak Papa yang gak sengaja lihat gundukannya si Mella," sungut Wilia.
"Udah … gak usah marah-marah gitu, kayak anak kecil aja dikit-dikit ngambek." Willia duduk di pangkuan Yusuf, tangannya melingkar di leher lelaki itu.
"Papa gak bakalan marah tapi Mama harus nurut sama Papa, ya!" tutur Yusuf sambil mencubit pelan hidung mancung istrinya itu.
"Ma …." Suara si kembar berteriak sambil berlari ke dalam kamar membawa kertas yang kini sudah di penuhi warna warni. Wilia bangkit dari pangkuan Yusuf dan menghampiri kedua putrinya itu.
"Udah selesai menggambarnya?" tanya Wilia lalu berjongkok, kedua putri kecil itu memperlihatkan hasil mewarnai mereka karena yang menggambar itu Niko.
"Pinternya anak Mama," puji Willia sambil mengecup puncak kepala kedua anaknya itu. Zenaira dan Zunaira kini beralih mendekati sang ayah dan memamerkan karya mereka.
"Pinternya nurun dari Papa kalian itu," seru Yusuf. Ia selalu memuji dirinya sendiri saat kedua anaknya melakukan hal baik.
"Ma … anakmu itu loh, kok nakal banget." Itu yang biasa akan dilakukan Yusuf ketika melihat kedua putrinya mulai berulah. Bukankah biasa lelaki memang seperti itu.
"Kalau pinter aja diakui anaknya, kalau lagi nakal emaknya yang kena sasaran," gumam Willia.
"Mama ngomong apa?" tanya Yusuf.
"Enggak kok. Duduk sama Papa, ya. Mama ambilin dulu buah buat kalian!" jelas Willia lalu berjalan ke luar.
Sepasang mata yang dari tadi memperhatikan mereka terlihat memasang senyum getir di wajah tampannya. Rasa sesal menelusup ke dalam hatinya. Andaikan dulu ia tidak menyia-nyiakan wanita yang ia cintai, mungkin dirinyalah yang sekarang duduk dan bermain bersama kedua anak kembar itu.
Penyesalan memang tidak akan pernah berguna, karena itu tidak akan bisa membuat waktu kembali berputar.
***
Aktivitas seperti biasa dilakukan Willia. Kemarin sore mereka pulang dari puncak. Satu jam yang lalu Yusuf sudah berangkat kerja. Willia kini menemani kedua anaknya bermain. Gerakan Willia yang akan melempar bola terhenti saat benda pipih di meja itu berdering. Lekas ia meraih benda itu, nama managernya terpampang di layar datar itu.
"Wil, besok kan ada pemotretan buat produk terbaru kita. Inget, lo harus dateng!" seru Mega–teman sekaligus manager Willia–Willia memang memiliki sebuah brand pakaian sendiri, ia merintis dari bawah. Ia juga berencana meluncurkan brand skincare yang sekarang masih melakukan uji coba.
"Iya, gue usahain dateng. Sekalian gue mau ngomongin soal manager cabang yang bawa kabur duit itu!" balas Wilia. Ia baru menerima kabar mengenai masalah itu saat kemarin masih berada di puncak.
"Oke. Sekalian bawa si kembar, ya. Gue udah kangen banget sama cerewetnya mereka," tutur Mega sambil tertawa.
Suara bel kini terdengar nyaring. Terpaksa Willia memutuskan sambungan telepon itu.
"Udah dulu, ya. Ada tamu!" Benda pipih itu di simpan di tempat semula sebelum membukakan pintu untuk sang tamu.
Wilia berdecak kesal saat melihat wajah Mella memenuhi layar datar di sebelah pintu itu. Wanita itu seperti jelangkung, datang tak diundang pulang tak diantar.
"Kenapa lagi dia kesini? Bikin kesel aja!" gerutu Wilia. Dengan terpaksa ia membukakan pintu untuk wanita itu. Dengan pakaian yang tetap minim, yang membuat berbeda wanita itu kini memakai riasan yang berlebihan. Alisnya saja sudah seperti ulat bulu.
"Jeng … kemarin aku ke sini kok sepi, ya?" tanya Mella.
"Iya, kemarin kita pergi liburan ke puncak," jawab Willia dengan senyum yang dipaksakan.
"Kok gak ngajakin aku sih, Jeng? Aku kesepian loh sendirian di rumah," terangnya dengan ekspresi kecewa.
"Dia pikir dia siapa pake ingin di ajakin segala?" gerutu Wilia dalam hati.
Tanpa disuruh Mella duduk dan membuka paper bag yang berisi cemilan. Jika sudah seperti ini, Mella pasti akan lama. Lihat saja, kemarin wanita itu membawa kue, Willia mengira jika itu akan diberikan padanya tapi nyatanya Mella memakannya sendiri.
Suara tangisan si kembar membuat Willia sontak berlari ke sumber suara. Mereka pasti rebutan sesuatu sampai bisa menangis.
"Itu … cokat." Zunaira menunjuk bola-bola coklat di tangan Zenaira. Padahal mereka masing-masing sudah diberikan. Tapi Zunaira malah menginginkan coklat yang dipegang Zenaira.
"Ini punya Zunai, itu punya kakak Zena," jelas Willia sembari meriah coklat dari piring. Zunaira malah menepis dan mencoba merebut coklat di tangan Zenaira. Mella yang mendengar keributan langsung mendatangi mereka.
"Hey … kok nangis? Nanti cantiknya hilang loh. Sini kamu sama Tante aja, Tante punya banyak makanan loh," ajaknya sambil menggendong Zunaira ke dalam rumah.
Willia ingin menegur saat Mella memberikan makanan ringan itu pada anaknya. Tapi ia merasa tidak enak. Bukan apa-apa, Willia tidak pernah membiasakan kedua putrinya memakan cemilan tidak sehat seperti itu. Ini pun ia memberikan coklat hanya sekali-kali saja.
"Gak ada sopan-sopannya! tanya dulu kek sama emaknya kalau mau ngasih makanan sama anaknya," batin Wilia.
Bersambung ….

Comentário do Livro (50)

  • avatar
    NuryantiAde

    very cool

    30/03/2023

      0
  • avatar
    ClokNiko

    bagus

    07/12/2022

      0
  • avatar
    OppoVivo

    terima kasih atas cerita nya

    11/04/2022

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes