logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

Bab 2 Perubahan Fian

“Biarkan saja, Fian juga masih sering mengingat Bilqis,” gerutuku tiba-tiba ketika mengingat bahwa Fian juga belum sepenuhnya dapat melepaskan Bilqis.
Seketika aku ingat, Nisa yang memeluk Zain dengan tiba-tiba. Langsung aku buang jauh-jauh pikiranku tentang Zain.
“Ih apaan? Sama aja, gak ada bedanya semua cowok emang begitu. Dasar cowok!” ucapku seraya mengambil bantal guling yang ada di belakangku dan menutup wajahku dengan bantal guling itu setelah itu mengambil posisi untuk segera tidur.
Aku tertidur dengan pulasnya tanpa mengingat apapun lagi yang baru saja terjadi kepadaku di coffee shop itu.
Sementara Zain, setelah semua yang sudah dilalui oleh Zain selama beberapa jam berada di kota ini, akhirnya Zain bisa kembali ke rumahnya dan segera bertemu dengan Bundanya yang sudah menunggu kehadiran dirinya sejak ia kembali menginjakkan kaki lagi di kota ini.
“Kok kakakmu belum juga dateng ya? Tadi dia bilang ke Bunda 30 menit lagi dia akan datang,” ucap Bunda Zain yang saat itu sedang menunggu Zain di ruang tamu dengan tatapan mata yang sejak tadi tidak lepas dari pintu masuk rumahnya.
“Saba raja ya Bun, tadi kak Zain bilang ia akan langsung kembali ke rumah setelah semuanya selesai,” ucap Nisa setengah menenangkan Bundanya.
“Dia ngechatt kamu? Tapi kok dia gak ngechatt ke Bunda ya?” tanya Bunda kepada Nisa.
Nisa beranjak dari sofa ruang tamu dan menhampiri Bundanya yang sedang berdiri, seraya menjawab, “Sebenarnya tadi Nisa sudah ketemu dengan kak Zain di coffee shop dekat kampus. Kebetulan rapat antara kak Zain dan pimpinan perusahaan didekat situ juga Bun, hihihi,” jawab Nisa setengah tertawa.
“Curang ya, harusnya kan Bunda yang ketemu duluan dengan Zain,” gerutu Bundanya.
Tidak lama dari rasa cemas dan sedikit rasa cemburu yang menyelimuti perasaan Bunda Zain, bel rumah mereka berbunyi. Semua mata terarah kepada pintu masuk rumah.
“Itu pasti Zain,” ucap Bunda seraya berlari ke depan pintu dan membukakan pintu rumah mereka untuk Zain.
Saat pintu sudah terbuka, bisa terlihat dengan jelas, Zain yang saat itu menggendong tas ranselnya, serta senyum yang disunggingkan oleh Zain kepada Bundanya. Tidak kuasa Bundanya menahan tangis bahagia. Setelah sekian lama terpisahkan, akhirnya mereka bisa bertemu juga.
Layaknya hati seorang ibu pada umumnya, Bunda meraba wajah anaknya yang semakin tampan mirip dengan almarhum suaminya. Tangis seorang ibu pecah dihadapan putranya. Bunda memeluk Zain dengan sangat erat. Zainpun kembali memeluk Bundanya.
Bisa dibayangkan bukan? Seperti apa rindu seorang anak kepada ibunya begitupun sebaliknya. Selama bertahun-tahun tidak bertemu. Dan akhirnya bertemu setelah sekian lama. Pasti sanagt menyentuh ketika ada di posisi itu.
“Bunda? Bunda kok malah nangis? Kenapa? Zain sudah datang, Zain sudah ada di hadapan Bunda, Bunda tidak perlu menangis lagi ya,” ucap Zain seraya menghapus air mata Bundanya.
“Bunda rindu sekali, akhirnya setelah sekian lama, Bunda bisa bertemu dengan kamu, nak,” ucap Bunda terus saja meneteskan air mata.
Suasana haru masih menyelimuti keluarga Zain. Penantian akan sebuah pertemuan memanglah tidak mudah. Apalagi ketika jarak dan waktu adalah pemisah antara dua orang yang sedang berkasih.
Next…
“Cuitt cuitt cuitt,” suara burung terdengar dari balik jendela kamarku.
Sinar matahari sudah mencuat, bahkan sinarnya sudah masuk ke dalam kamar, karena sinar itu aku terbangun. Aku membuka mataku secara perlahan. Seperti biasa, aku meraba sekitar tempat tidurku mencari handphoneku.
Aku menatap layar handphoneku, hari ini tidak seperti hari biasanya. Tidak ada ucapan selamat pagi dari Fian, pacarku. Ada apa sebenarnya? Aku yang saat itu masih ada di alam bawah sadarku sontak saja langsung bangun dan memastikan apakah yang aku lihat benar?
“Tumben gak ada chatt dari dia? Ada apa ya?” pikirku saat itu.
Aku melihat jam dinding kamarku yang menunjukkan sudah pukul 07.15, biasanya Fian sudah bangun, apa dia sedang sakit? Sampai tidak mengabariku?
Ini mungkin akan terdengar terlalu berlebihan. Tidak mendapatkan sebuah chatt ucapan selamat pagi, itu adalah hal biasa. Iya, jika itu tidak pernah dirasakan oleh mereka yang tidak pernah mendapatkan ucapan selamat pagi dari pasangannya.
Tapi aku?
Setiap pagi, Fian akan mengirimkan pesan dengan ucapan selamat pagi, ketika malam hari, ia juga akan mengirimkan pesan dengan ucapan selamat tidur. Tapi, untuk semalam, Fian tidak ada mengirimkan pesan ucapan selamat tidur bahkan sampai pagi ini.
Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk segera bersiap-siap pergi ke rumah Fian sebelum akhirnya aku berangkat ke kampus. Dengan panik aku segera bersiap. Aku takut terjadi sesuatu kepada Fian.
“Nafisah, sarapan dulu,” ucap Bunda yang saat itu berusaha menghentikan aku untuk sarapan terlebih dahulu.
“Tidak Bun, Nafisah sarapan nanti di kampus. Nafisah buru-buru, pamit dulu ya Bun,” ucapku kepada Bunda seraya menciumi tangan Bundaku.
“Tumben, ada apa?” tanya Bundaku.
Aku tidak merespon pertanyaan terakhir Bunda, dengan cemas aku langsung mengendarai motor kesayanganku menuju ke rumah Fian. Aku tidak tahu apa yang terjadi kepadanya. Mengapa ia tidak mengabariku?
Bisa terlihat sekali bahwa aku adalah orang yang posesif. Yah, seperti itulah aku. Aku tidak bisa berpikir apa-apa saat ini. Yang aku pikirkan hanyalah bagaimana kondisi Fian saat ini, aku berharap bahwa ia akan selalu baik-baik saja.
Waktu untuk sampai ke rumah Fian sekitar 10 menit dari rumahku. Jaraknya memang tidak terlalu jauh, bahkan jika Fian sedang ada jam mata kuliah yang sama sepertiku, ia akan datang ke rumahku untuk menjemputku dan berangkat ke kampus bersama. Tapi, beberapa hari kebelakangan ini tidak. Fian sedang sibuk dengan persiapan sidang skripsinya.
Iya, Fian adalah mahasiswa semester akhir. Tahun ini adalah tahun terakhir Fian ada di kampus. Sementara aku? Aku adalah mahasiswa semester 6, kurang setahun lagi aku berada di kampus ini.
Rencananya, setelah lulus Fian akan bekerja di sebuah perusahaan yang masih memiliki link dengan keluarganya. Tapi, sejauh ini, Fian tidak pernah lagi membahas tenatng hal itu kepadaku. Mungkin, ia terlalu fokus kepada persiapan sidang skripsinya.
“Ckiit!” suara rem motorku, hampir saja aku melewati gerbang rumah Fian.
“Ada apa Nafisah?” tanya Bunda Fian yang saat itu sedang menyiram tanaman di depan rumahnya.
“Fiannya sudah berangkat tante?” tanyaku kepada Bunda Fian.
“Lah, iya. Fian sudah berangkat sejak tadi. Pagi sekali, sekitar jam 06.30, dia tidak memberitahumu?” tanya Bunda Fian kepadaku.
“Tidak tante,” jawabku sedikit merasa kecewa.
Tumben Fian berangkat pagi sekali. Ada urusan penting apa ya? Jujur saja, ada perasaan kecewa dalam hatiku. Ternyata orang yang sudah aku khawatirkan, ternyata baik-baik saja. Tapi, tidak masalah, yang terpenting Fian baik-baik saja.
“Yasudah tante, terima kasih ya, Nafisah berangkat dulu,” ucapku seraya mengenakan helm dan mengemudikan motorku menuju kampus.
Sejak saat itu, aku menyadari adanya perubahan dari sikap Fian terhadapku.

Komentar Buku (87)

  • avatar
    Uda Win

    mantap dan asik

    10d

      0
  • avatar
    Rizkiikilonek

    assalamualaikum

    12d

      0
  • avatar
    Fajrin Setyawan

    bagus

    19d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru