logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 6 Teman Makan Teman

Setelah itu aku hanya terdiam seperti tidak bisa merasakan ataupun melihat apa-apa dihadapanku. Semuanya hanya tersisa sebuah ilusi.
Tepat keesokan harinya, Bilqis menjengukku. Sakit yang aku terima dari Fian belum juga sembuh dan tidak akan mudah untuk menyembuhkannya. Aku merasa demikian.
Aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja dihadapan Bilqis. Aku tidak menunjukkan sama sekali rasa kesal dan cemburuku kepadanya. Tapi, sebenarnya ia sudah bukan lagi sahabatku sejak aku mengetahui bahwa mereka masih saling berhubungan dan menyimpan perasaan dari mulut Fian sendiri.
Aku bisa memutuskan, “Fian bukan pasanganku dan Bilqis bukan sahabatku lagi,”
Bilqis mendorong kursi rodaku menuju taman rumah sakit, aku meminta tolong kepadanya untuk membawa aku keluar karena sebenranya ada hal-hal yang harus aku sampaikan kepadanya, tanpa diketahui oleh ayah dan bunda yang menungguku di ruanganku.
“Gimana kondisimu?” tanya Bilqis kepadaku seraya mendorong kursi rodaku.
“Lebih baik dari yang kemarin,” jawabku.
Kami berhenti di tengah taman rumah sakit, aku meminta Bilqis untuk berhenti menolongku. Aku hendak berdiri dan menghadap kepada Bilqis. Aku menyingkirkan kursi roda itu dari hadapanku sehingga antara aku dan Bilqis tidak terhalang apa-apa.
Enggan rasanya aku melihat wajah Bilqis, seorang mantan sahabat yang rela menyembunyikan perasaannya di depanku, yang ia akui sebagai sahabat baiknya. Itukah definisi dari seorang sahabat? Penghianatan!
“Nafisah, kenapa gak duduk aja, kamu belum pulih total kan?” tanya Bilqis.
“Aku baik-baik saja,” jawabku.
Bilqis memperhatikan tubuhku yang sebenarnya tidak sepenuhnya pulih. Saat itu, aku sama sekali tidak ingin terlihat lemah dihadapan Bilqis. Aku tidak ingin, Bilqis merasa bahwa aku sangat tersakiti atas kejadian ini.
Walaupun luka pada fisikku bisa dengan mudah diketahui, tapi tidak bisa melebihi rasa sakit yang ada pada luka di hatiku. Aku sebenarnya tidak punya keberanian besar untuk mengatakan pada Bilqis, aku sudah melepaskan Fian, dan akan berusaha untuk mengikhlaskan Fian untuk bersama dengannya.
Tapi, saat itu, sakit pada hatiku lebih besar dari apapun yang aku rasakan. Tidak peduli, apa yang nanti akan Bilqis katakan, aku hanya ingin sedikit lega. Setidaknya aku bukan lagi penghalang dalam hubungan mereka yang sebenarnya belum usai.
Kali ini, aku menatap mata mantan sahabat baikku itu. Aku bisa melihat ada banyak tanya yang sebenarnya ingin ia tanyakan, tapi sebelum ia bertanya, aku yang akan terlebih dahulu menjelaskannya.
“Kamu kok ngeliat aku begitu sih Nafisah?” tanya Bilqis tiba-tiba, ia merasa tatapan mataku kali itu tidak seperti biasanya.
“Ada apa?” lanjut Bilqis bertanya seraya meraih kedua tanganku, tapi aku menolak tangannya yang hendak menyentuhku.
“Kamu masih mencintai Fian?” tanyaku tiba-tiba.
Aku bertanya pada Bilqis bagaimana perasaannya untuk Fian saat ini. Walaupun sebenarnya, tidak perlu aku tanyakan, aku sudah tahu jawabannya. Memang sudah salahku sejak awal, yang berani menerima cinta Fian yang sudah aku ketahui bahwa dia adalah mantan kekasih sahabatku.
“Kok kamu tanya begitu sih Nafisah? Gak masuk akal, Fian itu pacarmu, mana mungkin…” ucapan Bilqis belum selesai, tapi aku sudah memotong ucapannya.
“Sssssuutttt, sudah cukup. Aku sudah tahu semuanya, aku mendengar semuanya dari mulut Fian langsung, memang salahku dari awal, salahku yang bersedia menjadi obat untuk Fian disaat dia sakit, dan saat ini, sakitnya sudah tidak ada, dia sudah tidak membutuhkan aku sebagai obatnya,” ujarku seraya menahan air mata yang sedari tadi sudah tidak kuasa untuk aku tahan.
“Kamu ngomong apasih Nafisah, gak gitu,” ucap Bilqis yang maish ingin berusaha agar aku tidak meragukan apapun yang keluar dari mulutnya.
Bilqis terus berusaha meyakinkan, ia terus memberikan argument bahwa Fian mencintaiku dan hubungan antara dirinya dengan Fian hanya sebuah teman satu angkatan.
Bilqis menjelaskan semuanya di waktu yang salah. Di waktu, dimana aku sudah mengetahui semuanya.
Aku yang sama sekali tidak bisa membenarkan pernyataan demi pernyataan yang diberikan oleh Bilqis bertanya, “Kamu yakin ingin melepaskan Fian? Dia masih mencintai kamu,”
“Gak mungkin Nafisah, dia punya kamu, aku sudah bukan siapa-siapanya,” jawab Bilqis.
“Kamu tahu? Setiap senyum yang ia berikan ketika ia bercerita tentangmu, itu tidak seindah ketika bahagia bersamaku. Kamu tahu? Matanya yang berbinar indah saat melihat kamu dihadapannya, itu tidak oernah ia tunjukkan kepadaku. Kamu tahu? Caranya memperjuangkan aku, itu tidak sebanding dengan caranya memperjuangkan kamu, apa kamu yakin ingin melepasnya?” tanyaku sekali lagi.
Aku mengatakan semua hal yang aku rasakan dari Fian pada Bilqis, aku mengungkapkan betapa Fian sangat mencintainya, bahkan saat ia bersama denganku. Air mataku menetes tanpa aku sadari. Air mataku mulai membasahi pipi, dan saat itu aku sudah tidak bisa berpura-pura tegar di hadapannya.
“Nafisah? Kamu ini ngomong apasih? Aku dan Fian sudah tidak ada apa-apa, percayalah,” ucap Bilqis, berkali-kali ia mengatakan hal yang sama.
Aku semakin geram, mendengar ucapan Bilqis yang terus saja berusaha menolak perasaannya sendiri untuk Fian.
“Nafisah, kamu gak perlu mikir kayak gitu tentang aku dan Fian, aku bukan orang yang akan merusak hubungan orang lain. Aku akui, aku dan Fian pernah saling mencintai, tapi saat ini dia milik kamu,” ucap Bilqis.
“Sudah! Sekarang kamu pergi, pergi Bilqis!” ucapku sontak membuat Bilqis terkejut.
“Nafisah, kamu…” ucap Bilqis yang kaget melihat aku yang mulai berbicara dengan nada tinggi.
“Pergi!” ucapku sekali lagi.
Bilqis pergi setelah aku menyuruhnya pergi berkali-kali. Aku benar-benar muak harus melihat drama ini, di sisi lain mantan kekasihku sedangkan di sisi yang lainnya lagi adalah mantan sahabatku.
Saat ini, aku kehilangan keduanya kekasihku juga sahabatku. Dua manusia yang aku rasa, mereka adalah manusia terbaik setelah ayah dan bunda, tapi ternyata tidak. Benar apa kata orang, sakit hati terdalam adalah saat kita menaruh harapan berlebihan kepada manusia.
Setelah kepergian Bilqis dari tempat itu, aku belum bisa menenangkan pikiranku. Aku maish teringat bayang-bayang kebersamaan yang pernah aku dan Bilqis lewati, dari hal terkecil sekalipun, aku selalu menceritkannya kepada Bilqis. Tapi, siapa sangka? Dia bukan lagi seperti yang aku kira.
Aku masih ingat, moment dimana aku masih meminta pendapat kepada Bilqis ketika Fian menyatakan perasaannya kepadaku. Dengan tersenyum, Bilqis mengiyakannya. Seperti orang yang sudah tidak ada lagi beban, ketika harus merelakan sahabatnya sendiri menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.
Aku merasa sangat hancur, jalan takdir ini membuat aku kehilangan kepercayaan pada setiap perkataan manusia. Bahkan, aku sendiri tidak percaya bahwa aku bisa terjebak dalam takdir hidup yang seperti ini.
Penyesalan demi penyesalan aku rasakan, dari pertanyaan kenapa aku bisa menerima Fian sebagai kekasihku saat itu. Sampai kenapa aku bisa merasakan sakit yang begitu dalam seperti ini? Timbul pertanyaan dalam diriku, apakah aku yang terlalu bodoh?
Aku berusaha meninggalkan tempat itu, aku hendak berjalan tapi terik matahari menyilaukan dan membuat pandanganku kabur. Entah mengapa, aku merasa dunia seperti sedang berjalan memutari diriku.
Aku terjatuh pingsan.

Komentar Buku (87)

  • avatar
    Uda Win

    mantap dan asik

    10d

      0
  • avatar
    Rizkiikilonek

    assalamualaikum

    12d

      0
  • avatar
    Fajrin Setyawan

    bagus

    19d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru