logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 2 Dua

Esok paginya, aku tiba di sekolah terlalu awal. Bel masuk masih setengah jam lagi. Bosan di kelas, aku menuju koridor dan berdiri di tepi pagar beton. Kelasku terletak di lantai tiga. Dari tempatku berdiri sekarang, aku bisa melihat ke seantero sekolah dengan pandangan bebas. Sekolah masih sepi. Hanya ada beberapa siswa yang sedang duduk di taman sembari membaca buku atau ngobrol.
Mendadak mataku menangkap sesuatu yang menarik. Di ujung sana, sebelah selatan halaman parkir sekolah, ada sosok yang menarik perhatianku. Menaiki sepeda federal, memakai setelan baju olah raga dan menyandang ransel. Rambutnya yang panjang di kuncir ekor kuda. Aku mengerutkan kening. Sejak kapan siswa-siswa di sekolah ini naik sepeda? Apa dia murid baru ya, batinku. Aku terus mengikuti langkah seseorang itu, yang ternyata...masuk ke ruang guru.
Sebelum memasuki ruang guru, seakan bisa merasakan tatapanku di punggungnya, seseorang itu menoleh, dan pandangannya ke atas, melewati jajaran pohon cemara, tepat ke arahku! Lagi-lagi jantungku serasa melompat-lompat. Bu Nike!
Dengan penasaran aku menunggu Bu Nike keluar dari ruang guru. Kebetulan kelas sebelah ada waktunya beliau. Aku mengumpat dalam hati saat bel berbunyi. Nekat, aku menuju kelas sebelah dan masuk. Beberapa anak menatapku dengan heran.
"Kamu ngapain ke sini?" sembur Wiwin, cewek hitam manis yang mukanya selalu jutek. Nggak pagi, nggak siang, raut wajahnya nggak pernah menyenangkan. "Bikin sempit, tau!"
Aku mengedipkan sebelah mata. "Justru aku yang mau tanya. Masa kamu nggak ngerasa, kalau aku sering ke kelasmu?"
Wiwin mendadak salah tingkah. "Huh! Gombal aja, kamu kan udah punya pacar..."
"Kenapa memangnya? Cuma pengen ketemu sama kamu kan nggak salah...," aku tersenyum padanya, dan menggusur Tanti yang duduk di sebelahnya.
Paras wajah Wiwin semakin merah. Aku tertawa dan menyisir rambutku yang berantakan.
Sesaat kemudian, Bu Nike berjalan memasuki kelas. Jantungku berdebar melihatnya mengenakan office formal berwarna soft pink. Di bahunya tersandang ransel berwarna hitam, dan beliau membawa perlengkapan untuk listening.
"Good morning, Student..."
"Good morniiiiing..."
Bu Nike menyender dengan santai didekat meja salah satu siswa, mengamati seluruh kelas, dan berhenti di bangku Wiwin. Sepasang matanya menatapku.
"I think we have a guess, today. So, do you wanna come back to your class, or you still here in this class, and study together?"
"I don't know...," sahutku. "Give a suggestion, please?"
Bu Nike mengangkat sebelah alisnya yang bagus. "Well...I think you must come back to your class, Topan."
"Now?"
"Yes, now. Move!" tegas Bu Nike.
Dengan malas aku bangkit. Berjalan melewatinya dan spontan berkata padanya, "Saya nggak salah masuk kelas, Sensei!"
Bu Nike masih menatapku tanpa ekspresi. "Oh ya? Darimana kamu tahu?"
"Karena di manapun Sensei mengajar, di situlah kelas saya...," jawabku dengan suara rendah yang terkesan acuh, lalu aku melangkah keluar dari kelas.
Sesampai di kelasku, ternyata guru Biologi belum datang. Sementara teman-temanku sibuk menyalin peer Kimia, aku menuju bangku Galang.
"Peermu sudah, Pan?" tanya Galang tanpa menoleh.
"Ngapain ngurusin peer?" sahutku tak acuh. Tentu saja aku sudah mengerjakan semalam. Aku nggak pernah lalai dengan tugas dari sekolah. Makalah, peer, soal-soal latihan, semua kulalap habis. Itulah sebabnya, guru-guru nggak pernah menegurku, padahal aku terkenal berandal, dan suka bolos sekolah buat hiking. Tapi nilai-nilaiku nggak pernah jelek. Aku nggak pernah ketinggalan pelajaran meski kadang harus ikut kegiatan sekolah, seperti ikut turnamen basket antar sekolah, atau mengikuti kejuaraan band pelajar. Itu semua karena Riri yang sabar memberikan catatan, apa saja yang sudah terlewatkan olehku. Atau Nindi, cewek teman sekelasku, yang jelas-jelas naksir aku, yang sudah berbaik hati memberitahu apa saja tugas-tugas dan peer dari guru, dan yang paling utama terima kasih kepada Tuhan, aku dikaruniai otak encer yang mampu mengerjakan tugas-tugas itu.
Sisa hari itu kulewati dengan bosan. Bertanya-tanya kapan bel pulang berdentang, dan aku bisa melihat Bu Nike lagi.
"Pan...gimana persiapan band kita mengikuti kejuaraan minggu depan?" tanya Friza padaku, saat jam istirahat tiba. Friza mengiringi langkahku menuju kantin sekolah.
"Kapan latihan?" serobot Ken dari belakang.
"Ada studio musik yang baru buka, bro..." ujar Friza dengan bersemangat. Deket komplek Garuda."
"Ooo...Corner elt ya? Wah, bisa dicoba tuh..." sahut Ken.
Kami bertiga berjalan berendengan. "Galang mana?" tanyaku.
"Di kelasnya Benny. Esa juga disana. Mereka nungguin kita, mau rundingan soal latihan band," jawab Friza.
Ken melongokkan kepala ke kelasnya Benny, dan berseru ke arah Esa," Woii man, ayoo..."
Dengan lincah Esa melangkah keluar kelas. "Tenang bro...aku lagi survei nih. Ada yang sip di mata," sahutnya kalem.
"Siapa?" tanya Friza penasaran.
"Yuri," serobot Galang tanpa basa basi.
"Ooo...yang rambutnya pendek? Yang mukanya mirip cewek Jepang?" tanya Ken.
"Yups...," Esa membenarkan. "Cakep kan, dia?"
Galang terkekeh. "Good luck aja lah..."
Kami berlima berjalan menuju kantin. Tinggi badan serta postur yang hampir sama, kami sering menjadi pusat perhatian cewek-cewek di sekolah. Tapi dari kami semua, aku yang paling jangkung. Dengan tinggi seratus tujuh puluh enam senti, gaya tak acuh dan wajah tanpa ekspresi ( seperti yang Riri sering bilang ) aku sering mendapati cewek-cewek mencuri pandang ke arahku. Aku sudah amat terbiasa dengan semua itu. Nggak ada yang menarik. Pernah ada cewek yang mencoba bersikap cuek, dan bermusuhan denganku. Selaginya aku ngerasa nggak punya salah, kenapa juga aku harus perhatian sama dia? Belakangan aku tau, kalau ternyata cewek itu naksir padaku!
Kami sampai di kantin. Seperti biasa, aku memesan es jeruk dan sepiring batagor.
"Wih gila! Tambah cakep aja tuh cewek...," celetuk Ken. Matanya mengarah ke satu titik, ke beberapa orang cewek yang sedang minum es kelapa muda. Aku tau pasti siapa yang Ken maksud. Adelia, cewek kelas XI C. Sebelum teman-temanku meributkannya, aku sudah tau duluan kalo cewek itu memang cantik. Aku tau karena cewek itu minta nomor teleponku dua hari yang lalu.
Tentu saja, aku bukan cowok yang suka mengobral nomor telepon. Jadi yaa, cewek itu kuberi nomor telepon Mamiku. Walhasil, dua hari kemudian cewek itu melengos tiap kali bertemu denganku. Terang saja, dia sms-an sama Mamiku. Rasain. Makanya jangan suka sok cantik dan kecentilan sama cowok. Aku alergi berat dengan cewek super agresif model Adelia.
"Si Adelia kan?" tebak Esa. "Seleramu yang model begitu ternyata ya?"
"Sialan! Model yang bagaimana maksudmu?" Ken merengut.
"Model cewek cantik yang manja...," Esa tergelak. Teman-temanku yang lain ikut tertawa.
Mendadak Bu Nike datang dari arah utara. Beliau berjalan sendirian menyusuri koridor kantin yang penuh sesak. Kalau biasanya guru-guru yang lain suka berombongan saat kemana-mana, guru yang satu ini enggak. Bu Nike pede aja jalan sendiri seperti itu, nggak peduli ada temannya atau enggak.
"Naa...ini dia nih, cewek yang oke...," suara Ken terdengar penuh kekaguman.
"Kalau saja umurku lebih tua, atau Bu Nike yang seusia kita, aku pasti mau jadi pacarnya...," celetuk Esa tanpa basa basi, seakan tahu jalan pikiranku.
Aku tersedak mendengar perkataan Esa. Buru-buru kuraih gelas berisi es jeruk dan meneguknya tak sabar. Kenapa tiba-tiba aku nggak selera makan? Dengan sebel kudorong piringku yang isinya masih setengah.
"Kenapa, bro?" tanya Friza.
"Kenyang," sahutku seadanya.
"Buat aku aja ya?" serobot Galang.
"Boleh," tanganku meraih tisu gulung.
Bu Nike sampai di meja kami.
"Hallo, boys. Makan siang?"
"Ya Bu, duduk sini Bu...," Esa buru-buru menggeser duduknya, dan mempersilahkan Bu Nike supaya duduk di sebelahnya.
Tapi malang si Esa. Sebelum Bu Nike sempat duduk, ada seorang gadis, yang sepertinya adik kelas, menyerobot begitu saja dan duduk di samping Esa.
Galang dan Ken menahan senyum, sementara Friza pura-pura memandang ke arah lain, padahal sedang menahan tawa juga.
Bu Nike tertawa renyah. "Boleh saya duduk di sebelahmu, Topan? Meja yang lain sudah penuh."
Aku menatap Bu Nike, dan saat bertemu pandang, mata kami seperti terhenti satu sama lain. Aku berusaha memecah kesunyian antara kami.
"Boleh banget, Sensei. Silakan. Sudah pesan?" aku bergeser sedikit.
Bu Nike duduk di sebelahku. Wangi parfumnya menerpa hidungku. Bu Nike beraroma seperti udara di pegunungan. Sejuk dan menenangkan.
"Sudah...," jawab Bu Nike pendek.
"Oh iya, Bu Nike rumahnya dimana?" tanya Ken. "Boleh main nggak, Bu? Pengen belajar bicara Bahasa Inggris nih."
"Deket sini. Di komplek Garuda, Ken. Main saja kalau mau ke sana. Rumah saya selalu terbuka buat kalian yang mau belajar kok. Tapi mungkin lebih baik sms dulu ya, kuatirnya saya nggak ada dirumah..."
"Minta nomornya boleh ya, Bu?" tanya Esa antusias. "Eh, Pan...catet dulu deh, kita kan lagi makan..."
Bu Nike mengeluarkan ponselnya, dan memencet beberapa tombol. Aku merasakan ponselku bergetar. Kuambil benda canggih itu dari saku celana dan melihat ke layar. Nomor asing?
"Itu nomor saya, Topan...,"Bu Nike menoleh ke arahku dan tersenyum manis. Aku hanya menatapnya tanpa sanggup berkata-kata.
Pertanyaan yang bergema di otakku selama sisa hari itu adalah, Bu Nike sudah tau nomorku, bahkan sebelum aku tau nomor ponselnya?
Sidoarjo, 120122

Komentar Buku (38)

  • avatar
    LUTFILKS

    bagus banget

    6d

      0
  • avatar
    mlmnovita

    bagus banget

    26/06/2023

      0
  • avatar
    FizHafiz

    ini agar luar biasa a

    30/03/2023

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru