logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Lelaki Di Kolam Renang

Gadis itu bangkit dari sofa. Berjalan ke arah jendela besar di kamar tersebut. Menempelkan tangannya ke sana. Oh, ternyata bisa dibuka, dan ini bukan sebuah jendela.
Cahaya menggeser pintu kaca itu lalu melangkah ke balkon. Ia memerhatikan sekumpulan ibu-ibu yang sedang berkerumun di sebuah taman. Cahaya tersenyum-senyum melihatnya. Mencoba mencari seorang perempuan yang mirip di dalam foto tadi. Tapi sebuah suara menyentaknya.
"Permisi, Kak!" Anak remaja tanggung yang tadi membukakan pintu gerbang.
"Terima kasih." Cahaya tersenyum ketika anak itu menyuguhkan minuman di meja balkon. Ia menahan ketika anak itu hendak meninggalkannya lagi.
"Sudah berapa lama kerja di sini?" Anak remaja itu terdiaam sejenak mendengar pertanyaan Cahaya.
"Baru tiga minggu."
"Oh." Sekarang ia terlihat salah tingkah.
"Nama kamu siapa?"
"Rahmat."
"Kamu orang mana?"
"Purwokerto, Mbak." Kini ia mengganti panggilannya.
"Asli orang sana?"
"Iya."
"Bisa bahasa Jawa?"
Anak itu mengangguk meskipun sedikit bingung. Sejak lahir ia tinggal di kota itu, dengan orang tua yang asli orang sana. Sudah pasti ia bisa bahasa Jawa.
"Coba dong ngomong sedikit." Rahmat menggeleng malu-malu sambil tersenyum.
Cahaya terlihat kecewa tapi tidak memaksa. Lalu pandangannya beralih pada sekumpulan perempuan di bawah sana.
"Oh ya, yang mana Tante Yasmin?" Rahmat melongokkan kepalanya, mencari-cari. Lalu menggeleng kecil.
"Tidak kelihatan, Mbak."
"Memangnya sedang ada acara apa?"
"Arisan." Cahaya mengikuti ucapan Rahmat dengan mata membulat.
Sementara di bawah sana, seorang perempuan dengan dandanan mewah mencolek bahu ibu yang lainnya.
"Jeng, sekarang buka panti asuhan, ya?" godanya sambil memainkan kipas.
"Maksudnya?" tanya wanita cantik, pemilik rumah.
Wanita yang menggoda tadi mengangkat kedua alis kemudian menunjuk ke arah balkon dengan mendongakkan sedikit wajahnya.
Wanita mungil bersanggul cantik itu ikut menoleh ke arah balkon, memerhatikan Cahaya dan Rahmat. Tidak memedulikan temannya yang terkekeh-kekeh.
"Pembantu sekarang memang suka kurang ajar. Majikan sibuk, dia malah main-main," ucap wanita itu lagi.
Mendengar celetukan dari salah satu teman lainnya, tuan rumah itu hanya tersenyum. Kembali memerhatikan dua orang yang sedang berbincang di balkon kamar anak bungsunya itu.
***
Rahmat masuk ke sebuah ruangan, diikuti Cahaya.
"Tunggu di sini saja, Mbak," katanya sambil mempersilakan gadis itu untuk duduk.
"Sebentar lagi Mas Varel datang. Kalau butuh apa-apa, aku ada di dapur. Dari depan kamar ini, Mbak Aya jalan saja ke arah kiri."
Rahmat melanjutkan kata-katanya setengah berbisik.
"Waktu pertama tinggal di sini, aku juga pernah nyasar."
Cahaya tertawa geli mendengar kalimat terakhir Rahmat.
Sepeninggal Rahmat, Cahaya memerhatikan ruangan itu. Sebuah home theater berada di tengah ruangan. Tapi yang membuatnya tertarik adalah sebuah lemari buku besar yang memenuhi salah satu dinding. Cahaya mendekati lemari itu. Memeriksa buku-buku yang terdapat di sana. Tapi ia mengeluh kecewa. Tidak ada novel, hanya ada buku-buku dan majalah bisnis.
Cahaya tersentak ketika mendengar bunyi sesuatu yang jatuh ke dalam air. Ia berjalan ke arah jendela besar yang terdapat di ruangan tersebut. Jendela kaca yang menghadap ke sebuah kolam renang.
Dilihatnya seorang lelaki sedang berenang dengan lincahnya.
Cahaya menahan napas ketika orang itu menyembulkan wajah. Setengah mupeng menonton Ardian yang hilir mudik berenang. Memperlihatkan tubuhnya yang tegap, dengan perutnya yang kekar dan rata.
"Oh, my ..." ucap Cahaya terputus dan lirih.
Gadis itu mendekatkan wajahnya ke jendela kaca, menggigit bibir melihat keindahan di depan mata.
Cahaya, ini hari keberuntunganmu, soraknya dalam hati. Tanpa sadar tangannya memainkan liontin kembar di leher.
Ia mengembuskan napas dari mulutnya yang terbuka ketika Ardian keluar dari kolam renang. Membuat kaca jendela di depannya beruap.
Cahaya masih tersenyum-senyum sendiri sementara di sisi lain Varel tengah memerhatikannya tanpa ekspresi. Lelaki itu berlari ke arah Cahaya lalu menubrukkan bahunya. Membuat gadis itu mengaduh ketika kepalanya terbentur kaca jendela.
"Aduh, gila kamu, Rel!" Cahaya mencaci sambil memukuli Varel tanpa ampun.
"Makanya jangan bengong. Nanti kesambet," sahutnya masih tetap tertawa geli.
Ardian yang mendengar keributan itu menoleh, ia menatap Varel yang merangkul pundak seorang gadis sambil menyeretnya keluar.
"Rumah kamu besar sekali, Rel. Tidak ada niat menampung anak-anak jalanan di sini? Atau menjadikan sebagian rumahmu sebagai rumah singgah?"
Pertanyaan itu membuat tawa Varel pecah kembali. Sementara tangannya masih melingkari bahu Cahaya. Setelah tawanya mereda ia mengangsurkan setumpuk foto.
"Sudah jadi foto-fotonya?" Mata Cahaya berbinar. Melihat fotonya satu demi satu.
"Buat aku semua?"
Varel mengangguk. Masih merangkul pundak Cahaya sementara gadis itu asyik memerhatikan foto-foto hasil bidikan Varel tempo hari. Wajah Cahaya semringah melihat sebuah foto.
"Wah, yang ini bagus sekali. Angle-nya juga pas. Aku terlihat cantik." Cahaya tertawa geli.
"Ternyata kamu jago mengedit foto juga, ya."
"Itu bukan ..." Varel hendak protes, tapi kemudian terdiam. Ia menyisir rambutnya dengan kedua tangan. Gemas.
Haah... Sudahlah. Percuma juga dijelaskan.
Langkah mereka terhenti ketika seseorang memanggil.
Seorang perempuan anggun bersanggul menghampiri mereka. Varel melepaskan tangannya dari Cahaya.
"Sudah kelar acaranya, Ma?" Perempuan itu tidak menjawab. Malah balik bertanya.

"Kamu dari mana saja? Jarang pulang belakangan ini."
Cahaya memerhatikan perempuan di hadapannya. Dengan gaun terusan warna hitam yang melekat pas di tubuh mungilnya, juga riasan yang sederhana, membuatnya terlihat cantik dan elegan.
Sekarang ia bisa menebak dari mana asal hidung mancung Ardian dan Varel, meskipun wanita di hadapannya ini cenderung lebih mirip dengan anak bungsunya.
"Aku ada di apartemen. Kalau Mama kangen kan bisa ke sana," jawaban yang begitu enteng. Ibunya menatap tak suka, tapi Varel tidak peduli.
"Oh ya, kenalkan, Ma. Ini Cahaya, temanku di kampus." ucap Varel sambil menoleh ke arah Cahaya yang tersenyum canggung.
Sebenarnya Cahaya ingin mengangsurkan tangan, tapi perempuan itu tidak bergerak sama sekali.
Yasmin hanya tersenyum, lalu kembali fokus pada anaknya. Cahaya merasakan hawa dingin menyapu punggungnya ketika melihat senyum basa-basi itu.
Dan sikap Nyonya Besar ini mengingatkan Cahaya pada si anak sulung.
"Jangan terlalu sering tidur di sana, Rel."
"Siap, Ma. Sudah ya, aku antar Cahaya pulang dulu." Varel menarik tangan Cahaya meninggalkan ibunya.
"Permisi Tan-te." Cahaya yang tak menyangka ditarik tiba-tiba hampir kehilangan keseimbangan.
Yasmin hanya menggelengkan kepala. Entah bagaimana ceritanya anak gadis kampung tersebut bisa berteman dengan anaknya. Ia hendak menaiki tangga ketika melihat Ardian. Wanita itu mengernyitkan alis melihat penampilannya. Kaus yang dikenakan Ardian terlihat basah. Lengket di beberapa bagian. Sejumput rambutnya bahkan masih meneteskan air.
"Kamu kenapa basah begitu?" Ardian hanya berdehem, membersihkan tenggorokan. Matanya memandang berkeliling. Mencari-cari.
Yasmin hanya menggeleng.
Ada apa dengan anak-anaknya hari ini?

Komentar Buku (42)

  • avatar
    BotakGopal

    trimakaih

    6d

      0
  • avatar
    YaomiYaomi

    good

    8d

      0
  • avatar
    GUNAWANHENDRA

    bgus

    22d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru