logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Karma Dibayar Kontan

Karma Dibayar Kontan

Ryanti


Bab 1 Rencana Pindah Rumah

Karma Dibayar Kontan
Part 1
***
"Mel, kamu sama Rizki jadi mau ikut kan, tinggal sama aku dan Satria di rumahku yang baru nanti?" tanyaku pada Meli, sahabatku, suatu hari. Saat dia sedang berkunjung ke rumahku dengan Rizki, anak lelaki semata wayangnya yang masih berusia balita.
Aku dan Satria, anak laki-laki kami satu-satunya, saat ini memang masih tinggal di rumah kontrakan, dari sejak aku menikah dulu dengan Mas Pandu. Almarhum suamiku tak pernah mau, setiap kali aku memintanya agar membeli rumah melalui KPR (Kredit Pemilikan Rumah) saja, biar kami cepat bisa punya rumah meskipun dengan ukuran yang kecil dan sederhana, kalau membangun rumah sendiri dari nol dirasa terlalu besar dananya. Belum lagi jika ada pembengkakan biaya yang tak terduga, pasti biaya pembuatan rumah tersebut akan semakin banyak.
Mas Pandu selalu bilang, lebih baik kami bersabar dulu saja tinggal di rumah kontrakan, sambil menabung sedikit demi sedikit untuk membeli sebidang tanah dan membangun rumah di atas tanah tersebut. Jadi kami bisa menikmati hidup dengan tenang, tidak dipusingkan oleh utang KPR yang harus dibayar tepat waktu setiap bulan. Toh tinggal di rumah kontrakan tak jauh beda dengan tinggal di rumah sendiri, jika kita pandai menata dan mengurus rumah itu. Kita akan merasa nyaman bertempat tinggal di dalamnya.
Akhirnya aku menurut dan mengikuti apa yang dikatakan oleh almarhum suamiku itu. Dan mulai hari itu, aku tak pernah lagi meminta Mas Pandu untuk membeli rumah melalui KPR. Karena aku pikir, memang ada benarnya juga apa yang dia katakan. Utang bisa membuat hidup tak tenang, walaupun mungkin kami bisa mencicil utang tersebut tepat waktu setiap bulan. Tapi tetap saja pasti akan merasa dikejar-kejar oleh tagihan. Belum lagi jika misalnya kami telat membayar cicilan itu karena kebetulan sedang tak ada uang. Wah … pasti akan lebih menyeramkan dikejar depkolektor daripada dikejar hantu. Diri ini sudah banyak mendengar cerita tentang hal seperti itu. Baik dari para tetangga sekitar, teman dekat, ataupun sanak saudara sendiri. Yang akhirnya malah rumah menjadi biang keributan dalam hubungan suami istri. Bahkan sampai ada yang berujung perceraian atau bunuh diri gara-gara utang. Sungguh membuat miris dan sangat mengerikan efek samping dari utang itu.
Aku dan keluarga kecil kami menikmati kehidupan berumah tangga dengan tenang dan nyaman, meskipun kami tinggal di rumah kontrakan. Tak pernah terjadi keributan di antara aku dan Mas Pandu hanya gara-gara utang. Aku dan keluarga kecil kami benar-benar merasa sangat bahagia dalam menikmati hidup ini.
Satu tahun kemudian, alhamdulillah aku dan Mas Pandu akhirnya bisa membeli sebidang tanah dari hasil uang tabungan kami selama ini. Meskipun tanah tersebut tak terlalu luas, hanya berukuran 400 meter persegi, dan berlokasi di daerah pedesaan, tapi aku sungguh merasa sangat bersyukur. Karena akhirnya kami bisa memiliki tanah sendiri yang dibeli dari hasil jerih payah kami berdua. Terlebih lagi ketika 3 tahun kemudian, aku dan Mas Pandu sudah bisa mulai mencicil membangun sebuah rumah impian kami di atas tanah tersebut. Aku dan Mas Pandu benar-benar merasa sangat bahagia dan bersyukur atas semua yang telah Allah berikan pada keluarga kami.
Namun, malang tak bisa ditolak, saat impian kami mulai terwujud, takdir berkehendak lain. Mas Pandu mengalami kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan suamiku itu meninggal di tempat kejadian. Ketika dia baru pulang dari bekerja menuju ke rumah. Sebuah mobil toyota kijang dengan kecepatan tinggi tiba-tiba melintas di samping sepeda motor yang dikendarai oleh Mas Pandu dan menyerempet tubuhnya hingga terseret beberapa meter di jalan aspal. Menurut para saksi mata yang melihat kejadian itu, mobil toyota kijang tersebut tetap saja melaju kencang, tak mau berhenti. Ketika akan dibawa ke dalam mobil untuk diantar ke RS, Mas Pandu mengembuskan napasnya yang terakhir. Suamiku itu meninggal saat itu juga. Dan aku tak sempat berada di sampingnya untuk yang terakhir kali.
Akhirnya pembangunan rumah itu terhenti, karena aku sempat limbung dengan kenyataan yang harus aku hadapi. Sungguh tak menyangka sama sekali, Mas Pandu akan pergi meninggalkan aku dan Satria dengan secepat ini. Aku merasa sedang dalam sebuah tidur yang panjang dan sedang bermimpi buruk.
Beberapa bulan lamanya kerjaku hanya duduk melamun sambil bengong. Aku seperti sebuah perahu yang kehilangan arah tujuan dan sama sekali tak bersemangat lagi untuk melanjutkan hidup. Aku benar-benar syok menerima semua kenyataan pahit ini. Kehidupan yang awalnya sangat bahagia aku rasakan, tiba-tiba berubah menjadi suatu kesedihan yang teramat sangat.
Sejak saat itu, maka resmilah aku menjadi seorang janda beranak satu, yang masih berusia balita. Aku lebih senang melamun daripada harus melayani pasien yang datang berkunjung ke rumah kontrakan kami. Aku terlalu larut dalam kesedihan. Kehilangan Mas Pandu, bagiku seakan kehilangan separuh nyawa. Aku merasakan seperti tak sanggup lagi untuk meneruskan hidup. Diri ini benar-benar sudah merasa sangat putus asa.
Hingga suatu saat Meli datang ke rumah kontrakan kami dan dia melihat semua yang sedang aku alami. Dengan telaten dan penuh perhatian, dia selalu menghibur, memberikan semangat dan nasihat padaku, untuk tak terlalu larut dalam kesedihan. Sebab biar bagaimana pun aku bersedih, Mas Pandu tak akan mungkin hidup kembali. Sebaiknya aku harus ikhlas menerima semua takdir Allah. Masih ada Satria yang harus aku beri perhatian. Kasihan bocah itu jika harus kehilangan kedua orang tuanya. Bermacam nasihat Meli ungkapkan padaku. Tanpa henti, seakan tiada lelah dia terus menghibur dan memberiku semangat. Berulang kali sahabatku itu mengajak aku pergi menghadiri kajian, sampai akhirnya aku bisa kembali kuat dan bangkit, serta membuka praktik lagi.
Aku lalu melanjutkan pembangunan rumah yang sempat mangkrak selama satu tahun lamanya itu, dan baru satu minggu yang lalu rumah impianku dan Mas Pandu tersebut jadi.
"Iya, Yu. Insya Allah aku sama Rizki jadi ikut tinggal di rumah kamu yang baru," jawabnya, sembari menyuapi Rizki, membuyarkan lamunanku.
"Syukurlah, biar Satria nanti ada temennya di sana," kataku dengan senang hati.
Aku dan Meli memang bersahabat sudah lama, sejak kami masih duduk di bangku SD dulu. Kebetulan rumah kedua orang tua kami juga berdekatan, hanya berbeda RT saja. Kami juga melanjutkan di SMP dan SMA yang sama. Tapi, setelah lulus SMA, kami tak lagi kuliah di kampus yang sama. Aku melanjutkan kuliah di sebuah Poltekkes dan mengambil jurusan kebidanan. Sementara Meli melanjutkan kuliah di sebuah Universitas dan mengambil jurusan FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan).
Karena kesibukan kuliah kami masing-masing, menyebabkan aku dan Meli menjadi jarang bertemu. Hingga suatu hari, aku menerima sebuah undangan pernikahan dari Meli. Padahal saat itu, dia belum lulus kuliah. Aku sampai merasa curiga, kalau Meli menikah karena sebuah 'kecelakaan', dia sudah hamil dulu. Tapi, ternyata kecurigaanku itu tak terbukti.
Hingga kemudian aku dan Mas Pandu menikah dan mempunyai anak, Meli belum juga mendapatkan momongan. Padahal pernikahannya sudah berjalan 5 tahun lamanya. Bermacam cara tentu sudah dilakukan oleh Meli dan suaminya, agar mereka bisa segera mempunyai momongan. Tapi Allah memang belum menitipkan amanah-Nya pada Meli dan suaminya. Pada usia perkawinan mereka yang ke 6 tahun, barulah Meli hamil anak yang pertama.
Meli melahirkan anak pertamanya di rumah kontrakanku. Dia memang sengaja pulang ke rumah orang tuanya, saat akan melahirkan.
Aku tak tahu ada permasalahan apa sebelumnya di antara Meli dan suaminya. Dia hanya bercerita padaku, kalau dia dan suaminya sudah bercerai. Waktu itu Rizki masih berusia 5 bulan. Sejak saat itu, Meli pulang ke rumah orang tuanya dan kami kembali akrab. Meli sering bermain ke rumah kontrakanku dengan membawa Rizki, bahkan beberapa kali ibu dan anak itu menginap.
Terlebih lagi ketika Mas Pandu meninggal dunia karena kecelakaan, Meli jadi lebih sering datang dan menginap di rumahku. Kadang dia membantuku menolong orang yang akan melahirkan. Mungkin karena seringnya dia melihat saat aku menolong orang bersalin, Meli menjadi sangat cekatan. Dia akan segera menyiapkan segala sesuatunya ketika ada ibu hamil yang datang dan akan melahirkan di rumahku.
Dari yang menyiapkan partus set dan hecting set (set alat untuk menolong persalinan dan menjahit), menyiapkan tempat tidur pasien dan bayi, menyiapkan kamar bersalin, dan lain sebagainya. Semua itu disiapkan oleh Meli dengan cepat dan rapu. Aku merasa benar-benar sangat terbantu dengan adanya Meli di rumahku.
Aku beberapa kali mengajak Meli untuk tinggal saja di rumahku. Selain untuk teman, karena di rumah aku hanya tinggal berdua saja dengan Satria. Juga agar dia ada kesibukan, tak hanya bersedih memikirkan keadaannya.
Tapi, Meli selalu menolak ajakanku itu. Dengan alasan dia merasa tak enak hati, jika tetangganya ada yang mengetahui kalau dia tinggal di rumahku, sedangkan rumah orang tuanya tak begitu jauh letaknya dari rumah kontrakanku. Alasan tersebut memang masuk akal dan aku tak bisa memaksa Meli. Padahal aku ingin sekali menghiburnya, sama seperti dengan apa yang dia lakukan saat Mas Pandu meninggal dulu.
"Mel, menurut kamu kapan sebaiknya kita pindah?" tanyaku.
"Terserah kamu aja, Yu. Tapi kalau kataku sih, makin cepat makin baik. Nanti di sana kan kamu harus merintis lagi dari awal usaha kamu ini, Yu."
Aku manggut-manggut. Memang benar apa yang dikatakan oleh Meli. Di tempat yang baru nanti, aku harus memulai membuka praktik dari awal. Apalagi aku bukan seorang PNS. Yang secara otomatis orang belum mengenal siapa aku karena tidak dinas di instansi pemerintah.
Berbeda jika aku adalah bidan PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang bekerja di puskesmas atau RS pemerintah. Masyarakat akan lebih cepat mengenalku sebab mereka pasti akan sering melihat aku berdinas di sana.
"Kita ngangkut barang-barang di rumah ini pakai apa ya, Mel? Kamu tahu nggak supir truk yang enak diajak ngomong?" tanyaku.
Sesaat Meli diam. Dia terlihat mengerutkan keningnya, seperti sedang berpikir.
"Aku tahu, Yu. Supir truk yang orangnya baik banget. Namanya Mas Hardi," jawab Meli, setelah beberapa lama dia terdiam tadi.
"Ya udah, Mel. Kalau gitu sekarang aja kamu hubungi Mas Hardi. Tanyakan bisa nggak nganter kita," titahku.
Meli kemudian mengambil HP dari saku bajunya. Dia kemudian menghubungi Mas Hardi, supir truk yang dia bilang tadi.
***
Bersambung

Komentar Buku (646)

  • avatar
    SaputraRamli

    bagus sekali

    19h

      0
  • avatar
    KhansaAdinda nabillah

    Cintaku

    2d

      0
  • avatar
    Mhmmd Asril Syarif

    sangat bagus

    15d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru