logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 6 Enam

"Perlengkapan sudah komplit semua?" tanyaku pada Esa, memastikan sekali lagi. Esa membungkuk di depan tumpukan barang-barang yang akan kami bawa untuk festival, sementara di sudut sana Friza sedang berbincang serius dengan Galang. Awalnya kubiarkan saja karena aku masih mengecek perlengkapan, tapi saat kulihat Galang menghentakkan kaki dengan kesal, lembaran kertas berisi daftar barang-barang, segera kuserahkan pada Esa. Kuhampiri Galang yang sedang menatap Friza dengan putus asa.
"Ada apa, Lang?"
Galang menoleh ke arahku. "Soal transportasi, Pan ..."
"Kenapa?"
"Mobilnya sudah berangkat satu jam yang lalu..."
Aku terenyak. Kami memang baru kumpul di depan sekolah setengah jam yang lalu dan itu pun sudah sesuai kesepakatan semula.
"Sebentar. Bukannya Friza sudah memastikan dengan Pak Aris, soal transportasinya? Kesepakatannya gimana, Friz?"
Friza mematikan sambungan telponnya. "Itu dia, Pan. Tadi pagi aku konfirmasi Pak Aris, beliau bilangnya oke, jam setengah tiga sore kita disuruh ngumpul di depan sekolah, karena sekalian diajak bareng sama rombongan anak-anak teater. Tapi nyatanya mereka sudah berangkat duluan. Ini tadi Pak Aris kutelpon, nggak diangkat. Aku sms Dinar, ketua teater sekolah, mereka bilang sekarang sudah sampai Pandaan ..."
Galang mengumpat pelan. Sementara aku berpikir keras. Marah nggak akan menyelesaikan masalah. Aku harus segera mencari solusi, bagaimana caranya grup kami bisa berangkat ke Malang. Otakku berpikir cepat memikirkan berbagai kemungkinan.
"Pan, kalau naik bis saja gimana?" usul Friza.
Aku menggeleng. "Trus barang-barang kita gimana? Tahu sendiri kalau transport umum begitu, mesti naruhnya di bagasi."
Galang mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. "Trus gimana nih, Pan?"
"Sebentar ...," sahutku. Kukeluarkan ponsel dari saku celana, dan menekan beberapa tombol. Kalau beruntung sepertinya aku bisa pinjam mobil Papi, tapi beliau mungkin harus membatalkan beberapa acara dengan Mami.
Sementara aku menunggu telpon tersambung, sebuah Rush hitam berhenti tepat di depanku. Kaca depan terbuka dan seraut wajah melongok dari dalam mobil.
"Topan?"
Aku terpana. Bu Nike?
"Bu Nike? Ibu mau kemana?" serobot Ken, sementara aku hanya diam mematung seperti orang bodoh.
Bu Nike turun dari balik kursi pengemudi, berjalan memutar dan menghampiri kami. "Justru Bu Nike yang mau tanya. Kalian mau kemana?"
Mataku tak berkedip menatap Bu Nike. Dengan t-shirt putih bergambar pemandangan Bunaken, celana jeans, dan rambut diikat ekor kuda, Bu Nike terlihat amat cantik. Begitu cantik sampai-sampai aku hanya bisa menatapnya. Pandanganku turun ke bawah. Sepasang flat-shoes berwarna putih melengkapi penampilannya.
"Kami mau mengikuti festival band pelajar di Universitas Brawijaya, Bu. Rencana awalnya naik mobil sekolah, berangkat bersama dengan anak teater yang juga mau pentas di sana. Tapi ya beginilah...kami ketinggalan kendaraan ...," jelas Ken.
"Bareng sama saya saja, Ken ... kebetulan saya mau ke Malang," Bu Nike tersenyum.
"Enggak usah, Sensei ... rencananya kami mau naik bis saja. Kami nggak mau ngerepoti Sensei ...," jelasku, yang segera menuai tendangan di tulang keringku, dan tatapan protes Friza.
Bu Nike menatapku dengan sangsi. "Bis? Sementara kalian bawa perlengkapan sebanyak itu?"
Aku mengangkat bahu. "Kami nggak mau merepotkan Sensei ..."
"Ayo Topan, lekas masukkan perlengkapan kalian ke mobil. Saya nggak mau dengar alasan lagi. Saya akan mengantar kalian ke Malang ...," Bu Nike melangkah memutari mobil.
Dengan bersemangat teman-temanku memasukkan perlengkapan kami ke dalam mobil. Kami duduk berdesakan dengan gitar, keyboard dan perlengkapan lain.
Bu Nike menghidupkan mobil. "Sudah semua? Nggak ada yang ketinggalan?"
"Sudah Bu ...," Friza nyengir. "Kalau ada yang ketinggalan biarin deh, tinggal saja ..."
Bu Nike tertawa. "Eh, minta tolong salah satu pindah ke depan. Memangnya saya supir?"
Dengan cekatan Ken membuka pintu mobil dan meloncat keluar. "Saya saja Bu ..."
Galang langsung menjitak kepala Ken. "Dasar!"
Sementara teman-temanku bercanda tentang kegugupan kami besok saat menghadapi festival, aku duduk merosot di kursiku, jok yang persis di belakang Bu Nike.
"Bu Nike nggak pernah bawa mobil ke sekolah ya?" Ken iseng bertanya.
Bu Nike tak langsung menjawab. Jemarinya bergerak menghidupkan musik. Sesaat kemudian Caravansary-nya Kitaro mengalun lembut.
"Enggak, Ken. Saya nggak pernah bawa mobil kalau ngajar. Suka macet di jalan. Lebih enak pakai sepeda federal. Kenapa?"
"Aneh saja Bu. Jarang-jarang ada guru yang nggak bawa kendaraan bermesin ..."
Bu Nike tertawa renyah. "Aneh karena nggak ada yang bawa. Coba kalau satu sekolah pakai sepeda federal semua, saya nggak akan terlihat aneh. Maksud Ken, saya ini termasuk minoritas?"
Ken tertawa. "Saya besok pakai sepeda federal juga ah ... mau barengin Bu Nike. Saya biasa gowes sama ikut cross country lho Bu ..."
"Halah ... ikutnya fun bike tuh. Cross country dari mana?" ledek Galang tanpa perasaan.
"Fun bike? Kebagusan amat, pawai karnaval yang iya ...," timpal Esa geli. "Ada tuh, foto dia pas ikut pawai kebudayaan tahun kemarin. Pakai acara jadi veteran segala, lagi. Cocok!"
Diam-diam aku mengamati Bu Nike dari kaca spion. Sepasang matanya yang bagus tampak serius menatap jalanan di depan. Sesekali matanya menatap Ken dengan geli, lucu dengan obrolan teman-temanku. Mungkin karena merasa atau apa, sepasang mata bagus itu balas menatapku dari kaca spion dan begitulah, kami berdua seakan saling terfokus satu sama lain, tak bisa mengalihkan pandangan ...
"Bu Nike ... awaaaas ...," teriak Ken, panik.
Sepasang mata itu mengalihkan pandangan dari mataku, dan mencoba membanting setir mobil dari truk besar yang sedang meluncur dari arah yang berlawanan. Dengan lincah Bu Nike menghindari kendaraan besar itu ke arah kiri.
Serentak semua temanku menghela nafas lega.
"Maaf ... maaf ... kalian panik ya?" senyum Bu Nike.
"Haduh Bu Nike ... kita masih muda Buuu ...," Friza mengusap wajahnya yang pucat.
"Iya ... maaf ...," Bu Nike membuka dashboard dan mengambil kaca mata berlensa kecoklatan tanpa bingkai, yang segera dipakainya. "Ibu silau tadi, kayaknya ..."
"Iya bener Bu, pakai kacamata saja ... daripada kejadian lagi ...," ujar Esa.
Aku terduduk lemas, menenangkan diri. Kalau hanya dengan bertatapan mata seperti itu rasanya sedahsyat tadi ... demi Tuhan, kami sedang berada di jalan. Berdosalah aku seandainya truk tadi menyeruduk mobil kami dan ... dan itu hanya karena Bu Nike bertatapan denganku!
Aku pusing memikirkannya. Ada apa sih denganku? Sejak guru ini memasuki kelasku seminggu yang lalu, rasanya duniaku berbalik seratus delapan puluh derajat! Yang tadinya aman sentosa tiba-tiba saja terasa membingungkan. Aku seperti tersesat, bingung dengan diriku sendiri. Perasaan apa ini namanya, yang bikin puyeng kepala, tapi minta dipikirkan? Yang pengen marah-marah saja kalau nggak lihat sosok guruku yang satu ini. Sosok guru yang seolah punya magnet, mendesakku untuk selalu dekat, dan aku yang ingin selalu dekat ...
"Topan sakit?" terdengar suara Bu Nike memecah pikiranku yang mengembara kemana-mana.
Aku tergagap. "Apa? Oh enggak, Sensei ... kurang tidur saja, mungkin ..."
Friza yang duduk di belakangku menonjok pundakku pelan. "Molor sana. Daripada besok nggak fit."
"Oh iya, sesampainya di Malang, kalian mau menginap di mana? Festivalnya kapan?" tanya Bu Nike lagi.
"Festivalnya besok siang, Bu. Di parkir timur Brawijaya. Tapi kalau soal menginap ...," Ken menoleh ke arahku. "Gimana Pan, rencananya?"
"Mungkin kami akan menginap di rumah Om saya, Sensei ... di kawasan Araya estate," jawabku. Karena dari tadi malam aku mencoba menghubungi ponsel Om Haris, tapi nggak bisa.
"Mungkin?" tanya Bu Nike. "Belum pasti, Topan?"
"Karena Om saya ini kerjanya pindah-pindah, Sensei ... dan belum berkeluarga. Rumahnya yang di Araya dirawat oleh sepasang suami istri yang tinggal di situ. Jadi ya, semoga saja rumah itu bisa kami tempati sehari-dua hari ini ..."
"Pastikan dulu dong, Pan. Kalau misalnya rumah itu nggak bisa kita tempati, kita mau nginep dimana? Jangan lupa, teman-teman juga perlu istirahat sebelum pentas, daripada kita mainnya nanti berantakan ...," sanggah Esa.
"Oke, bentar aku telpon Omku dulu ...," kuambil ponselku dari dalam saku, mulai memencet beberapa nomor, dan menunggu sambungan. Malah nggak aktif, pikirku kesal. Setengahnya aku merasa bertanggungjawab juga dengan teman-temanku yang percaya padaku, karena mereka nggak punya kerabat di Malang.
"Gimana, Topan?" tanya Bu Nike.
"Ponselnya nggak aktif, Sensei. Nggak apa-apa, kami nanti akan ke sana sendiri, semoga saja ada orang di rumah ...," jawabku berusaha terdengar yakin, padahal aku sendiri masih ragu.
Bu Nike menggelengkan kepala. "Topan, pernahkah ada orang yang bilang bahwa kepala Topan sekeras batu?"
Ken menahan senyum, sementara Friza tertawa tertahan di belakangku.
"Maksud Sensei, saya keras kepala?"
"Ya, Topan. Kamu ini keras kepala. Heran juga teman-teman bandmu bisa tahan ...," Bu Nike tersenyum.
Spontan meledaklah tawa teman-temanku. "Memang Buu ... kepalanya Topan lebih keras dari granit! Kalah semua jenis batu kalo dibandingkan sama kepalanya dia ...," Esa ngakak.
Aku tersenyum masam. "Sialan kalian!"
"Oke ... oke guys ...," Bu Nike menengahi. "Malam ini kalian menginap di rumah saya saja ya?"
Kami berlima spontan terdiam. Aku seakan bisa mendengar satu pertanyaan yang sama, bergema di kepala teman-temanku. Apa? Menginap di rumah Bu Nike? Serius?
"Kami nggak mau merepotkan, Sensei ...," jawabku sopan. "Biar kami cari penginapan atau ...," aku menggantung kalimat. Aku ingat dana kami juga. Waduh!
"Nggak Topan. Saya nggak merasa direpotkan samasekali. Lagipula, rumah saya cukup kok, muat untuk kalian semua ..."
"Bukan itu maksud saya, Sensei ..."
Bu Nike menoleh sekilas ke arahku. "No more reason, Arung Topan ..."
Aku paham kalau Bu Nike sudah memanggilku dengan nama lengkap seperti itu. Artinya, beliau tidak mau didebat lagi, apapun alasannya. Ah, munafik, bisik hati kecilku. Akui sajalah Topan, kalau kamu juga ingin selalu dekat dengan guru yang satu ini ...
Aku menyisipkan jemari di rambutku yang berantakan. Senja mulai menjelang, dan teman-temanku masih sibuk ngobrol tentang persiapan kami besok menjelang festival.
Sidoarjo, 120122

Komentar Buku (38)

  • avatar
    LUTFILKS

    bagus banget

    5d

      0
  • avatar
    mlmnovita

    bagus banget

    26/06/2023

      0
  • avatar
    FizHafiz

    ini agar luar biasa a

    30/03/2023

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru