logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

KEBUSUKAN MULAI TERBONGKAR.

"Iya Fit, Aku Fitra saudara kembarmu. Kita makan siang dulu ya, Sinta baru menyiapkan makan siang." Ajaknya sambil menarik tanganku kedalam.
"Sinta, kenalkan ini Fitri. Saudara kembarku. Fit, ini Sinta Istriku."
"Fitri."
"Sinta." Jawabnya sambil menjabat tanganku sekilas, kemudian kembali menata piring di atas meja makan. Terlihat jelas ekspresi tak suka dari Sinta, tapi Aku tak peduli, yang terpenting bisa bertemu Fitra dan dan tahu cerita yang sebenarnya sudah cukup bagiku.
Aku dan Fitra bicara empat mata di ruang kerjanya, setelah Kami menyelesaikan makan siang.
"Aku masih penasaran dengan perkataan mu tadi Mas Fitra, siapa sebenarnya yang sakit? Tolong ceritakan padaku, apa yang telah terjadi.
"Bukannya Kamu sedang sakit Fit?" tanya Fitra heran.
"Sakit apa? Aku tuh jarang banget sakit. Makanya Aku heran Kamu bilang Aku sakit. Trus uang yang Kamu kirimkan, uang apa maksudmu?" tanyaku bingung.
"Oke, begini ceritanya. Tiga tahun yang lalu Herman dan Bu Sarni, ibunya Herman, datang kemari dengan membawa foto kedua orang tua kita dan foto orang tua angkat ku. Akhirnya Aku tahu kalau punya saudara kembar bernama Fitri Handayani, hanya saja Herman yang telah menikah dengan Fitri bilang kalau Fitri mengalami gangguan kejiwaan, alias gila. Dia meminta bantuan untuk biaya Kamu berobat Fit, makanya tiap bulan ku kirim sepuluh juta untuk biaya pengobatan mu."
"APA?! Sepuluh juta?!" pekikku terkejut.
"Iya, ini Aku ada bukti transfer tiap bulan untuk biaya pengobatan mu." Ucap Fitra sambil menunjukkan kertas kecil yang bertuliskan nominal uang sepuluh juta telah di transfer ke rekening atas nama Herman Mulyadi.
"Bagaimana Kamu bisa percaya begitu saja? Mana mungkin Aku gila, sedangkan selama menikah dengan Mas Herman Aku di jadikan sapi perah olehnya. Bahkan jika Aku melakukan sedikit saja kesalahan maka pukulan dan tendangan akan bersarang di tubuhku." Ungkap ku membuat Fitra terperangah tak percaya.
Lalu Mas Fitra, menunjukkan beberapa lembar foto Fitri, yang tengah tertidur dengan kaki di pasung. Sontak Aku terkejut menatap satu persatu fotoku yang sedang di pasung dan di rantai.
"Bagaimana bisa ada foto seperti ini?" tanyaku tak habis fikir.
"Kur**g a**r itu, Si Herman. Jadi selama ini dia telah menipuku!" ujar Mas Fitra menahan amarah.
"Apa yang akan Kamu lakukan Fit?"tanya Mas Fitra geram.
"Entahlah Mas, bagaimanapun juga Mas Herman itu suamiku. Aku harus mengabdi padanya." Ucapku lirih.
"Jangan bodoh Kamu Fit, Herman harus di beri pelajaran. Agar tak lagi semena-mena padamu!"
"Apa yang harus ku lakukan?" tanyaku bingung.
"Serahkan semua padaku. Ayo kita ke kampung sekarang. Aku ingin lihat bagaimana Herman dan Bu Sarni saat melihat kita berdua ada di sana!" ajaknya sambil meraih kunci mobil nya.
"Pak Sidik, kita pulang sekarang ya, tapi mohon maaf Saya satu mobil dengan Kakak, tidak apa-apa kan Pak?" tanyaku dengan sedikit sungkan.
"Saya langsung pulang ke rumah Koh Andi ya Mbak Fitri." Ucap Pak Sidik sambil tersenyum.
"Iya Pak, terima kasih sudah mengantarkan Saya sampai sini."
"Ohya, Pak Sidik ini ada sedikit rejeki untuk beli makan malam nanti." Ucap Mas Fitra sambil memberikan amplop berisi uang untuk Pak Sidik.
"Terima kasih ya Mas, tapi ini banyak sekali." Ucap Pak Sidik merasa tak enak karena ternyata yang dalam amplop berisi setara dengan gajinya sebulan.
"Tak apa Pak, anggap itu rejeki keluarga Bapak."
"Terima kasih ya Mas. Kalau begitu Saya mohon pamit." Ucap Pak Sidik seraya masuk ke mobil dan meninggalkan rumah Mas Fitra.
"Yuk, kita berangkat sekarang!" ajak Mas Fitra padaku.
"Kamu nggak pamit sama Sinta?" tanyaku sebelum masuk ke mobil.
"Sudah kok tadi, cepat masuk agar nanti tidak kemalaman sampai kampung."
Sepanjang perjalanan kami bercerita banyak hal. Sudah tak sabar rasanya ingin melihat pembalasan seperti apa yang akan Mas Herman terima.
Mobil yang di kendarai Mas Fitra mulai memasuki gapura kampung. Sekitar jam tujuh malam mobil berhenti tepat di halaman rumah. Mas Fitra menyuruhku untuk turun dan masuk ke dalam rumah lebih dulu.
Ku buka lebar pintu yang tak terkunci, kakiku melangkah menuju dapur dan benar saja, Mas Herman dan Ibu telah menungguku di meja makan.
PLAK!
Tamparan keras mengenai tepat di pipi kiri ku. Aku menjerit sambil memegang pipi yang terasa panas seperti terbakar.
"Istri ku**ng a**ar, jam berapa ini, Kamu baru pulang Hah?!" bentaknya dengan wajah garang.
"Keterlaluan Kamu Fit, pergi nggak bilang-bilang. Makan malam juga belum Kamu siapkan. Jam tujuh baru pulang, nyesel Ibu jadiin Kamu mantu, sudahlah pemalas, mandul pula!" maki Ibu membuat air mataku mengalir deras membasahi pipi.
PLAK!
"Jawab! Bukan malah nangis saja!" bentak Mas Herman sambil menampar pipiku lagi. Tak lagi bisa ku tahan isakku hingga rintih tangis keluar dari bibirku.
"CUKUP!" teriak Mas Fitra, sontak membuat Mas Herman dan Ibu terkejut, hingga raut wajah keduanya berubah pias.
"Fit- Fitra...." gagap Mas Herman menyebut nama saudara kembarku itu.
"Eh, Nak Fitra mau berkunjung kok nggak telepon Herman dulu. Yuk duduk di ruang tamu saja, ini Fitri baru kumat makanya Herman marah." Ucap Ibu setelah menguasai rasa kagetnya.
"Kenapa Bu? Agar Ibu bisa menyembunyikan siksaan yang kalian lakukan pada Fitri, iya kan Bu?" tanya Mas Fitra membuat Ibu kehilangan kata dan hanya menunduk diam.
"Apa maksudmu Fit, ini Fitri baru kumat. Aku kurang sabar jadi agak marah tadi." Kilah Mas Herman dengan suara lembutnya.
Segera Mas Fitra mengeluarkan ponselnya dan memutar rekaman video saat Aku masuk ke dalam rumah dan dua kali di tampar oleh Mas Herman.
"Ada dua pidana sekaligus yang bisa menjeratmu Mas, kekerasan dalam rumah tangga dan penipuan!" bentak Mas Fitra dengan wajah memerah karena menahan amarah.
"Ini hanya kesalahpahaman saja Nak, mana mungkin Herman melakukan itu. Dia mau berkorban menikahi Fitri yang seorang perawan tua, mandul dan terkena gangguan jiwa. Jadi tak mungkin Herman menyakiti Fitri apalagi menipu." Ucap Ibu sambil mendekati Mas Fitra dan mengusap lengannya pelan.
"Betul, apa yang di katakan Ibu, Mas. Percaya padaku, Aku akan lebih bersabar lagi menghadapi Fitri, atau jika perlu kita datangkan dokter ternama dari kota agar Fitri cepat sembuh. Mas Fitra tak perlu repot-repot datang, tinggal transfer saja lima puluh juta semua pasti beres." Ujar Mas Herman yang di tanggapi sinis oleh Mas Fitra.
"Bagaimana ada orang yang terganggu jiwanya, bisa pergi kekota untuk mencariku? Bagaimana mungkin ada orang gila yang di terima kerja di toko sembako milik Koh Andi? Biadab kalian berdua, bertahun-tahun membodohi ku!" bentak Mas Fitra dengan mata melotot pertanda kemarahan telah mencapai puncaknya.
"Tunggu saja sebentar lagi polisi akan datang kemari untuk menjemput kalian berdua dan menjebloskan kalian berdua ke dalam penjara!" sentak Mas Fitra membuatku kaget.
Mas Herman dan Ibu terkejut saat semua kejahatan nya telah diketahui boleh Mas Fitra. Wajah mereka semakin pucat pasi. Hingga Mas Herman tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya di hadapan ku dan bersujud.
"Maafkan Mas, dek, Mas khilaf. Tolong beri Mas Kesempatan sekali lagi untuk membahagiakan Kamu. Mas mohon dek." Ucap Mas Herman memelas sambil memeluk kedua kakiku. Sontak rasa Iba menyeruak di relung kalbu.
🌿🌿🌿🌿🌿🌿



Comentário do Livro (170)

  • avatar
    SatriaAnak agung

    bagi sekali

    2d

      0
  • avatar
    Zeson

    AAAA ENDINGNYA MEMBUAT KU KELEPEK-KLEPEK😞😞😞👌👌👌

    21d

      0
  • avatar
    AinulSiti

    good

    16/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes