logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 6 Poison

"Air susu ini bernama poison," jawab Mbah seraya meniup botol bening berisi poison hingga terangkat ke udara dan berputar-putar di atas telapak tanganku.
Aku memperhatikan air berwarna putih yang seperti menyehatkan ini. Hanya setetes saja, dan itu membentuk bulatan sempurna yang mengapung di dalam botol. "Racun?" mataku terbelalak melihatnya.
"Ya."
"Aku butuh yang lebih banyak dari ini, Mbah. Ini kan hanya setetes," ucapku.
"Mbah dan Nyimas hanya bisa memberimu setetes. Poison itu tidak akan langsung mematikan korban, tetapi akan membuatnya menderita perlahan-lahan sampai kau puas. Kamu jangan khawatir, nanti setiap madumu meneteskan air mata, botol bening itu akan terisi lagi oleh setetes poison. Dan kau bisa gunakan keesokan harinya. Begitu seterusnya, sampai kau puas mempermainkan penderitaan madumu," jelas Mbah.
Botol berhenti berputar dan mendarat dengan sempurna di telapak tanganku. "Apa reaksi yang akan diterima Harum setelah poison ini terminum olehnya?" Aku bertanya.
"Setiap malam dia akan berhalusinasi berada di dalam neraka dan mengalami penyiksaan di sana," jawab Mbah dengan terkekeh.
Menarik sekali. Aku suka. "Jadi, poison ini hanya menyiksa psikologisnya?"
"Ya, dan tak ada yang lebih menyakitkan dari tersiksanya jiwa, Manis. Dengan begitu, tak akan ada bukti yang mengarah pada kekerasan fisik seandainya nanti madumu itu tewas mengenaskan."
"Kenapa bisa begitu?"
"Karena siapa pun yang telah meminum poison untuk pertama kali, maka saat itu juga jiwanya adalah milik pemberi poison itu. Jiwa madumu itu akan menjadi milikmu." Kali ini Nyimas yang menjelaskan. "Mbah dan Nyimas hanya minta satu hal darimu, ketika dia tewas nanti berikanlah jiwanya pada kami untuk menebus semua arwah anggota keluarga kita yang tergadai di alam siluman. Madumu akan menggantikan kami di alam sana, sehingga kami bisa menuju alam akhirat dengan tenang dan bebas dari penderitaan."
"Ma—maksud Nyimas?"
"Manis, kekayaan yang kami tinggalkan untukmu di dunia harus kami tebus dengan penderitaan di alam kami sekarang. Dan kau tahu, Manis ... betapa kami kesakitan karena arwah yang tergadai ini. Bantu arwah nenek dan kakek buyutmu, ibu dan ayahmu, kakakmu, dan semua leluhur kita agar terbebas dari alam siluman. Persembahkan jiwa Harum pada Raja Harimau Putih sebagai bayaran agar kami bisa terlepas dan masuk ke alam akhirat, tempat di mana jiwa-jiwa orang mati seharusnya berada."
Angin segar memasuki kepala, membuatku semakin semangat untuk pulang ke rumah dan menyuguhkan air susu penderitaan ini untuk istri baru suamiku!
Haha .... Tawa puas pecah dari bibirku.
"Baiklah, akan kupastikan arwah kalian lepas dari penderitaan. Terimakasih atas bantuannya."
"Sudah saatnya keluarga kita memutus hubungan dengan dunia siluman. Kami tak ingin kamu menderita seperti kami, Manis. Maka dari itu, pastikan kau berhasil," pesan Mbah.
Aku mengangguk paham dan segera mengucap mantra untuk membuka gerbang dunia hitam, Nyimas dan Mbah sudah lemas berwujud manusia. Aku harus segera mengembalikan mereka ke wujud harimau putih.
Asap tebal menyelimuti ruangan, sinar terang menyorot dari dua pasang mata di hadapanku. Mereka mengaum lalu menuju pusaran angin di jendela, seketika lenyap ditelan kegelapan. Nyimas dan Mbah telah kembali ke alam mereka.
Kumasukkan poison dalam saku dressku. Lalu dengan sendirinya pintu ruang pemanggilan terbuka, sosok nenek tua kembali mendorong kursi rodaku hingga ke luar dan pintu menutup sempurna.
Bilqis berdiri tepat di hadapanku. Kedua cahaya lampu damar yang masih dipegangnya masih menyala, dia setia menunggu meski dalam ketakutan. Terlihat wajahnya berkeringat hingga membasahi kerah baju. Bahkan bajunya kini basah oleh keringat dingin yang keluar dari sekujur tubuhnya. Dapat terlihat wajah dan bibir pucat di balik cahaya damar yang dipegang Bilqis dengan gemeteran. Sementara aku hanya tertawa melihatnya.
"Kau menertawakanku?" protes Bilqis.
"Kenapa kau ketakutan begitu? Haha."
Bilqis mengembus napas kasar. "Aku tak pernah percaya hal-hal tak logis seperti ini, tapi sekarang aku melihatnya dengan mata kepala sendiri. Aku juga mendengar percakapan kaliam, dan aku melihat asap beserta kilatan cahaya putih dari dalam ruangan itu. Bahkan tubuhku dingin dan terasa membeku saat semua itu terjadi, lalu setelah kau keluar tiba-tiba jadi panas. Hanya karena kesetiaanku padamu aku masih bertahan menjaga cahaya lampu damar ini tetap menyala. Jika tidak, pasti aku sudah kabur sejak tadi," jawab Bilqis memburu.
"Hahaha ...."
Kami melewati lorong-lorong rumah kayu dan berniat meninggalkan rumah ini. Aku dan Bilqis masing-masing memegang satu buah damar. Sepanjang lorong, Bilqis tak henti mengumpatiku karena aku terus menertawakan rasa rakutnya.
"Oh, ya," ucap Bilqis bicara serius. "Sebentar lagi aku akan berhenti dari dunia kedokteran. Aku akan meninggalkan profesiku. Tapi sebelum aku pensiun dini, aku ingin sekali mengobati kakimu yang lumpuh itu," katanya.
"Tidak, Bilqis. Jangan mengobatiku. Aku masih ingin duduk di kursi roda," tolakku.
Suara burung hantu dan burung gagak menyambut kedatangan kami saat tiba di luar rumah kayu. Bulan purnama bulat sempurna menggantung di langit.
Bilqis membantuku menurunkan kursi roda dari rumah kayu, kemudian kami berdua menuju mobil.
Besok malam aku akan pulang, tepat di malam pengantin Mas Wira bersama Harum.
*
"Kau mau ikannya, Mas? Aku masak bumbu kuning. Rasanya pasti enak."
"Oh, ya. Boleh, sayang."
"Kerupuk udangnya juga enak lho, aku bikin sendiri, enggak beli. Dan ini sambal merahnya. Kau paling suka sambal merah, kan? Jadi aku buatkan spesial untukmu."
"Spesial?"
"Iya, Mas. Ini kan malam pengantin kita."
"Ah ya. Ayo cepat kita selesaikan makan malam ini, aku sudah tak sabar ingin melalui malam ini dengan penuh suka cita. Malam ini tak akan pernah aku dapatkan jika kuhabiskan bersama Manis."
"Tentu saja, Mas. Aku kan dilahirkan untuk menggantikan posisi Kak Manis di rumah ini."
Aku tersenyum mendengar percakapan Harum dan Mas Wira. Baru saja aku tiba di rumahku sendiri pada malam pengantin mereka, mendapati mereka tengah makan malam bersama dan membicarakanku dengan begitu tidak sopan. Apa mereka lupa rumah ini milik siapa?
"Selamat atas pernikahan kalian," ucapku.
Mereka berdua menoleh dengan ekspresi terkejut, baru menyadari keberadaanku.
"Ah, ya. Kami sedang makan malam," jawab Harum sinis. Dia bicara padaku tapi matanya melihat ke arah lain. "Aku memasak makanan enak untuk Mas Wira. Kakiku kan normal, aku dapat berdiri tegak dan memasak untuk suamiku. Dan suamiku sangat senang sekali dengan masakanku. Dia memujiku berkali-kali karena menghidangkan makan malam yang indah," lanjutnya membanggakan diri.
Kini Harum menoleh ke arahku. "Kau juga boleh ikut makan bersama kami. Ayo, kemudikan kursi rodamu ke meja makan, Kak Manis."

Komentar Buku (34)

  • avatar
    FfGogle

    5000

    14/06

      0
  • avatar
    Masturina Mohd

    cerita yang bagus banyak plot twist best best sangat , minat nak baca sebab tajuk ajeee hehehehe tpi jalan cerita pun best

    16/05

      0
  • avatar
    Syza Meera

    👍👍👍👍👍

    14/05

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru