logo text
Tambahkan
logo
logo-text

Unduh buku ini di dalam aplikasi

part-06

"Mama lupa bawa kesini, ada telur dadar di atas sudah Mama siapin buat kamu." ucap Mama saat beliau melihatku mengerucutkan bibir ketika menatap semangkok oseng daging sapi yang terhidang di depanku duduk sekarang.
Mendengar kalau ada telur dadar. Bibir yang tadinya mengerucut karna cemberut akhirnya berubah menjadi tersenyum senang.
"Yes!" seruku pelan sambil menatap ke arah, Mama. Sebagai tanda terima kasih karena, beliau sudah membuatkan lauk lain untukku.
Mama yang tadinya masih jongkok kini berdiri dan berbalik. Kulihat Mama mengambil sebuah piring lalu mengisinya dengan telur dadar yang tadinya masih berada di tirisan minyak.
Keluargaku, jika sudah waktunya makan. Maka, semua anggota keluarga akan berkumpul di dapur dan kami semua duduk membentuk lingkaran. Duduk seperti itu bukan karena aturan atau ada sesuatu. Melainkan karena, duduk kami menyesuaikan dengan lauk pauk yang terhidang atau tersedia.
"Makasih, Ma," Ucapku, lalu mengambil piring yang tadi Mama isi dengan telur dadar. Melihat telur dadar yang berwarna keemasan perutku semakin lapar.
"Kenapa jadi gak bisa makan daging? Padahal daging itu enak. Iya kan, Pak?" Ucap adikku yang bernama, Ina. Yang ditujukan untukku. Sekaligus juga kepada, Bapak.
"Enak, banget." Jawab Bapak sambil mengacungkan jempol.
"Dih, Bapak hiperbola banget." cibirbu saat melihat bapak mengacungkan kedua jempolnya.
Mendengar cibiranku. Bapak bukannya marah, beliau malah langsung tertawa. Karna, Bapak tahu. Cibiranku itu bukanlah bermaksud sungguh-sungguh.
"Enak bagi yang bisa makan. Aku kan gak." Balasku lagi sambil menatap, Ina.
"Makanya, diicip dulu. Kalau sudah tahu rasanya, nanti pasti ketagihan mau makan daging terus." Ina menyahut lagi sambil nyengir.
"Malas. Gak mau. Gak pengin." jawabku jutek sambil menatap garang padanya.
"Berisik," ucap Ery. Adik bungsuku.
Mendengar itu, aku dan Ina langsung menoleh ke arah Ery. Kulihat dia mulai menyuap nasinya dengan santai setelah mengatakan kata 'berisik' tanpa mempedulikan pandangan membunuh dari kami berdua.
"Sudah-sudah. Cepat makan. Jangan ngobrol terus. Nanti nasinya dingin." ucap Mama akhirnya membuat perintah yang langsung dilaksanakan oleh semua orang yang mendengarnya. Termasuk aku juga aku. Meski pun dalam hati masih tak terima dikatai berisik oleh Ery. Namun, kalau Mama sudah bertitah. Maka, kita semua tidak ada yang berani bersuara lagi. Termasuk, Bapak sekali pun.
Padahal aku yakin. Jika aku mengatakan sesuatu lagi untuk membalas perkataan Ery. Aku yakin, mama juga pasti tidak akan melakukan hal-hal yang menyeramkan terhadapku.
Mama mungkin hanya akan marah sebentar. Meskipun begitu, kita semua tetap tak ada yang berani bersuara lagi. Kita tetap patuh dan nurut dengan apa yang Mama perintahkan. Mungkin ini kali ya, yang dinamakan hukum alam dalam sebuah keluarga. Sangat terbukti dan ampuh.
Jadinya, sekarang kita semua mulai makan dengan tenang, tanpa ada yang berani memulai obrolan lagi. Suasana langsung hening. Suara denting sendok pun tak ada terdengar. Karena, kita makannya memang tidak menggunakan sendok, hehe.
Jadi pemirsa, keluargaku tuh keluarga yang sederhana, banget. Kalau makan kita masih duduk lesehan. Juga masih harus makan bersama. Jika ada salah satu angggota keluarga yang masih sibuk mengerjakan sesuatu saat sudah waktunya makan. Maka, kita akan menunggu sampai dia sampai selesai terlebih dulu, barulah kita akan mulai makan bersama.
Terus, kita juga tidak pernah makan pakai sendok meski Mama mempunyai lusinan sendok. Namun, sendok tersebut beliau simpan. Akan digunakan apabila ada hajatan besar saja. Untuk keseharian kami hanya menggunakan beberapa buah sendok, itu pun kerena digunakan untuk mengambil lauk atau sayur. Jadi kita semua makannya pakai tangan secara langsung.
Akan tetapi, kalian jangan salah. Makan dengan tangan secara langsunh itu rasanya jauh lebih nikmat dari pada memakai sendok, loh. Tidak percaya? Buktiin deh ya sendiri.
Jangan lupa juga, sebelum makan kalian harus mencuci tangan terlebih dahulu. Nah, kalau di keluargaku. Untuk cuci tangannya sendiri sudah disediakan. Jadi, kami tidak harus mondar-mandirdi dapur hanya untuk mencuci tangan.
Kalian sudah pernah coba belum, makan dengan menggunakan tangan. Kalau belum, setelah membaca cerita ini, kalian boleh coba, ya. Makan dengan tangan langsung. Jangan lupa juga, harus tangan sebelah kanan, ya. Ini cerita atau himbauan makan harus pakai tangan, sih. Kok isinya begini? Hahaha. Sorry-sorry. Baik, kita kembali ke laptop, ya.
Kenapa tadi aku sempat berdebat dengan adikku mengenai daging? Jadi, sebabnya tuh karena aku gak bisa makan daging, guys.
Kenapa gak bisa? Entahlah. Aku juga tidak tahu. Bagiku, daging tuh rasanya aneh juga bau. Baunya itulah yang membuatku gak suka bahkan gak bisa memakannya.
Meski tidak bisa makan daging yang sudah diolah menjadi lauk secara langsung. Namun, anehnya aku bisa makan bakso, loh. Padahal, bakso kan terbuat dari daging, tapi aku suka. Aneh 'kan?
Di rumah ini yang gak bisa makan lauk daging cuma aku aja. Anggota keluargaku yang lain semua suka, bahkan tidak hanya sekedar suka bisa dikatakan doyan makan daging.
Meski mereka doyan. Akan tetapi, karna daging harganya mahal. Jadinya keluargaku hanya bisa makan atau memasak daging hanya di hari-hari tertentu.
Khusus hari ini aja, nih. Aku gak tau, alasan dalam rangka apa yang membuat Mama memasak daging. Mungkin karna Mama dan Bapak punya uang lebih kali ya, jadinya Mama memasak lauk daging itu. Aamiin, semoga benaran Mama dan Bapak mempunyai banyak uang.
Karna aku tidak bisa makan dengan lauk daging itulah. Jadinya, Mama membuatkan telur dadar khusus untuk laukku makan.
Saat aku, Ina, dan Ery sedang membereskan peratalatan bekas makan kami tadi. Kudengar ada suara seorang laki-laki tengah berbicara di depan atau di ruang tamu. Mendengar itu aku menduga mungkin kami kedatangan tamu.
Umurku dan Ina mungkin sebaya karna hanya terpaut 1,5 tahun. Namun, kami berdua masih belum bisa memasak. Sehingga, hanya bisa membantu Mama dengan memberekan atau mencuci peralatan bekas makan.
Karna, posisiku sekarang masih berada di dapur. Ruang tamu dan dapur terpisah oleh sekat. Jadi, aku tidak bisa melihat siapa tamu yang datang. Padahal, kalau ada tamu begitu, aku adalah orang pertama di rumah ini yang paling semangat ingin tahu atau melihat siapakah tamu yang datang itu. Berbeda dengan Ina dan Ery. Mereka berdua tuh mana pernah peduli kalau ada tamu tak dikenal datang ke rumah.
Namun, semua akan berbalik jika yang datang itu adalah kakak-kakak kami. Mereka berdua justru lebih gesit menyerbu kedatangan mereka dari pada aku. Malah aku yang justru lebih tenang dan kalem kalau yang datang adalah kakak-kakak kami. Aku memang aneh sendiri di rumah ini di antara saudara yang lain.
Karna ingin segera melihat tamu yang datang. Aku cepat-cepat menyapu lantai bekas tempat kami makan tadi. Menyapu remah bekas makan tidak begitu banyak, sehingga tidak memakan waktu lama untuk membersihkannya. Setelah selesai, aku langsung menggantungkan sapu yang baru saja kupakai. Kemudian dengan tergesa-gesa membalikan badan menuju ke arah depan.
Padahal niatnya tadi, tuh. Setelah selesai beres-beres di dapur ini aku ingin mengajak Rian ketemuan nanti malam. Ingin menceritakan hal apa yang akan Bapak lakuin ke aku jika aku sampai ketahuan pacaran.
Sangking tidak sabarnya, niat itu terlupakan dan sekarang aku sudah berlari kecil menuju depan. Karna, jarak dari dapur menuju depan lumayan, sekitar sepeluh meter.
Weh, rumahnya panjang sepuluh meter berarti besar, dong. Enggak besar, kok. Malah, kalau menurutku yang memiliki banyak saudara rumah kami ini justru tergolong kecil dan sempit. Karna rumah Bapak dan Mama dibangun dengan ukuran 5x12. Rumah-rumah perkampungan dibangun rata-rata ukurannya memang segitu ya, manteman.
Akan tetapi, ukuran segitu menurut penduduk di desaku sudah termasuk rumah yang besar.
Saat sudah melewati sekat kamar bagian tengah. Jalanku yang tadi sempat berlari kecil segera kuganti dengan jalan perlahan. Bahkan, sekarang jalanku bisa dikatakan berjingkat-jingkat. Karena, terniat banget aku harus mengetahui dulu siapa tamunya barulah nanti aku menunjukan diri. Caraku mengetahui siapa tamunya yaitu dengan cara mengintip.
Dua langkah lagi aku akan sampai di tempat pintu penghubung antara ruang tamu dengan ruang keluarga. Sehingga, jalanku menjadi semakin pelan. Agar tidak terdengar oleh orang yang sekarang terdengar sedang mengobrol.
Dari obrolan mereka yang terdengar, sepertinya aku sudah mempunyai sedimit bayangan siapa tamu yang datang. Namun, obrolan mereka sepertinya kurang enak untuk didengar. Namun, justru hal itulah yang membuatku semakin penasaran.
Kepalaku sudah melongo, untuk mulai mengintip. Namun, saat memiringkan kepala, hendak memantapkan posisi mengintipnya. Badanku langsung terlonjak kaget saat mendengar gebrakan meja yang begitu kuat dari arah ruang tamu.
Next

Komentar Buku (142)

  • avatar
    Rembez Rembez

    bagus menarik, saya suka dengan cerita novel

    3d

      0
  • avatar
    maewaJael

    bagus

    17d

      0
  • avatar
    HendiHusni

    nice

    20d

      0
  • Lihat Semua

Bab-bab Terkait

Bab Terbaru