logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 7 Malam Pengantin

Senyumku terlempar begitu saja. "Kemarilah, dorong kursi roda berlapis emas ini menuju meja makan," kataku.
Harum mengabaikan, dia memilih duduk di kursi dan hendak menyantap hidangan.
"Ingat, untuk duduk di kursi mewahku itu, kamu harus menuruti perintahku. Apa kau lupa tentang persyaratanku, Harum? Cepat kau dorong kursi roda berlapis emas ini menuju meja makan!" Aku mulai meninggikan suara dan menajamkan intonasi, hingga wanita itu tak jadi duduk dan dengan kesal dia menghampiriku.

Sambil memurar bola mata malas, Harum menghampiriku. Dia memegang pegangan kursi roda di belakang pundakku lalu menjerit sebentar.
"Aw!" pekiknya.
"Hati-hati, pasti rasanya dingin, bukan? Pegangan itu berlapis emas yang akan terasa dingin menusuk kulitmu. Kau orang miskin, Harum. Kau tak terbiasa memegang emas, makanya kau kaget saat menyentuhnya," kataku.
Di belakangku, Harum mendengus. Sementara di hadapanku, Mas Wira menatap tajam padaku. "Jaga ucapanmu, Manis! Jangan suka menghina!" katanya.
"Ayo, Harum. Dorong kursi roda ini ke meja makan. Aku tak sabar ingin makan malam bersama suamiku." Aku segera menyuruh Harum membawaku ke meja makan. Wanita itu menurut.
Kira-kira lima belas langkah Harum membawaku ke meja makan, dan kini aku duduk berhadapan dengan suamiku.
"Mas, kita semua pandai menghina. Apa kau tidak dengar mulut istri barumu itu barusan berkata kasar menghinaku?" ucapku membalas perkataan Mas Wira yang tadi.
"Diam kau, Manis. Jangan menentang—"
"Sssttt .... Kau yang harusnya diam, Mas. Aku adalah Sang Ratu di sini. Jangan merusak suasana hatiku," bisikku pada Mas Wira. Lalu berpindah pada Harum. "Dan kau, apa sudah menuangkan nasi dan lauknya ke piring suamiku?" tanyaku.
"Kau bisa lihat sendiri kan, Kak, piring Mas Wira sudah penuh dengan nasi, ikan, sambal dan kerupuk udang. Kami bahkan baru mau menyuap makanan kami, tapi kau keburu datang," jawab Harum. Dia melirik piringnya dan piring Mas Wira yang sudah penuh dengan nasi. "Kau mengganggu saja," gumamnya mengumpatku.
Aku tersenyum tipis. "Kau ini benar-benar istri yang payah, Harum. Apa kau tidak tahu Mas Wira alergi makan ikan?" tanyaku. "Cepat ganti lauknya dengan yang lain!"
"Tidak perlu. Selama Harum yang memasak, aku bisa menelan apapun. Aku yakin, Harum dapat memasak dengan baik dan rasanya yang enak akan membuatku lupa pada alergi yang kuderita." Mas Wira terang-terangan membela Harum di hadapanku.
Cih.
Itukah cinta? Konyol!
"Terserah kau saja," kataku, lalu meminum segelas air dan menyemburkannya. "Pfuihh. Aduh, kenapa air minumku terasa tak enak? Harum, apa yang kau campurkan ke dalam air minumku?" tanyaku mengintimidasinya. Aku menggebrak meja dan memelototi wanita itu. Dia tampak ketakutan sekaligus heran.
"Bicara apa kau, Kak. Itu hanya air mineral biasa," jawab Harum menutupi rasa takutnya.
"Jangan bohong kamu! Tidak mungkin air mineral rasanya seperti ini! Kau pasti mau meracuniku, kan?" tanyaku sinis.
Harum mulai terlihat marah dan tak tahan denganku. Mas Wira yang menyadari peribahan suasana istri barunya itu menengahi kami berdua, dia bicara padaku. "Mana mungkin Harum melakukannya. Aku bersamanya sejak tadi dan tak melihat dia mencampurkan apapun ke dalam minuman ataupun makanan di meja ini. Mana, berikan gelasmu padaku. Biar aku meminum airnya, agar kau tahu bahwa Harum tak menaruh apa-apa ke dalam air itu!" tegas Mas Bambang padaku. Seperti biasa, dia membela Harum.
"Tidak, Mas!" cegahku ketika Mas Wira hendak meraih gelas minum. "Apa kau cari mati? Aku saja beruntung tidak menelan air ini!" kataku.
"Memangnya apa yang kau rasakan pada air itu, Manis?" tanya Mas Wira menyelidik.
"Aku tak merasakan apa-apa, air ini bahkan rasanya segar. Aku hanya sedang mengerjai istri barumu saja, Mas," jawabku dalam hati. Andai mereka berdua tak melihatku, aku pasti sudah terbahak-bahak mempermainkan Harum!
"Mas, lebih baik ayo kita makan saja," ucap Harum. "Sepertinya Kak Manis hanya sedang mengerjaiku. Lagipula, kau lebih percaya aku kan, Mas?"
Mas Wira mengangguk sambil tersenyum manis pada Harum dan meraih tangan wanita itu untuk menuntunnya duduk. "Ayo cepat kita makan saja, sayang," ucap Mas Wira.
Baru saja Harum hendak mendarat duduk, aku mencegahnya. "Oh ya, kau bilang tadi apa? Kau ingin aku mengerjaimu?" tanyaku pura-pura salah mendengar. "Baiklah, karena kau berkata begitu sekarang ambilkan aku makanan yang baru. Aku memang suka ikan, tapi aku tak percaya ikan ini aman. Aku curiga kau menaruh sesuatu lagi dalam ikan ini."
"Kalau kau mau makanan lain, masak sendiri saja, Kak," jawab Harum kesal.
"Oh, jadi kau lupa harus menurut padaku?" Aku menantangnya. "Di dalam lemari sana ada kompor portabel dan grill pan. Ambil barang-barang itu sekarang. Masakkan steak untukku, ambil bahan-bahannya dalam kulkas. Jangan membantah!"
Seakan tak punya pilihan, Harum akhirnya menurut dengan malas. Dia memasak steak di atas meja makan dan aku menyaksikanmya langsung. Satu steak kini sudah matang, Harum menyajikannya untukku lengkap dengan garnish.
Aku mencicipinya. "Pfuih! ini tidak enak. Masakkan lagi untukku!"
Harum memasak lagi dan aku selalu menolaknya, kubilang rasanya tetap tidak enak dan melemparnya ke tong sampah. Hingga steak ke sepuluh, aku berhenti menyuruhnya masak steak.
"Itu sudah steak ke sepuluh, Manis. Aku sudah mencicipinya dan rasanya enak! Sempurna!" ucap Mas Wira.
"Ah, ya, Mas," jawabku. Aku beralih ke Harum. "Kurasa sudah cukup, Harum. Tapi sekarang seleraku berganti lagi, aku akan makan ikan bumbu kuning ini. Aku tahu, tak ada racun yang kau tuangkan. Ayo, sekarang sajikan nasi dan ikannya untukku," ucapku seraya melempar steak ke sepulih, dan menyuruh Harum menghidangkan ikan bumbu kuning beserta nasi ke atas piringku.
Semenit kemudian aku menyantap ikan bumbu kuning dan minum segelas air yang tadi kusebut beracun di hadapan mereka berdua.
"Ikan ini enak sekali, dan air ini rasanya segar. Ayo, tunggu apa lagi, cepatlah kalian makan!" kataku dengan menatap jahat pada suami dan maduku. Tak lupa, bibir ini tersenyum tulus untuk mereka. Ya, aku sangat tulus mengerjai para penghianat itu!
"Keterlaluan kau, Manis!" bentak Mas Wira.
Bukannya menyambut ajakanku untuk makan malam bersama, Mas Wira malah membawa Harum ke kamar pengantin mereka.
"Hey, tunggu!" kataku. "Kalian akan melewatkan malam pertama, bukan? Kalian harus bertenaga, dong. Ayolah, makan dulu bersamaku!"
Mereka terus berlalu, tak mengindahkanku. Aku melihat Harum bercucuran peluh karena kepanasan memanggangkan sepuluh steak untukku. Dan aku sangat puas menertawakannya.
Ha ha ha!
*
Malam belum terlalu larut, ini sudah dua jam berlalu dari acara makan malam 'menggembirakan' barusan. Dan aku mengetuk pintu kamar pengantin suamiku denga istri barunya.
"Ada apa lagi, Kak? Jangan ganggu malam pengantinku," sambut Harum dari ambang pintu.
"Ah, tidak, Harum. Aku hanya ingin berterimakasih padamu karena telah memasak ikan bumbu kuning yan enak, aku jadi makan kenyang malam ini," jawabku berkata manis padanya. Seperti biasa, aku melempar senyum. "Dan karena ini adalah malam pertamamu, maka kau tak boleh melewatkannya. Sepuluh tahun pernikahanku dengan Mas Wira tanpa dikaruniai anak, maka malam ini kau harus menanam benih cinta Mas Wira dalam rahimmu."
Harum tampak keheranan. "Apa maksudmu, Kak? Kenapa kau tiba-tiba jadi berubah dan menginginkan anak dariku?"
Aku mendekat pada Harum dan memberikan segelas susu. "Ini. Minumlah segelas susu ini. Air susu penyubur."

Komentar Buku (34)

  • avatar
    FfGogle

    5000

    14/06

      0
  • avatar
    Masturina Mohd

    cerita yang bagus banyak plot twist best best sangat , minat nak baca sebab tajuk ajeee hehehehe tpi jalan cerita pun best

    16/05

      0
  • avatar
    Syza Meera

    👍👍👍👍👍

    14/05

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru